25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Keramba Jaring Apung Cemari Danau Toba, Rektor USU: Wisatawan juga Mau Berenang di Sana

file/SUMUT POS
PENCEMARAN: Keramba jaring apung memenuhi perairan Danau Toba. Keramba-keramba ini dinilai salah satu penyebab tercemarnya air Danau Toba.

MEDAN, SUMUTPOS.CO –Universitas Sumatera Utara (USU) menyebutkan Keramba Jaring Apung (KJA) menimbulkan pencemaran air Danau Toba, Sumatera Utara. Kesimpulan itu sesuai kajian dampak lingkungan yang dilakukan Kelompak Kerja (Pokja) Pengembangan Pariwisata Danau Toba USU. Karena itu, aparat terkait didesak segera melakukan penertiban KJA.

“Soal keindahan, Danau Toba termasuk danau terindah dipandang di dunia. Tapi orang ‘kan datang bukan hanya untuk memandang keindahannya saja. Tapi juga mau berenang di situ,” ungkap Rektor USU, Prof. Runtung Sitepu, kepada Sumut Pos, Senin (25/3)n

Namun bagaimana wisatawan mau berenang, jika air danau tidak segar lagi? Padahal wisatawan terutama wisatawan mancanegara (wisman), biasanya datang karena melihat keasrian lingkungan objek wisata yang akan didatangi.

Untuk mendukung pariwisata Danau Toba, USU membentuk Pokja Pengembangan Pariwisata Danau Toba, yang diketuai oleh Dr. Nurlisa Ginting. Pokja ini akan segera mengeluarkan rekomendasi untuk ditertibkan berdasarkan kajian dan penelitian dilakukan.

“Hasil riset menunjukkan, keasrian Danau Toba sudah tidak terpelihara lagi. Airnya juga sudah tidak segar lagi. Salahsatu penyebabnya, ya keberadaan KJA. KJA membuat pariwisata Danau Toba tidak berjalan maksimal. Nah… rekomendasi yang diberikan Pokja USU adalah penertiban KJA demi menjaga keasrian Danau Toba. Tujuannya untuk mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba,” tutur Runtung.

Meski menyebut isu pencemaran lingkungan bukan bidangnya, Runtung secara pribadi menilai, KJA harus ditertibkan karena sudah mengganggu mulai pemandangan hingga kebersihan air danau vulkanik terbesar di dunia itu. Bila tidak ditertibkan, akan berdampak pada pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba.

“Saya bukan ahlinya. Tapi menurut saya KJA itu sudah mengganggu. Kalau mau danau asri dan dirindukan semua orang wisatawan asing, harus ada tindakan tegas. Tapi biar ahli dari USU yang nanti bicara mengenai sejauhmana keberadaan KJA berdampak pada pengembangan pariwisata, tindakan apa yang harus diambil,” pungkas orang nomor satu di USU itu.

DPRD Sumut Tunggu Kajian Ilmiah

Masih terkait dengan isu pencemaran Danau Toba, komisi B DPRD Sumut yang mengawasi masalah perikanan menyebutkan, pihaknya tetap berkomitmen untuk membentuk Pansus masalah pencemaran Danau Toba.

“Pembentukan pansus nggak mungkin ditunda-tunda, karena sifatnya mendesak. Tapi kita nggak bisa juga tergesa-gesa. Pansus harus dibentuk dengan proses yang matang dan mungkin cukup panjang supaya benar-benar mampu menuntaskan masalah,” ucap Robby Anggana, ketua Komisi B DPRD Sumut kepada Sumut Pos, Senin (25/3).

Menurut Robby, ada beberapa kendala yang membuat Pansus tidak bisa dibentuk dalam waktu cepat. “Membentuk Pansus harus berdasarkan kajian ilmiah. Dari kajian itulah kita bisa menentukan Pansus itu terdiri dari apa, fungsinya apa, dan apa fokusnya,” ujar Robby.

Saat ini, DPRD masih menunggu kajian ilmiah dari para ahli di beberapa universitas. “Setelah kajiannya kita terima, akan kita gelar rapat pimpinan untuk segera membentuk Pansus. Kapan itu? Ya segera,” ujarnya.

Senada dengan Robby, Ketua komisi D DPRD Sumut yang mengawasi tentang Lingkungan Hidup, Sutrisno Pangaribuan, juga mengatakan hal senada. “Kita tunggulah hasil kajian dari para ahli. Kita tidak mau mendesak-desak para ahli supaya mereka bisa dengan fokus dan serius dalam memberikan hasil kajian ilmiah yang akurat,” kata Sutrisno.

Pansus itu nantinya bertugas menginvestigasi pencemaran air Danau Toba yang salahsatunya diduga disumbangkan olehy sejumlah perusahaan, termasuk PT Aquafarm Nusantara, perusahaan budi daya ikan nila dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba.

PT. Aquafarm pada Juli 2017 dilaporkan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, atas dugaan tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup dan pengairan. Laporan ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 dan/atau Pasal 99 UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pasal 15 ayat [1] huruf C UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan.

Pihak YPDT mengatakan, hampir dua tahun sejak laporan pidana dicatat, penyidikan belum menbuahkan hasil. Pada 24 Januari, perusahaan diduga kembali melakukan pencemaran Danau Toba. Sebagai bukti, bangkai ikan mati yang diangkat dari dasar Danau Toba tersebut, disaksikan langsung Bupati Toba Samosir dan wakilnya, beserta Kasat Reskrim Polres Toba Samosir saat itu.

Selain itu, perusahaan asal Swiss yang bergerak dalam budidaya perikanan tersebut juga dilaporkan masyarakat Desa Sirukkung ke Pemerintah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) karena diduga membuang ikan busuk sebanyak empat karung besar ke Danau Toba.

Aquafarm Respon Teguran Gubsu

Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumatera Utara, Binsar Situmorang, mengatakan, surat teguran Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT Aquafarm Nusantara, sudah direspon manajemen perusahaan asal Swiss tersebut.

Pemprovsu sendiri saat ini masih menunggu perbaikan dokumen maupun laporan yang sedang disusun oleh perusahaan modal asing (PMA) tersebut.

“Sedang dalam proses perbaikan (dokumen/laporan). Kita tunggu perkembangannya ya. Kami lagi ada rakor di luar kota,” ujar Binsar menjawab Sumut Pos melalui pesan singkat, Senin (25/3).

Teguran tertulis Gubsu pada 1 Februari 2019 dikeluarkan sehubungan dengan pelanggaran Aquafarm atas ketentuan yang ada. Antara lain produksi ikan yang melampaui batas dan tidak dikelolanya limbah. Namun belakangan publik meragukan sikap tegas gubernur. Mengapa hanya sanksi teguran tertulis saja yang dijatuhkan? Mengapa izin lingkungan Aquafarm tidak langsung dicabut?

Binsar sebelumnya menerangkan, pihaknya menjatuhkan sanksi ke Aquafarm bukan asal-asalan. Tetapi melalui ketentuan yang berlaku. “Mekanismenya ada, yaitu sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pada Pasal 76 ayat 1 ayat 2,” ujarnya.

Pada pasal 76 UU 32 tersebut, gubernur tidak boleh langsung mencabut izin lingkungan. Tetapi harus melalui 4 tahapan mekanisme sanksi administratif, yaitu teguran tertulis, pemaksaan, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan.

“ Aquafarm dalam konteks ini, jika semua mekanisme sanksi tidak dijalankan, barulah operasionalnya berhenti total,” tegasnya.

Oleh karena mekanisme sanksi sesuai Pasal 76 UU Nomor 32 itulah, tambah Binsar, Gubsu tidak mau mengambil risiko hukum. “Kita sadar, Aquafarm adalah perusahaan raksasa. Mereka juga punya kuasa hukum yang hebat, Pak Hotman Paris. Tentu kami sangat hati-hati dalam hal ini,” sambungnya.

Sekdaprovsu R Sabrina sebelumnya mengatakan, UU tentang Lingkungan Hidup memberi kewenangan kepada kepala daerah, dalam hal ini Gubsu Edy Rahmayadi, menjatuhkan sanksi manakala terjadi pelanggaran. Akan tetapi lebih dulu sanksi administrasi dari 4 kategori sanksi yang ada.

Jika sanksi tidak diindahkan, barulah akan ada pencabutan izin oleh pemerintah. “Itu ada tingkatan-tingkatannya. Tidak boleh langsung melakukan tindakan. Tapi teguran dulu,” katanya.

Investigasi DLH Sumut terhadap bangkai ikan yang dibuang ke danau, sebut Sabrina menemukan sejumlah pelanggaran oleh Aquafarm. Yaitu pertama, kelebihan kapasitas produksi. Kata dia, berdasarkan SK Gubernur Sumut Nomor 660/4223/Tahun 2009 tentang Daya Dukung atau Daya Tampung Danau Toba, kepada Aquafarm sudah diminta melakukan revisi terhadap dokumen pengelolaan lingkungan hidup. “Akan tetapi oleh Aquafarm belum dilakukan,” katanya.

Kedua, Aquafarm tidak melakukan pengolahan limbah cair pada unit produksinya di Kabupaten Serdangbedagai. Sabrina bilang hal ini merupakan pelanggaran. Selanjutnya terhadap hasil investigasi pihaknya sejauh ini telah digabungkan dengan yang dilakukan pihak kepolisian. Karena kasusnya sudah ditangani institusi penegak hukum.

“Bersalah atau tidaknya Aquafarm, penyidikan pihak kepolisan ditunggu,” ujarnya.

Tentang skema pengurangan produksi, Aquafarm telah diminta merevisi dokumen pengelolaan limbahnya. “Skema pengurangan produksi tergantung daya dukung dan daya tampung Danau Toba. Bukan hanya mereka yang berusaha di sana, ada juga masyarakat lain,” pungkasnya. (gus/mag-1/prn)

file/SUMUT POS
PENCEMARAN: Keramba jaring apung memenuhi perairan Danau Toba. Keramba-keramba ini dinilai salah satu penyebab tercemarnya air Danau Toba.

MEDAN, SUMUTPOS.CO –Universitas Sumatera Utara (USU) menyebutkan Keramba Jaring Apung (KJA) menimbulkan pencemaran air Danau Toba, Sumatera Utara. Kesimpulan itu sesuai kajian dampak lingkungan yang dilakukan Kelompak Kerja (Pokja) Pengembangan Pariwisata Danau Toba USU. Karena itu, aparat terkait didesak segera melakukan penertiban KJA.

“Soal keindahan, Danau Toba termasuk danau terindah dipandang di dunia. Tapi orang ‘kan datang bukan hanya untuk memandang keindahannya saja. Tapi juga mau berenang di situ,” ungkap Rektor USU, Prof. Runtung Sitepu, kepada Sumut Pos, Senin (25/3)n

Namun bagaimana wisatawan mau berenang, jika air danau tidak segar lagi? Padahal wisatawan terutama wisatawan mancanegara (wisman), biasanya datang karena melihat keasrian lingkungan objek wisata yang akan didatangi.

Untuk mendukung pariwisata Danau Toba, USU membentuk Pokja Pengembangan Pariwisata Danau Toba, yang diketuai oleh Dr. Nurlisa Ginting. Pokja ini akan segera mengeluarkan rekomendasi untuk ditertibkan berdasarkan kajian dan penelitian dilakukan.

“Hasil riset menunjukkan, keasrian Danau Toba sudah tidak terpelihara lagi. Airnya juga sudah tidak segar lagi. Salahsatu penyebabnya, ya keberadaan KJA. KJA membuat pariwisata Danau Toba tidak berjalan maksimal. Nah… rekomendasi yang diberikan Pokja USU adalah penertiban KJA demi menjaga keasrian Danau Toba. Tujuannya untuk mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba,” tutur Runtung.

Meski menyebut isu pencemaran lingkungan bukan bidangnya, Runtung secara pribadi menilai, KJA harus ditertibkan karena sudah mengganggu mulai pemandangan hingga kebersihan air danau vulkanik terbesar di dunia itu. Bila tidak ditertibkan, akan berdampak pada pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba.

“Saya bukan ahlinya. Tapi menurut saya KJA itu sudah mengganggu. Kalau mau danau asri dan dirindukan semua orang wisatawan asing, harus ada tindakan tegas. Tapi biar ahli dari USU yang nanti bicara mengenai sejauhmana keberadaan KJA berdampak pada pengembangan pariwisata, tindakan apa yang harus diambil,” pungkas orang nomor satu di USU itu.

DPRD Sumut Tunggu Kajian Ilmiah

Masih terkait dengan isu pencemaran Danau Toba, komisi B DPRD Sumut yang mengawasi masalah perikanan menyebutkan, pihaknya tetap berkomitmen untuk membentuk Pansus masalah pencemaran Danau Toba.

“Pembentukan pansus nggak mungkin ditunda-tunda, karena sifatnya mendesak. Tapi kita nggak bisa juga tergesa-gesa. Pansus harus dibentuk dengan proses yang matang dan mungkin cukup panjang supaya benar-benar mampu menuntaskan masalah,” ucap Robby Anggana, ketua Komisi B DPRD Sumut kepada Sumut Pos, Senin (25/3).

Menurut Robby, ada beberapa kendala yang membuat Pansus tidak bisa dibentuk dalam waktu cepat. “Membentuk Pansus harus berdasarkan kajian ilmiah. Dari kajian itulah kita bisa menentukan Pansus itu terdiri dari apa, fungsinya apa, dan apa fokusnya,” ujar Robby.

Saat ini, DPRD masih menunggu kajian ilmiah dari para ahli di beberapa universitas. “Setelah kajiannya kita terima, akan kita gelar rapat pimpinan untuk segera membentuk Pansus. Kapan itu? Ya segera,” ujarnya.

Senada dengan Robby, Ketua komisi D DPRD Sumut yang mengawasi tentang Lingkungan Hidup, Sutrisno Pangaribuan, juga mengatakan hal senada. “Kita tunggulah hasil kajian dari para ahli. Kita tidak mau mendesak-desak para ahli supaya mereka bisa dengan fokus dan serius dalam memberikan hasil kajian ilmiah yang akurat,” kata Sutrisno.

Pansus itu nantinya bertugas menginvestigasi pencemaran air Danau Toba yang salahsatunya diduga disumbangkan olehy sejumlah perusahaan, termasuk PT Aquafarm Nusantara, perusahaan budi daya ikan nila dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba.

PT. Aquafarm pada Juli 2017 dilaporkan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, atas dugaan tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup dan pengairan. Laporan ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 dan/atau Pasal 99 UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pasal 15 ayat [1] huruf C UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan.

Pihak YPDT mengatakan, hampir dua tahun sejak laporan pidana dicatat, penyidikan belum menbuahkan hasil. Pada 24 Januari, perusahaan diduga kembali melakukan pencemaran Danau Toba. Sebagai bukti, bangkai ikan mati yang diangkat dari dasar Danau Toba tersebut, disaksikan langsung Bupati Toba Samosir dan wakilnya, beserta Kasat Reskrim Polres Toba Samosir saat itu.

Selain itu, perusahaan asal Swiss yang bergerak dalam budidaya perikanan tersebut juga dilaporkan masyarakat Desa Sirukkung ke Pemerintah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) karena diduga membuang ikan busuk sebanyak empat karung besar ke Danau Toba.

Aquafarm Respon Teguran Gubsu

Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumatera Utara, Binsar Situmorang, mengatakan, surat teguran Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT Aquafarm Nusantara, sudah direspon manajemen perusahaan asal Swiss tersebut.

Pemprovsu sendiri saat ini masih menunggu perbaikan dokumen maupun laporan yang sedang disusun oleh perusahaan modal asing (PMA) tersebut.

“Sedang dalam proses perbaikan (dokumen/laporan). Kita tunggu perkembangannya ya. Kami lagi ada rakor di luar kota,” ujar Binsar menjawab Sumut Pos melalui pesan singkat, Senin (25/3).

Teguran tertulis Gubsu pada 1 Februari 2019 dikeluarkan sehubungan dengan pelanggaran Aquafarm atas ketentuan yang ada. Antara lain produksi ikan yang melampaui batas dan tidak dikelolanya limbah. Namun belakangan publik meragukan sikap tegas gubernur. Mengapa hanya sanksi teguran tertulis saja yang dijatuhkan? Mengapa izin lingkungan Aquafarm tidak langsung dicabut?

Binsar sebelumnya menerangkan, pihaknya menjatuhkan sanksi ke Aquafarm bukan asal-asalan. Tetapi melalui ketentuan yang berlaku. “Mekanismenya ada, yaitu sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pada Pasal 76 ayat 1 ayat 2,” ujarnya.

Pada pasal 76 UU 32 tersebut, gubernur tidak boleh langsung mencabut izin lingkungan. Tetapi harus melalui 4 tahapan mekanisme sanksi administratif, yaitu teguran tertulis, pemaksaan, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan.

“ Aquafarm dalam konteks ini, jika semua mekanisme sanksi tidak dijalankan, barulah operasionalnya berhenti total,” tegasnya.

Oleh karena mekanisme sanksi sesuai Pasal 76 UU Nomor 32 itulah, tambah Binsar, Gubsu tidak mau mengambil risiko hukum. “Kita sadar, Aquafarm adalah perusahaan raksasa. Mereka juga punya kuasa hukum yang hebat, Pak Hotman Paris. Tentu kami sangat hati-hati dalam hal ini,” sambungnya.

Sekdaprovsu R Sabrina sebelumnya mengatakan, UU tentang Lingkungan Hidup memberi kewenangan kepada kepala daerah, dalam hal ini Gubsu Edy Rahmayadi, menjatuhkan sanksi manakala terjadi pelanggaran. Akan tetapi lebih dulu sanksi administrasi dari 4 kategori sanksi yang ada.

Jika sanksi tidak diindahkan, barulah akan ada pencabutan izin oleh pemerintah. “Itu ada tingkatan-tingkatannya. Tidak boleh langsung melakukan tindakan. Tapi teguran dulu,” katanya.

Investigasi DLH Sumut terhadap bangkai ikan yang dibuang ke danau, sebut Sabrina menemukan sejumlah pelanggaran oleh Aquafarm. Yaitu pertama, kelebihan kapasitas produksi. Kata dia, berdasarkan SK Gubernur Sumut Nomor 660/4223/Tahun 2009 tentang Daya Dukung atau Daya Tampung Danau Toba, kepada Aquafarm sudah diminta melakukan revisi terhadap dokumen pengelolaan lingkungan hidup. “Akan tetapi oleh Aquafarm belum dilakukan,” katanya.

Kedua, Aquafarm tidak melakukan pengolahan limbah cair pada unit produksinya di Kabupaten Serdangbedagai. Sabrina bilang hal ini merupakan pelanggaran. Selanjutnya terhadap hasil investigasi pihaknya sejauh ini telah digabungkan dengan yang dilakukan pihak kepolisian. Karena kasusnya sudah ditangani institusi penegak hukum.

“Bersalah atau tidaknya Aquafarm, penyidikan pihak kepolisan ditunggu,” ujarnya.

Tentang skema pengurangan produksi, Aquafarm telah diminta merevisi dokumen pengelolaan limbahnya. “Skema pengurangan produksi tergantung daya dukung dan daya tampung Danau Toba. Bukan hanya mereka yang berusaha di sana, ada juga masyarakat lain,” pungkasnya. (gus/mag-1/prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/