26.7 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Menembus Hutan Batangtoru, Rimba Terakhir Pulau Sumatera (1), Habitat Orangutan Dijaga 6 Observer Muda

Diva/SUMUT POS
OBSERVER MUDA: Sheila Kharismadewi Silitonga (kiri) dan Andayani Oerta Ginting, Camp Manager di Kamp Mayang, pusat riset Orangutan di ekosistem Hutan Batangtoru.

SUMUTPOS.CO – Suasana alam yang masih perawan menjadi pemandangan lestari di Camp Mayang, tempat observasi Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), di Hutan Batangtoru kawasan Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Keberadaan Orangutan Tapanuli di ekosistem Hutan Batangtoru sangatlah langka. Hanya 0,2 individu per kilometer perseginya. Habitat mereka dijaga 6 observer yang masih muda-mudan

DINGIN Sabtu (23/2) pagi itu begitu menusuk. Suara sungai mengalir, alunan nyanyian katak dan burung merdu terdengar. Sekali saya melihat seokor tupai memanjat pohon di depan tungku perapian, tempat satu-satunya yang paling hangat di sana. Pondok tempat saya berteduh itu begitu sederhana. Berdiri dengan dinding tripleks beratapkan anyaman daun rumbia.

Di bawahnya sungai mengalir. Tampak dua ekor ular berenang menimbulkan gelombang kecil. Menggelikan bagi saya yang baru kali itu masuk ke hutan belantara.

Sebenarnya saya sendiri sudah sampai di kamp itu sejak Jumat (22/2) sore. Bukan pekerjaan mudah menuju ke sana. Perlu stamina ekstra. Kurang-lebih 5 jam saya tempuh membelah kawasan ekosistem Hutan Batang Toru dari desa terakhir, Desa Haramonting, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah. Konon jarak menuju ke sana 12 kilometer jauhnya.

Di kamp itu ada 6 orang pemuda menetap. Mereka Sheila Kharismadewi Silitonga, Andayani Oerta Ginting, Ulil Amri Silitonga, Dosmartua Sitompul, Ananda Simanungkalit, dan Jevi Sumakti Gultom. Mereka staf Yayasan Ekosistem Lestari -Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP), yang dibangun sejak 2007 lalu. Di sisi kanan kamp, terpampang foto-foto Orangutan Tapanuli yang pernah mereka temukan selama observasi. Setidaknya ada 24 Orangutan yang berhasil mereka ambil gambarnya. “Mau minum kopi? Enak, loh,” sapa Sheila memecah lamunan saya.

Sheila merupakan perempuan lulusan jurusan Biologi universitas Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia dipercaya menjadi kamp manager bidang penelitian Orangutan di sana. Kisahnya dimulai dari tugas akhirnya soal Orangutan pada 2017 lalu. “Begitu lulus ditawari lagi ke sini. Jadi sejak April 2018 saya di camp ini,” katanya.

Tugasnya di sana adalah melakukan observasi dan menjaga habitat Orangutan serta flora-fauna di ekosistem Hutan Batangtoru. Tak jarang, ia dan staf lain mendampingi mahasiswa maupun sejumlah peneliti yang melakukan riset di Camp Mayang. “Kemarin sebelumnya juga ada datang mahasiswa dari USU, dua orang. Mereka melakukan riset terhadap keberadaan lumut di sini selama tiga hari,” katanya.

Menjaga keberadaan orangutan tetap aman di habitatnya bukan pekerjaan mudah. Jumlah yang ada tidak sampai seribu individu. Kemudian habitat yang terus terancam, merupakan kendala utama saat ini. “Keberadaan Orangutan Tapanuli sangatlah langka di ekosistem Hutan Batangtoru. Hanya 0,2 individu per kilometer perseginya,” ujarnya.

Ada hal yang menjadi pertanyaan saya kenapa mereka menyebut satuan Orangutan dengan panggilan ‘individu’ bukan ‘ekor’. Sheila menjelaskan, Orangutan itu tidak punya ekor dan hidup menyendiri, tidak berkelompok.

Orangutan termasuk kera besar yang ada di dunia selain Gorila, Simpanse. Sedangkan yang memiliki ekor adalah jenis monyet. Sehingga di dunia konservasi, menyepakati penyebutan yang cocok untuk Orangutan adalah individu.

Kembali ke pembahasan soal sulitnya menemukan Orangutan. Dari hasil riset rendahnya populasi Orangutan Tapanuli, juga diakibatkan pola kembangbiak primata tersebut. “Orangutan betina hanya akan memiliki anak sekali dalam 8 hingga 10 tahun. Betina itu tidak mau berkembang biak kalau anaknya masih sama dia,” terangnya.

Aktivitas observasi memantau dan mencatat perilaku Orangutan Tapanuli butuh kesabaran dan ketelitian. Kontur hutan yang terjal membuat tim sering kewalahan melakukan observasi visual. Mereka lebih memilih pemantauan menggunakan indera pendegaran.

“Makanya kami kesulitan kalau sudah siang hari. Karena angin gunung berhembus dan menyulitkan pemantauan suara pergerakan Orangutan. Yang sudah berhasil kami temukan itu ada sekira 24 individu,” ceritanya.

Namun, dua hari sebelumnya, Kamis (21/2) mereka sempat berhasil mendapati dua individu Orangutan yang mereka belum kenali samasekali. “Tapi sayang, ketika Jumat pagi kami berangkat sekira pukul 05.00 WIB ke sarang yang dibuat Orangutan itu, keduanya sudah tidak ada di sana. Namanya Ruli dan Taruli,” katanya.

Cukup menarik rasanya ketika mendengar Sheila menamai satu individu Orangutan. Menurutnya, penamaan Orangutan bisa dilakukan. karena primata ini memiliki ciri khas tersendiri. “Jadi kalau kita sudah pernah bertemu satu individu, kita namai. Tidak sulit mengidentifikasi tiap-tiap Orangutan. Mmereka punya ciri khas fisik yang membedakan dengan Orangutan lainnya. Sama seperti manusia,” tuturnya.

Sifat Orangutan juga nyaris sama seperti manusia. Individu ini melakukan pergerakan ketika hari terang saat pagi. Dan kembali membuat sarang ketika senja datang hingga kemudian beristirahat ketika hari gelap.

Area monitoring Camp Mayang mencakup 12 kilometer persegi. Setiap hari mulai pukul 08.00 WIB, 6 pemuda di kamp itu menelusuri grit, jalur-jalur observasi yang telah petakan.

Andayani Oerta Ginting atau yang kerap disapa Anda, merupakan camp manager lainnya. Ia menjelaskan, dua kamp manager ditempatkan di sana punya maksud dan tujuan. “Sistem kerja kami 3 minggu observasi, 1 minggu libur. Jadi ketika yang satunya libur, ada seorang kamp manager tinggal di hutan dan bertanggungjawab terkait penelitian,” ungkap perempuan yang juga lulusan IPB ini.

Ia sendiri merupakan lulusan IPB dari jurusan Kehutanan. Anda bertugas sebulan lebih dulu ketimbang Sheila. Anda seorang camp manager yang bertugas lebih kepada managerial pondok. Mengontrol segala keperluan logistik kamp.

Ada nama Ulil Amri di sana. Pria berusia 28 tahun yang sudah bangkotan di Camp Mayang, kuranglebih 8 tahun. Sebelumnya merupakan penderes getah karet. “Awalnya agak berat bekerja di hutan seperti ini. Namun setelah mengikuti pelatihan tiga bulan, saya mulai betah,” ujarnya.

Dia menyebutkan, setelah menekuni tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya di Camp Mayang, banyak hal yang didapat. Tak hanya pengetahuan, tetapi juga kenal peneliti asing. “Umumnya yang datang ke sini peneliti, mahasiswa praktik lapangan, juga fotografer. Dari mereka, saya banyak belajar hal baru,” tuturnya.

Lain halnya dengan Ananda Simanungkalit. Penduduk Desa Haramonting, Kecamatan Tukka ini, awalnya penebang kayu ilegal. Dia melakukan pekerjaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ananda beruntung, ketika dia mulai berhenti menebang kayu, salah seorang temannya yang lebih dulu bekerja di Camp Mayang mengajaknya bergabung.

“Sekarang jangankan untuk menebang kayu hutan, ketika saya berusaha menombak ikan yang ada di sungai di dekat kamp saja, dia langsung mengultimatum: “Jangan coba-coba abang tombak, aku tombak abang nanti,” ujarnya sedikit serius. (*/bersambung)

Diva/SUMUT POS
OBSERVER MUDA: Sheila Kharismadewi Silitonga (kiri) dan Andayani Oerta Ginting, Camp Manager di Kamp Mayang, pusat riset Orangutan di ekosistem Hutan Batangtoru.

SUMUTPOS.CO – Suasana alam yang masih perawan menjadi pemandangan lestari di Camp Mayang, tempat observasi Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), di Hutan Batangtoru kawasan Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Keberadaan Orangutan Tapanuli di ekosistem Hutan Batangtoru sangatlah langka. Hanya 0,2 individu per kilometer perseginya. Habitat mereka dijaga 6 observer yang masih muda-mudan

DINGIN Sabtu (23/2) pagi itu begitu menusuk. Suara sungai mengalir, alunan nyanyian katak dan burung merdu terdengar. Sekali saya melihat seokor tupai memanjat pohon di depan tungku perapian, tempat satu-satunya yang paling hangat di sana. Pondok tempat saya berteduh itu begitu sederhana. Berdiri dengan dinding tripleks beratapkan anyaman daun rumbia.

Di bawahnya sungai mengalir. Tampak dua ekor ular berenang menimbulkan gelombang kecil. Menggelikan bagi saya yang baru kali itu masuk ke hutan belantara.

Sebenarnya saya sendiri sudah sampai di kamp itu sejak Jumat (22/2) sore. Bukan pekerjaan mudah menuju ke sana. Perlu stamina ekstra. Kurang-lebih 5 jam saya tempuh membelah kawasan ekosistem Hutan Batang Toru dari desa terakhir, Desa Haramonting, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah. Konon jarak menuju ke sana 12 kilometer jauhnya.

Di kamp itu ada 6 orang pemuda menetap. Mereka Sheila Kharismadewi Silitonga, Andayani Oerta Ginting, Ulil Amri Silitonga, Dosmartua Sitompul, Ananda Simanungkalit, dan Jevi Sumakti Gultom. Mereka staf Yayasan Ekosistem Lestari -Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP), yang dibangun sejak 2007 lalu. Di sisi kanan kamp, terpampang foto-foto Orangutan Tapanuli yang pernah mereka temukan selama observasi. Setidaknya ada 24 Orangutan yang berhasil mereka ambil gambarnya. “Mau minum kopi? Enak, loh,” sapa Sheila memecah lamunan saya.

Sheila merupakan perempuan lulusan jurusan Biologi universitas Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia dipercaya menjadi kamp manager bidang penelitian Orangutan di sana. Kisahnya dimulai dari tugas akhirnya soal Orangutan pada 2017 lalu. “Begitu lulus ditawari lagi ke sini. Jadi sejak April 2018 saya di camp ini,” katanya.

Tugasnya di sana adalah melakukan observasi dan menjaga habitat Orangutan serta flora-fauna di ekosistem Hutan Batangtoru. Tak jarang, ia dan staf lain mendampingi mahasiswa maupun sejumlah peneliti yang melakukan riset di Camp Mayang. “Kemarin sebelumnya juga ada datang mahasiswa dari USU, dua orang. Mereka melakukan riset terhadap keberadaan lumut di sini selama tiga hari,” katanya.

Menjaga keberadaan orangutan tetap aman di habitatnya bukan pekerjaan mudah. Jumlah yang ada tidak sampai seribu individu. Kemudian habitat yang terus terancam, merupakan kendala utama saat ini. “Keberadaan Orangutan Tapanuli sangatlah langka di ekosistem Hutan Batangtoru. Hanya 0,2 individu per kilometer perseginya,” ujarnya.

Ada hal yang menjadi pertanyaan saya kenapa mereka menyebut satuan Orangutan dengan panggilan ‘individu’ bukan ‘ekor’. Sheila menjelaskan, Orangutan itu tidak punya ekor dan hidup menyendiri, tidak berkelompok.

Orangutan termasuk kera besar yang ada di dunia selain Gorila, Simpanse. Sedangkan yang memiliki ekor adalah jenis monyet. Sehingga di dunia konservasi, menyepakati penyebutan yang cocok untuk Orangutan adalah individu.

Kembali ke pembahasan soal sulitnya menemukan Orangutan. Dari hasil riset rendahnya populasi Orangutan Tapanuli, juga diakibatkan pola kembangbiak primata tersebut. “Orangutan betina hanya akan memiliki anak sekali dalam 8 hingga 10 tahun. Betina itu tidak mau berkembang biak kalau anaknya masih sama dia,” terangnya.

Aktivitas observasi memantau dan mencatat perilaku Orangutan Tapanuli butuh kesabaran dan ketelitian. Kontur hutan yang terjal membuat tim sering kewalahan melakukan observasi visual. Mereka lebih memilih pemantauan menggunakan indera pendegaran.

“Makanya kami kesulitan kalau sudah siang hari. Karena angin gunung berhembus dan menyulitkan pemantauan suara pergerakan Orangutan. Yang sudah berhasil kami temukan itu ada sekira 24 individu,” ceritanya.

Namun, dua hari sebelumnya, Kamis (21/2) mereka sempat berhasil mendapati dua individu Orangutan yang mereka belum kenali samasekali. “Tapi sayang, ketika Jumat pagi kami berangkat sekira pukul 05.00 WIB ke sarang yang dibuat Orangutan itu, keduanya sudah tidak ada di sana. Namanya Ruli dan Taruli,” katanya.

Cukup menarik rasanya ketika mendengar Sheila menamai satu individu Orangutan. Menurutnya, penamaan Orangutan bisa dilakukan. karena primata ini memiliki ciri khas tersendiri. “Jadi kalau kita sudah pernah bertemu satu individu, kita namai. Tidak sulit mengidentifikasi tiap-tiap Orangutan. Mmereka punya ciri khas fisik yang membedakan dengan Orangutan lainnya. Sama seperti manusia,” tuturnya.

Sifat Orangutan juga nyaris sama seperti manusia. Individu ini melakukan pergerakan ketika hari terang saat pagi. Dan kembali membuat sarang ketika senja datang hingga kemudian beristirahat ketika hari gelap.

Area monitoring Camp Mayang mencakup 12 kilometer persegi. Setiap hari mulai pukul 08.00 WIB, 6 pemuda di kamp itu menelusuri grit, jalur-jalur observasi yang telah petakan.

Andayani Oerta Ginting atau yang kerap disapa Anda, merupakan camp manager lainnya. Ia menjelaskan, dua kamp manager ditempatkan di sana punya maksud dan tujuan. “Sistem kerja kami 3 minggu observasi, 1 minggu libur. Jadi ketika yang satunya libur, ada seorang kamp manager tinggal di hutan dan bertanggungjawab terkait penelitian,” ungkap perempuan yang juga lulusan IPB ini.

Ia sendiri merupakan lulusan IPB dari jurusan Kehutanan. Anda bertugas sebulan lebih dulu ketimbang Sheila. Anda seorang camp manager yang bertugas lebih kepada managerial pondok. Mengontrol segala keperluan logistik kamp.

Ada nama Ulil Amri di sana. Pria berusia 28 tahun yang sudah bangkotan di Camp Mayang, kuranglebih 8 tahun. Sebelumnya merupakan penderes getah karet. “Awalnya agak berat bekerja di hutan seperti ini. Namun setelah mengikuti pelatihan tiga bulan, saya mulai betah,” ujarnya.

Dia menyebutkan, setelah menekuni tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya di Camp Mayang, banyak hal yang didapat. Tak hanya pengetahuan, tetapi juga kenal peneliti asing. “Umumnya yang datang ke sini peneliti, mahasiswa praktik lapangan, juga fotografer. Dari mereka, saya banyak belajar hal baru,” tuturnya.

Lain halnya dengan Ananda Simanungkalit. Penduduk Desa Haramonting, Kecamatan Tukka ini, awalnya penebang kayu ilegal. Dia melakukan pekerjaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ananda beruntung, ketika dia mulai berhenti menebang kayu, salah seorang temannya yang lebih dulu bekerja di Camp Mayang mengajaknya bergabung.

“Sekarang jangankan untuk menebang kayu hutan, ketika saya berusaha menombak ikan yang ada di sungai di dekat kamp saja, dia langsung mengultimatum: “Jangan coba-coba abang tombak, aku tombak abang nanti,” ujarnya sedikit serius. (*/bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/