MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) menahan Kepala Desa (Kades) Partungko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir berinisial BPP. Dia ditahan terkait kasus dugaan korupsi pengalihan fungsi penggunaan lahan hutan Tele.
“BPP ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Juni 2020 dan penahanan tersangka hari ini berdasarkan Surat Perintah Penahanan tertanggal 25 Maret 2021,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu, Sumanggar Siagian, Kamis (25/3) sore.
Menurut Sumanggar , Sesuai Surat Perintah itu , Tersangka BPP ditahan untuk selama 20 hari kedepan di Rutan Mapolda Sumut. Dalam Kasus ini , kata Sumanggar, tersangka selaku mantan Kades Partungko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir pada tahun 2002 memberikan izin untuk membuka lahan di hutan negara (Hutan Tele). “Perbuatan itu melanggar aturan perundang-undangan yang ada ,” ungkap Sumanggar.
Sementara Untuk kerugian Negara akibat dari perbuatan Tersangka itu , Tim Penyidik belum bisa memastikannya , karena masih menunggu hasil penghitungan dari BPKP Sumut.
”Meskipun demikian, tersangka kita tahan, dan dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 Tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 junto Pasal 55 ke-1 KUHPidana,” sebut Sumanggar.
Dari hasil proses penyidikan yang dilakukan Tim Pidsus, diketahui bahwa Tersangka BPP saat menjabat Kepala Desa Partungko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dalam Pelepasan Hutan Lindung di Kawasan Hutan Tele , seluas 350 Ha pada Tahun 2003 sampai 2013
Lebih lanjut Sumanggar menyebutkan, dari hasil pemeriksaan, Kasus Dugaan korupsi itu dilakukan tersangka BPP dengan cara menghimpun sebanyak 293 orang warga masyarakat untuk mengajukan izin membuka lahan atau tanah di Desa Kawasan Hutan Tele Desa Partungko Naginjang Kabupaten Samosir. Selain itu Tersangka juga mengutip uang sebesar Rp600 ribu per orang yang diserahkan kepada Tim Penataan dan Pengaturan Kawasan Hutan Tele di Desa Partungko Naginjang, untuk pengurusan Lahan tersebut.
“293 masyarakat yang hendak mengajukan izin membuka atau menggarap lahan tersebut dibagi tersangka dalam dalam 7 kelompok, padahal lahan itu merupakan areal kawasan hutan lindung,” jelas Sumanggar. (man)