29.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Mahasiswa Klarifikasi Kebohongan Tujuh ’Dosa’ TPL

KLARIFIKASI
Selain untuk memahami proses produksi pulp dan juga pembangunan HTI, kunjungan lapangan para kaum pergerakan itu sekaligus mengklarifikasi kebohongan sedikitnya tujuh “dosa” TPL sebagaimana sering dilontarkan kaum anti-investasi. Para mahasiswa itu sendiri yang mencatatkan kembali “daftar dosa” itu di log book yang disediakan dalam bentuk “kesan dan pesan,” sebelum menuliskan klarifikasi.

“Dosa-dosa” itu meliputi: rusaknya ekosistem lingkungan sebagai dampak limbah pabrik termasuk pencemaran Danau Toba, serta perusakan hutan lindung dengan adanya pembangunan HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku. Kemudian munculnya kerugian masyarakat sehubungan dengan aktivitas penebangan pohon kemenyan –yang sejak lama menjadi sumber penghasilan petani terutama di sektor Tele– sebagai konsekuensi pembangunan HTI, serta munculnya hal-hal meresahkan di bidang sosial-budaya. Selanjutnya terampasnya hak-hak adat masyarakat melalui degradasi tanah ulayat hingga berakibat pada penyingkiran dan pemiskinan masyarakat petani, terjadinya tindak kekerasan sebagai dampak sikap pro-kontra terhadap kehadiran perusahaan, serta tidak terdistribusikannya dana CD secara maksimal hingga menimbulkan ketidakadilan.

Hasil klarifikasi para mahasiswa secara umum menyimpulkan, isu-isu negatif yang dilontarkan kaum-anti tidak satu-pun sesuai fakta di lapangan. Dalam kata yang lebih lugas: bohong! Sepriyo Manurung yang mencatatkan alamatnya di Jalan Iskandarmuda no.107 Medan, misalnya, semula mendengar isu TPL “merampas” harta kekayaan rakyat yaitu tanah, “merusak” hutan dan tanaman lindung, serta “mengotori” Danau Toba melalui pembuangan limbah cair pabrik. Di lapangan dengan clear dia menyaksikan TPL bekerja baik, tidak merusak lingkungan, malah sebaliknya membudidayakan kembali tanaman (haminjon) itu. TPL juga tidak merampas kekayaan rakyat, bahkan menyejahterakan rakyat melalui pemberian logistik dan lain-lain (dana CSR – corporate social responsibility). Hotma br Sirait (jalan Iskandarmuda) menambahkan, “Saya rasa TPL tidak merampas kekayaan masyarakat karena saya mendengar penjelasan dari pimpinan perusahaan dan kemudian melihat langsung fakta lapangan mengenai isu konflik lahan dan pembuangan limbah.”
Penjelasan agak analitis dituliskan Nicky Dewi F Manullang (jalan Marindal Gg Keluarga) dengan mengatakan, “Banyak isu mengatakan TPL mengambil lahan warga Tobasa, dan aliran limbah TPL mengalir ke Danau Toba. Menurut saya lahan TPL milik negara dan hanya mendapatkan izin untuk mengelola. Limbah pun dialirakan ke Sungai Asahan setelah diproses lebih dulu. Sisa limbah yang di-daur ulang untuk hal bermanfaat. TPL pun melestarikan lagi hutan yang ada di sekeliling Tobasa.” Senada dengan Dewi, Teluk Panji Siregar (Pematangsiantar) mengemukakan, “TPL sudah berbeda jauh dengan era Indorayon, mulai dari kualitas udara dan lingkungan sekitar. Saya bangga karena dalam menangani limbah sudah diterapkan prinsip 3R: reduce, reuse, dan recycle.”
Duarjon Simalango (jalan Setiabudi) juga semula memandang TPL melakukan pencemaran Danau Toba. Tetapi kemudian menyaksikan kenyatanan lapangan yang bertolakbelakang, yakni tidak ada pencemaran danau. Parno S Mahulae (jalan Sukaria) dan Swandy Saragi (jalan Dr Mansyur) menambahkan TPL tidak mencemari Danau Toba karena limbah pabrik dialirkan ke Sungai Asahan (bermuara ke Tanjungbalai). Nahason Gea (jalan Setiabudi) menyimpulkan isu pencemaran lingkungan yang beredar di masyarakat tidak benar adanya. Namun ia memesankan bantuan CSR (corporate social responsibility) 1% (dari hasil penjualan bersih) mesti dipastikan sampai kepada masyarakat agar semua dapat menikmati. Kesan dan pesan senada masih dituliskan banyak aktivis lain, diantaranya William Tandias (Pancurbatu), Jeffri Sigalingging (Sei Bertu), Hepri Boy Purba (Dolok sanggul), Susanto Tumanggor (Padangbulan), Sardo Harsyon P Siboro (Padangbulan), Samuel M Sirait (Iskandarmuda), Yanti Octaviani Tambunan (Batangkuis), Benget E E Simamora (Padangbulan), Edo Martua Silalahi (Padangbulan), Ady Sitanggang (Tanjungsari), Dimar Sitanggang (Samosir), Theo Walcott (Balige), Pendi Harianja (Doloksanggul) dan Parlin Hutasoit (Tanjungsari). Ada juga yang mengaku datang berkunjung sekedar ingin mengetahui aktivitas perusahaan untuk menambah pengetahuan sekaligus tur seperti Edy Syahputra Situmeang (Jln Sei Bertu). (rel)

KLARIFIKASI
Selain untuk memahami proses produksi pulp dan juga pembangunan HTI, kunjungan lapangan para kaum pergerakan itu sekaligus mengklarifikasi kebohongan sedikitnya tujuh “dosa” TPL sebagaimana sering dilontarkan kaum anti-investasi. Para mahasiswa itu sendiri yang mencatatkan kembali “daftar dosa” itu di log book yang disediakan dalam bentuk “kesan dan pesan,” sebelum menuliskan klarifikasi.

“Dosa-dosa” itu meliputi: rusaknya ekosistem lingkungan sebagai dampak limbah pabrik termasuk pencemaran Danau Toba, serta perusakan hutan lindung dengan adanya pembangunan HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku. Kemudian munculnya kerugian masyarakat sehubungan dengan aktivitas penebangan pohon kemenyan –yang sejak lama menjadi sumber penghasilan petani terutama di sektor Tele– sebagai konsekuensi pembangunan HTI, serta munculnya hal-hal meresahkan di bidang sosial-budaya. Selanjutnya terampasnya hak-hak adat masyarakat melalui degradasi tanah ulayat hingga berakibat pada penyingkiran dan pemiskinan masyarakat petani, terjadinya tindak kekerasan sebagai dampak sikap pro-kontra terhadap kehadiran perusahaan, serta tidak terdistribusikannya dana CD secara maksimal hingga menimbulkan ketidakadilan.

Hasil klarifikasi para mahasiswa secara umum menyimpulkan, isu-isu negatif yang dilontarkan kaum-anti tidak satu-pun sesuai fakta di lapangan. Dalam kata yang lebih lugas: bohong! Sepriyo Manurung yang mencatatkan alamatnya di Jalan Iskandarmuda no.107 Medan, misalnya, semula mendengar isu TPL “merampas” harta kekayaan rakyat yaitu tanah, “merusak” hutan dan tanaman lindung, serta “mengotori” Danau Toba melalui pembuangan limbah cair pabrik. Di lapangan dengan clear dia menyaksikan TPL bekerja baik, tidak merusak lingkungan, malah sebaliknya membudidayakan kembali tanaman (haminjon) itu. TPL juga tidak merampas kekayaan rakyat, bahkan menyejahterakan rakyat melalui pemberian logistik dan lain-lain (dana CSR – corporate social responsibility). Hotma br Sirait (jalan Iskandarmuda) menambahkan, “Saya rasa TPL tidak merampas kekayaan masyarakat karena saya mendengar penjelasan dari pimpinan perusahaan dan kemudian melihat langsung fakta lapangan mengenai isu konflik lahan dan pembuangan limbah.”
Penjelasan agak analitis dituliskan Nicky Dewi F Manullang (jalan Marindal Gg Keluarga) dengan mengatakan, “Banyak isu mengatakan TPL mengambil lahan warga Tobasa, dan aliran limbah TPL mengalir ke Danau Toba. Menurut saya lahan TPL milik negara dan hanya mendapatkan izin untuk mengelola. Limbah pun dialirakan ke Sungai Asahan setelah diproses lebih dulu. Sisa limbah yang di-daur ulang untuk hal bermanfaat. TPL pun melestarikan lagi hutan yang ada di sekeliling Tobasa.” Senada dengan Dewi, Teluk Panji Siregar (Pematangsiantar) mengemukakan, “TPL sudah berbeda jauh dengan era Indorayon, mulai dari kualitas udara dan lingkungan sekitar. Saya bangga karena dalam menangani limbah sudah diterapkan prinsip 3R: reduce, reuse, dan recycle.”
Duarjon Simalango (jalan Setiabudi) juga semula memandang TPL melakukan pencemaran Danau Toba. Tetapi kemudian menyaksikan kenyatanan lapangan yang bertolakbelakang, yakni tidak ada pencemaran danau. Parno S Mahulae (jalan Sukaria) dan Swandy Saragi (jalan Dr Mansyur) menambahkan TPL tidak mencemari Danau Toba karena limbah pabrik dialirkan ke Sungai Asahan (bermuara ke Tanjungbalai). Nahason Gea (jalan Setiabudi) menyimpulkan isu pencemaran lingkungan yang beredar di masyarakat tidak benar adanya. Namun ia memesankan bantuan CSR (corporate social responsibility) 1% (dari hasil penjualan bersih) mesti dipastikan sampai kepada masyarakat agar semua dapat menikmati. Kesan dan pesan senada masih dituliskan banyak aktivis lain, diantaranya William Tandias (Pancurbatu), Jeffri Sigalingging (Sei Bertu), Hepri Boy Purba (Dolok sanggul), Susanto Tumanggor (Padangbulan), Sardo Harsyon P Siboro (Padangbulan), Samuel M Sirait (Iskandarmuda), Yanti Octaviani Tambunan (Batangkuis), Benget E E Simamora (Padangbulan), Edo Martua Silalahi (Padangbulan), Ady Sitanggang (Tanjungsari), Dimar Sitanggang (Samosir), Theo Walcott (Balige), Pendi Harianja (Doloksanggul) dan Parlin Hutasoit (Tanjungsari). Ada juga yang mengaku datang berkunjung sekedar ingin mengetahui aktivitas perusahaan untuk menambah pengetahuan sekaligus tur seperti Edy Syahputra Situmeang (Jln Sei Bertu). (rel)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/