26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Peternak: Ganti Rugi & Bersihkan Virus

PETERNAK: Rey Sihombing (kanan), salahsatu dari ribuan peternak babi di Kabupaten Dairi, saat diwawancara wartawan beberapa waktu lalu di Sidikalang. Rudy Sitanggang/Sumut Pos

DAIRI, SUMUTPOS.CO – Ide Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk memusnahkan massal 1,2 juta ekor ternak babi jika penyakit mendapat respon beragam dari masyarakat. Setelah peternak di Deliserdang mengaku setuju asal ada ganti rugi, peternak babi di Dairi menyatakan hal senada. Tapi mereka juga meminta pemerintah melakukan pembersihan virus, sehingga warga bisa kembali beternak setelah penyakit benar-benar bersih.

“Tidak masalah dimusnahkan sementara. Tetapi pemerintah harus memberikan ganti untung bagi ternak yang masih hidup, dan memberikan kompensasi bagi peternak yang sudah habis babinya. Selain itu, harus ada tindakan penanggulangan serangan virus,” kata Rey Sihombing (31), peternak babi warga Jalan Cipta, Sidikalang, Dairi, Selasa (26/11).

Setelah pemusnahan massal babi, dinas terkait maupun dari Kementerian Pertanian diminta memfasilitasi penyemprotan massal dan pengecekan virus yang membunuh ternak babi. Hingga dipastikan virus itu benar-benar bersih. “Harus ada action. Jangan pula setelah pemusnahan, tidak ada tindak lanjut dan terkesan dilama-lamakan,” ucapnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah membuat proyek percontohan pemeliharaan babi di beberapa daerah. Bila ternak itu sehat, dinas terkait maupun Kementerian Pertanian agar menginformasikan kepada masyarakat bahwa virus sudah bersih.

Hal senada disampaikan Alexander Simamora, peternak dari Lae Mbulan, Dairi. Menurut Alex, pemusnahan ternak babi adalah penanganan yang pas atas serangan penyakit babi. Karena serangan wabah itu tidak ada obatnya. Namun ia meminta pemerintah memberikan ganti untung dan ganti rugi. “Ternak yang hidup dan yang sudah mati harus ada kompensasi dari pemerintah,” katanya.

Menurutnya, bila pemerintah hanya memberikan ganti rugi pada ternak yang masih hidup, akan terkesan diskriminatif. Karena peternak yang sudah habis babinya, juga butuh kelangsungan untuk beternak kembali. “Pemerintah harus adil. Ternak yang sudah mati dan yang akan dimusnahkan harus diberikan kompensasi,” ucapnya.

Ia mengaku, sebanyak 70 ekor babinya telah mati meskipun divaksin setiap tahun. “Setiap tahun kami menyuntik vaksin ke ternak babi,” ujar Alexander.

Senada, Renti boru Situmorang (36), peternak babi di Desa Sitinjo 2, mengatakan pemerintah boleh memusnahkan babi jika ada ganti rugi. Pasalnya, 9 ekor babinya masih sehat. Karena itu, ia tidak terima ternaknya dimusnahkan jika tidak ada ganti untung dari pemerintah.

Selain itu, pascapemusnahan, menurutnya harus ada gerak cepat dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga Kementerian Pertanian, untuk membersihkan virus. Sehingga peternak babi bisa melanjutkan usahanya karena sudah berinvestasi lumayan besar membuat kandang dan biaya makan ternak.

Bukan Hog Cholera

Kembali ke Rey Sihombing, menurutnya kematian babi di Dairi bukan disebabkan serangan hog cholera. Melainkan African Swine Fever (ASF). Alasan dia, sebanyak 78 ekor ternak babi yang dipeliharanya tetap mati meski sudah divaksin. Babi miliknya masih bisa bertahan hidup satu bulan lebih usai divaksin.

“Artinya, vaksin itu bereaksi di tubuh babi. Padahal kalau serangan hog cholera, ternak tidak akan mati. Biasanya vaksin bereaksi 14 hari setelah disuntik,” katanya.

Ia menduga, penentuan jenis penyakit yang menyerang ternak babi beberapa kabupaten di Sumut ditutup- tutupi. “Mungkin agar ekspor daging babi tidak terganggu,” duganya.

Penelusuran Sumut Pos di internet, demam babi klasik ditemukan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Sejumlah negara telah dinyatakan bebas dari penyakit ini, seperti Australia dan Selandia Baru, beberapa negara di Amerika Utara (seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko), Eropa (seperti Belanda, Britania Raya, Jerman, Prancis, dan Spanyol), serta Amerika Selatan (seperti Argentina, Chili, Paraguay, dan Uruguay).

Di Indonesia, kasus demam babi klasik pertama kali ditemukan di Sumatra Utara pada tahun 1994 dan mewabah pada tahun 1995. Penyakit ini lalu menyebar provinsi lain di Pulau Sumatra, ke Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 888/Kpts/TN.560/9/97 menyatakan bahwa penyakit ini telah menyebar di 11 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi Papua dan Papua Barat ikut mengalami wabah pada tahun 2006.

Di akhir tahun 2019, ribuan babi di Sumatra Utara mati secara mendadak. Pengujian laboratorium menunjukkan hasil positif terhadap demam babi klasik dan terindikasi demam babi Afrika, penyakit yang belum pernah ditemukan sebelumnya di Indonesia.

Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Peternakan pada Dinas Pertanian Dairi, Jhon Manurung mengatakan, belum ada surat dari Dinas Peternakan Sumut mengenai rencana pemusnahan ternak babi. Namun pihaknya sudah diminta untuk menvalidkan data jumlah ternak babi yang sudah mati dan alamat pemiliknya.

“Kemungkinan ada ganti rugi ternak yang sudah mati dari Kementerian Pertanian. Sampai saat ini, jumlah ternak babi mati di Dairi sudah mencapai 3 ribu ekor lebih,” ungkapnya.

Jangan Sembarangan Buang Bangkai

Masih terkait serangan virus kolera babi, adanya temuan bangkai babi di parit menuju Sungai Segiling di Jalan Baja Kelurahan Damar Sari Kecamatan Padang Hilir Kota Tebingtinggi beberapa waktu lalu, membuat Wali Kota Tebingtinggi, Umar Zunaidi Hasibuan, jengkel.

“Pembuang bangkai babi ke sembarang tempat atau ke sungai, tidak usah tinggal di Tebingtinggi,” kata Umar Zunaidi, Selasa (25/11).

Umar juga mengancam akan mengusir warga yang kedapatan membuang bangkai babi ke sungai. “Jika tertangkap, akan diusir. Ini akan menjadi pelajaran kepada warga yang sembarangan membuang bangkai babi,” tegasnya.

Dia mengatakan, Kota Tebingtinggi dilintasi dua sungai besar yakni Sungai Padang dan Sungai Bahilang yang hulunya berada di kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Serdang Bedagai.

Untuk mengawasi kejadian pembuangan bangkai babi kemarin, Pemko Tebingtinggi sudah membentuk Satgas yang terdiri atas Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan Kota Tebingtinggi, Dinas Lingkungan Hidup, Polres dan Kejari Tebingtinggi.

“Satgas ini harus bekerja serius, masalah bangkai babi ini sangat membuat resah masyarakat dan bahkan membuat menurunnya omset pedagang ikan, dan mengganggu perekonomian,” ungkap Umar.

Kadis Ketahanan Pangan Pertanian dan Peternakan Kota Tebingtinggi , Marimbun Marpaung, mengatakan sampai saat ini tidak ada ditemukan bangkai babi yang dibuang ke sungai. Hal itu sesuai hasil penelusuran tim yang terus memantau.

“Tim yang berada di darat menemukan ada 47 ekor babi yang mati dan semua sudah ditanam, tim terus memberikan penyuluhan kepada peternak babi bekerja sama dengan aparat Camat, Lurah, dan Polsek di lokasi tertentu,” bilangnya. (rud/ian)

PETERNAK: Rey Sihombing (kanan), salahsatu dari ribuan peternak babi di Kabupaten Dairi, saat diwawancara wartawan beberapa waktu lalu di Sidikalang. Rudy Sitanggang/Sumut Pos

DAIRI, SUMUTPOS.CO – Ide Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk memusnahkan massal 1,2 juta ekor ternak babi jika penyakit mendapat respon beragam dari masyarakat. Setelah peternak di Deliserdang mengaku setuju asal ada ganti rugi, peternak babi di Dairi menyatakan hal senada. Tapi mereka juga meminta pemerintah melakukan pembersihan virus, sehingga warga bisa kembali beternak setelah penyakit benar-benar bersih.

“Tidak masalah dimusnahkan sementara. Tetapi pemerintah harus memberikan ganti untung bagi ternak yang masih hidup, dan memberikan kompensasi bagi peternak yang sudah habis babinya. Selain itu, harus ada tindakan penanggulangan serangan virus,” kata Rey Sihombing (31), peternak babi warga Jalan Cipta, Sidikalang, Dairi, Selasa (26/11).

Setelah pemusnahan massal babi, dinas terkait maupun dari Kementerian Pertanian diminta memfasilitasi penyemprotan massal dan pengecekan virus yang membunuh ternak babi. Hingga dipastikan virus itu benar-benar bersih. “Harus ada action. Jangan pula setelah pemusnahan, tidak ada tindak lanjut dan terkesan dilama-lamakan,” ucapnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah membuat proyek percontohan pemeliharaan babi di beberapa daerah. Bila ternak itu sehat, dinas terkait maupun Kementerian Pertanian agar menginformasikan kepada masyarakat bahwa virus sudah bersih.

Hal senada disampaikan Alexander Simamora, peternak dari Lae Mbulan, Dairi. Menurut Alex, pemusnahan ternak babi adalah penanganan yang pas atas serangan penyakit babi. Karena serangan wabah itu tidak ada obatnya. Namun ia meminta pemerintah memberikan ganti untung dan ganti rugi. “Ternak yang hidup dan yang sudah mati harus ada kompensasi dari pemerintah,” katanya.

Menurutnya, bila pemerintah hanya memberikan ganti rugi pada ternak yang masih hidup, akan terkesan diskriminatif. Karena peternak yang sudah habis babinya, juga butuh kelangsungan untuk beternak kembali. “Pemerintah harus adil. Ternak yang sudah mati dan yang akan dimusnahkan harus diberikan kompensasi,” ucapnya.

Ia mengaku, sebanyak 70 ekor babinya telah mati meskipun divaksin setiap tahun. “Setiap tahun kami menyuntik vaksin ke ternak babi,” ujar Alexander.

Senada, Renti boru Situmorang (36), peternak babi di Desa Sitinjo 2, mengatakan pemerintah boleh memusnahkan babi jika ada ganti rugi. Pasalnya, 9 ekor babinya masih sehat. Karena itu, ia tidak terima ternaknya dimusnahkan jika tidak ada ganti untung dari pemerintah.

Selain itu, pascapemusnahan, menurutnya harus ada gerak cepat dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga Kementerian Pertanian, untuk membersihkan virus. Sehingga peternak babi bisa melanjutkan usahanya karena sudah berinvestasi lumayan besar membuat kandang dan biaya makan ternak.

Bukan Hog Cholera

Kembali ke Rey Sihombing, menurutnya kematian babi di Dairi bukan disebabkan serangan hog cholera. Melainkan African Swine Fever (ASF). Alasan dia, sebanyak 78 ekor ternak babi yang dipeliharanya tetap mati meski sudah divaksin. Babi miliknya masih bisa bertahan hidup satu bulan lebih usai divaksin.

“Artinya, vaksin itu bereaksi di tubuh babi. Padahal kalau serangan hog cholera, ternak tidak akan mati. Biasanya vaksin bereaksi 14 hari setelah disuntik,” katanya.

Ia menduga, penentuan jenis penyakit yang menyerang ternak babi beberapa kabupaten di Sumut ditutup- tutupi. “Mungkin agar ekspor daging babi tidak terganggu,” duganya.

Penelusuran Sumut Pos di internet, demam babi klasik ditemukan di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Sejumlah negara telah dinyatakan bebas dari penyakit ini, seperti Australia dan Selandia Baru, beberapa negara di Amerika Utara (seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko), Eropa (seperti Belanda, Britania Raya, Jerman, Prancis, dan Spanyol), serta Amerika Selatan (seperti Argentina, Chili, Paraguay, dan Uruguay).

Di Indonesia, kasus demam babi klasik pertama kali ditemukan di Sumatra Utara pada tahun 1994 dan mewabah pada tahun 1995. Penyakit ini lalu menyebar provinsi lain di Pulau Sumatra, ke Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 888/Kpts/TN.560/9/97 menyatakan bahwa penyakit ini telah menyebar di 11 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi Papua dan Papua Barat ikut mengalami wabah pada tahun 2006.

Di akhir tahun 2019, ribuan babi di Sumatra Utara mati secara mendadak. Pengujian laboratorium menunjukkan hasil positif terhadap demam babi klasik dan terindikasi demam babi Afrika, penyakit yang belum pernah ditemukan sebelumnya di Indonesia.

Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Peternakan pada Dinas Pertanian Dairi, Jhon Manurung mengatakan, belum ada surat dari Dinas Peternakan Sumut mengenai rencana pemusnahan ternak babi. Namun pihaknya sudah diminta untuk menvalidkan data jumlah ternak babi yang sudah mati dan alamat pemiliknya.

“Kemungkinan ada ganti rugi ternak yang sudah mati dari Kementerian Pertanian. Sampai saat ini, jumlah ternak babi mati di Dairi sudah mencapai 3 ribu ekor lebih,” ungkapnya.

Jangan Sembarangan Buang Bangkai

Masih terkait serangan virus kolera babi, adanya temuan bangkai babi di parit menuju Sungai Segiling di Jalan Baja Kelurahan Damar Sari Kecamatan Padang Hilir Kota Tebingtinggi beberapa waktu lalu, membuat Wali Kota Tebingtinggi, Umar Zunaidi Hasibuan, jengkel.

“Pembuang bangkai babi ke sembarang tempat atau ke sungai, tidak usah tinggal di Tebingtinggi,” kata Umar Zunaidi, Selasa (25/11).

Umar juga mengancam akan mengusir warga yang kedapatan membuang bangkai babi ke sungai. “Jika tertangkap, akan diusir. Ini akan menjadi pelajaran kepada warga yang sembarangan membuang bangkai babi,” tegasnya.

Dia mengatakan, Kota Tebingtinggi dilintasi dua sungai besar yakni Sungai Padang dan Sungai Bahilang yang hulunya berada di kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Serdang Bedagai.

Untuk mengawasi kejadian pembuangan bangkai babi kemarin, Pemko Tebingtinggi sudah membentuk Satgas yang terdiri atas Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan Kota Tebingtinggi, Dinas Lingkungan Hidup, Polres dan Kejari Tebingtinggi.

“Satgas ini harus bekerja serius, masalah bangkai babi ini sangat membuat resah masyarakat dan bahkan membuat menurunnya omset pedagang ikan, dan mengganggu perekonomian,” ungkap Umar.

Kadis Ketahanan Pangan Pertanian dan Peternakan Kota Tebingtinggi , Marimbun Marpaung, mengatakan sampai saat ini tidak ada ditemukan bangkai babi yang dibuang ke sungai. Hal itu sesuai hasil penelusuran tim yang terus memantau.

“Tim yang berada di darat menemukan ada 47 ekor babi yang mati dan semua sudah ditanam, tim terus memberikan penyuluhan kepada peternak babi bekerja sama dengan aparat Camat, Lurah, dan Polsek di lokasi tertentu,” bilangnya. (rud/ian)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/