25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Menembus Hutan Batangtoru, Rimba Terakhir Pulau Sumatera (2), Lestarikan Orangutan dari Ancaman Kepunahan

TERANCAM: Orangutan Tapanuli yang ada di Hutan Batangtoru yang keberadaannya kini mulai terancam punah.

Sesi ramah tamah dengan penghuni Camp Mayang Sabtu (23/2) pagi itu usai. Perut saya sudah terisi penuh setelah menyantap sarapan. Masakannya sederhana, tapi tak sederhana sekali. Masakan ala anak pecinta alam lebih tepatnya: ringkas bernutrisi.

Saat itu Sheila ambil tanggung jawab sebagai pelayan bagi seisi pondok. Sejak subuh, tepatnya pukul 05.00 WIB, ia sudah sibuk dengan barang-barang dapur. Kebetulan hari itu jadwalnya piketn

Piket juga berlaku bagi 6 pemuda lain yang terlibat dalam konservasi Orangutan Tapanuli di kamp.

Setidaknya ada 8 orang tamu yang datang ke kamp itu, termasuk saya dan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut. Kami sejatinya ingin melihat langsung dari dekat, bagaimana kehidupan Orangutan Tapanuli yang berada di ekosistem Batangtoru.

Tas, sepatu bot, tempat makan dan minum untuk santap siang, menjadi hal dasar yang harus disiapkan sebelum masuk ke hutan. Total ada 5 tim yang terdiri dari 3 sampai 4 orang akan menelusuri rute jalan setapak areal konservasi, setelah briefing malam sebelumnya.

Saya dan seorang lagi rekan media dari Jawa Pos, memilih menelusuri hutan rimba Batangtoru itu bersama Sheila. Kami memilih jalur ke arah Timur kamp.

Langkah kami dipandu Sheila masuk ke hutan belantara. Sepanjang perjalanan, jejer baris pohon hutan primer Batangtoru seakan bercerita akan keanggunannya. Masih alami belum terjamah.

Terkadang terderngar suara-suara fauna yang bersembunyi dari balik pohon dan kejauhan hutan. Saya penasaran, ada berapa banyak macam fauna di sana. “Selain Orangutan Tapanuli, ada 23 jenis satwa dilindungi lain di sini, seperti Harimau, Macan Dahan, Siamang, Kambing Hutan,” terang Sheila sembari memimpin jalan kami.

Mendengar kata harimau, ia sendiri belum pernah bertemu dengan binatang buas dan paling kuat di ekosistem Hutan Batangtoru. ‘Kucing besar’ itu katanya lebih memilih menjauhi manusia bila dia sedang tidak lapar.

“Gak usah takut. Harimau pada dasarnya lebih memilih menjauhi manusia ketimbang datang mendekat. Itu kalau tidak lapar. Makanya kalau ada harimau yang masuk ke wilayah manusia, itu tandanya hutan sudah tak lagi menyediakan makanan,” terangnya.

Kembali kami berjalan, masuk lebih dalam ke hutan. Semakin ke dalam, barisan pohon-pohon semakin sempit. Rute observasi yang kami ikuti semakin tak bersahabat. Tanjakan, turunan, hingga menyeberangi sungai melewati batang pohon tumbang, jadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.

Tetiba terdengar samar-samar suara dari atas pohon, Sheila pun berhenti. Perempuan ini pun mengamati bila saja suara itu datang dari pergerakan Orangutan Tapanuli. “Oh cuma suara daun jatuh, ayok kita jalan lagi,” ajaknya.

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan, hingga pada titik di pedalaman hutan kuranglebih satu setengah jam perjalanan dari kamp. Lokasinya cukup terbuka dan berada agak tinggi. Spot yang baik mengamati Orangutan Tapanuli.

Sheila bercerita, Orangutan Tapanuli sifatnya pemalu. Begitu mengetahui ada manusia yang mendekatinya ia akan bersembunyi. “Selain jumlahnya yang semakin menipis. Orangutan juga pemalu. Jadi tidak sulit juga untuk mengungkap,” ungkapnya.

Di momen santai itu, saya tanyai Sheila soal hasil penelitiannya ketika meneliti perilaku Orangutan Tapanuli yang menjadi tugas akhirnya S1 saat di IPB. Dari hasil penelitian skripsinya, ia belajar tentang cara anak Orangutan Tapanuli dalam mencari makan.

“Dari hasil dari penelitian ku, anak Orangutan Tapanuli punya indepensi tinggi dalam mencari makan. Sedangkan berdasarkan teorinya anak Orangutan tidak se-independen itu. Ada banyak faktor sih yang menyebabkan hal itu. Tapi sewaktu saya membuat skripsi, saya hanya memiliki waktu 21 hari jadi teori yang saya dapat dari penelitian belum cukup,” ungkapnya.

Dari pemaparan Sheila, Orangutan Tapanuli berbeda dengan Orangutan Sumatera maupun Orangutan Kalimantan. Perbedaan itu ketahuan sejak 2017 lalu, sementara Orangutan Tapanuli sendiri sudah ditemukan sejak 2007.

Sampai saat ini Sheila sendiri masih melakukan observasi mendalam soal perbedaan perilaku antara Orangutan Tapanuli dan Orangutan Sumatera. Tapi yang sudah pasti, katanya, adalah soal populasi mereka yang tak banyak di ekosistem Hutan Batangtoru.

Perjalanan pun berlanjut, sejak pagi hingga hari mulai sore, tak satupun Orangutan Tapanuli yang kami temukan. Padahal, rute yang kami lewati merupakan daerah yang sempat jadi tempat bersarangnya primata itu.

Mereka sendiri, sebagai tim observasi dalam 1 tahun tidak sering bertemu dengan Orangutan Tapanuli. Demikian halnya yang dialami Sheila. Kuranglebih setahun baru ia baru beberapa kali bertemu dengan Orangutan Tapanuli.

“Namun fakta soal Orangutan Tapanuli maupun Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan lebih kepada genetikanya. Untuk perilaku kita masih melakukan observasi lebih lanjut. Jadi perlu diketahui orang awam, saat ini Indonesia memiliki tiga spesies kera besar sehingga perlu dijaga kelestariannya. Artinya Indonesia ini punya keanekaragaman fauna yang luar biasa,”sebutnya.

Hari pun mulai senja. Perburuan kami mencari Orangutan Tapanuli berakhir. Kami pun bergegas menuju rute arah kembali ke Kamp Mayang. Sekira pukul 15.00 WIB kami pun tiba dan beristirahat dari perjalanan yang menyita tenaga itu.

Kelima tim yang turun juga tak mendapat apa-apa. Nasibnya sama seperti kami, belum berhasil melihat langsung Orangutan Tapanuli di habitat asalnya.

Di Kamp Mayang, kami bertemu dengan pengamat primata asal Cekoslovakia, Stan Lotha. Ia sudah 14 tahun meneliti primata yang tersebar di Indonesia. Ia memilih tak ikut masuk ke hutan memilih untuk menyelesaikan hasil risetnya. “Halo, selamat malam,” sapa Stan berbahasa Indonesia ke saya.

Sembari menikmati santap malam, kami banyak bercerita soal keberadaan Orangutan Tapanuli yang kini terancam habitatnya. Ia mengatakan, di Hutan Batangtoru, distribusi primata ini terbagi di tiga blok. “Blok Barat, Blok Timur dan Blok Sibualbuali. Dan yang paling banyak terdapat di Blok Barat bagian dataran rendah,” katanya.

Banyaknya populasi Orangutan Tapanuli di kawasan dataran rendah Blok Barat karena ketersediaan pakan yang banyak. “Orangutan Tapanuli kan makannya buah berdaging, dan itu banyaknya ada di dataran rendah, Berbeda dengan keberadaan Orangutan di kawasan dataran tinggi Blok Barat. Makanya penyebaran mereka lebih banyak di kawasan dataran rendah,” sebutnya.

Pernah suatu ketika primata itu berada di pemukiman manusia dan bertemu dengan warga. Kala itu Orangutan tersebut sedang menunggu buah durian dari kebun warga. Konflik antara Orangutan Tapanuli dengan warga pun terjadi dan mengharuskan pihak YEL-SOCP dari Kamp Mayang turun mengusir kembali Orangutan itu ke habitatnya.

“Dan dengan rencana keberadaan pembangunan PLTA Batangtoru yang berlokasi di kawasan dataran rendah, tempat populasi terbanyak Orangutan Batangtoru, itu mengancam keberadaan Orangutan Tapanuli,” ungkapnya.

Ketika pembangunan itu terjadi, distribusi Orangutan Tapanuli akan terputus. Teori yang ia dapat, perlu ada distribusi antara Orangutan Tapanuli dari tiga blok tersebut.

“Jadi ketika kembangbiak Orangutan itu hanya sebatas komunitasnya saja, akan terjadi incest (perkawinan sedarah) yang terus-menerus. Dan itu tidak baik bagi kesinambungan mereka. Akan ada genetika Orangutan Tapanuli yang hilang dan lambat laun menuju kepunahan,” sebutnya.

Ia berharap pemerintah setempat dan pusat berpikiran konkrit bagaimana melestarikan keberadaan Orangutan Tapanuli. Menurutnya, keberadaan Orangutan Tapanuli saat ini berada di posisi terancam punah.

Kata Stan, informasi yang didapat, YEL akan membangun koridor hutan berupa pohon buatan yang akan menghubungkan distribusi Orangutan Tapanuli dari tiga blok tadi. “Tujuannya agar distribusi Orangutan itu bisa berjalan baik dan kembangbiak mereka bisa sempurna. Harapan saya semua pihak peduli akan hal itu. Tidak memandangnya sebelah mata dan semakin menambah cepat kepunahan Orangutan Tapanuli itu dari Pulau Sumatera,” pungkas Stan. (*)

TERANCAM: Orangutan Tapanuli yang ada di Hutan Batangtoru yang keberadaannya kini mulai terancam punah.

Sesi ramah tamah dengan penghuni Camp Mayang Sabtu (23/2) pagi itu usai. Perut saya sudah terisi penuh setelah menyantap sarapan. Masakannya sederhana, tapi tak sederhana sekali. Masakan ala anak pecinta alam lebih tepatnya: ringkas bernutrisi.

Saat itu Sheila ambil tanggung jawab sebagai pelayan bagi seisi pondok. Sejak subuh, tepatnya pukul 05.00 WIB, ia sudah sibuk dengan barang-barang dapur. Kebetulan hari itu jadwalnya piketn

Piket juga berlaku bagi 6 pemuda lain yang terlibat dalam konservasi Orangutan Tapanuli di kamp.

Setidaknya ada 8 orang tamu yang datang ke kamp itu, termasuk saya dan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut. Kami sejatinya ingin melihat langsung dari dekat, bagaimana kehidupan Orangutan Tapanuli yang berada di ekosistem Batangtoru.

Tas, sepatu bot, tempat makan dan minum untuk santap siang, menjadi hal dasar yang harus disiapkan sebelum masuk ke hutan. Total ada 5 tim yang terdiri dari 3 sampai 4 orang akan menelusuri rute jalan setapak areal konservasi, setelah briefing malam sebelumnya.

Saya dan seorang lagi rekan media dari Jawa Pos, memilih menelusuri hutan rimba Batangtoru itu bersama Sheila. Kami memilih jalur ke arah Timur kamp.

Langkah kami dipandu Sheila masuk ke hutan belantara. Sepanjang perjalanan, jejer baris pohon hutan primer Batangtoru seakan bercerita akan keanggunannya. Masih alami belum terjamah.

Terkadang terderngar suara-suara fauna yang bersembunyi dari balik pohon dan kejauhan hutan. Saya penasaran, ada berapa banyak macam fauna di sana. “Selain Orangutan Tapanuli, ada 23 jenis satwa dilindungi lain di sini, seperti Harimau, Macan Dahan, Siamang, Kambing Hutan,” terang Sheila sembari memimpin jalan kami.

Mendengar kata harimau, ia sendiri belum pernah bertemu dengan binatang buas dan paling kuat di ekosistem Hutan Batangtoru. ‘Kucing besar’ itu katanya lebih memilih menjauhi manusia bila dia sedang tidak lapar.

“Gak usah takut. Harimau pada dasarnya lebih memilih menjauhi manusia ketimbang datang mendekat. Itu kalau tidak lapar. Makanya kalau ada harimau yang masuk ke wilayah manusia, itu tandanya hutan sudah tak lagi menyediakan makanan,” terangnya.

Kembali kami berjalan, masuk lebih dalam ke hutan. Semakin ke dalam, barisan pohon-pohon semakin sempit. Rute observasi yang kami ikuti semakin tak bersahabat. Tanjakan, turunan, hingga menyeberangi sungai melewati batang pohon tumbang, jadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.

Tetiba terdengar samar-samar suara dari atas pohon, Sheila pun berhenti. Perempuan ini pun mengamati bila saja suara itu datang dari pergerakan Orangutan Tapanuli. “Oh cuma suara daun jatuh, ayok kita jalan lagi,” ajaknya.

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan, hingga pada titik di pedalaman hutan kuranglebih satu setengah jam perjalanan dari kamp. Lokasinya cukup terbuka dan berada agak tinggi. Spot yang baik mengamati Orangutan Tapanuli.

Sheila bercerita, Orangutan Tapanuli sifatnya pemalu. Begitu mengetahui ada manusia yang mendekatinya ia akan bersembunyi. “Selain jumlahnya yang semakin menipis. Orangutan juga pemalu. Jadi tidak sulit juga untuk mengungkap,” ungkapnya.

Di momen santai itu, saya tanyai Sheila soal hasil penelitiannya ketika meneliti perilaku Orangutan Tapanuli yang menjadi tugas akhirnya S1 saat di IPB. Dari hasil penelitian skripsinya, ia belajar tentang cara anak Orangutan Tapanuli dalam mencari makan.

“Dari hasil dari penelitian ku, anak Orangutan Tapanuli punya indepensi tinggi dalam mencari makan. Sedangkan berdasarkan teorinya anak Orangutan tidak se-independen itu. Ada banyak faktor sih yang menyebabkan hal itu. Tapi sewaktu saya membuat skripsi, saya hanya memiliki waktu 21 hari jadi teori yang saya dapat dari penelitian belum cukup,” ungkapnya.

Dari pemaparan Sheila, Orangutan Tapanuli berbeda dengan Orangutan Sumatera maupun Orangutan Kalimantan. Perbedaan itu ketahuan sejak 2017 lalu, sementara Orangutan Tapanuli sendiri sudah ditemukan sejak 2007.

Sampai saat ini Sheila sendiri masih melakukan observasi mendalam soal perbedaan perilaku antara Orangutan Tapanuli dan Orangutan Sumatera. Tapi yang sudah pasti, katanya, adalah soal populasi mereka yang tak banyak di ekosistem Hutan Batangtoru.

Perjalanan pun berlanjut, sejak pagi hingga hari mulai sore, tak satupun Orangutan Tapanuli yang kami temukan. Padahal, rute yang kami lewati merupakan daerah yang sempat jadi tempat bersarangnya primata itu.

Mereka sendiri, sebagai tim observasi dalam 1 tahun tidak sering bertemu dengan Orangutan Tapanuli. Demikian halnya yang dialami Sheila. Kuranglebih setahun baru ia baru beberapa kali bertemu dengan Orangutan Tapanuli.

“Namun fakta soal Orangutan Tapanuli maupun Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan lebih kepada genetikanya. Untuk perilaku kita masih melakukan observasi lebih lanjut. Jadi perlu diketahui orang awam, saat ini Indonesia memiliki tiga spesies kera besar sehingga perlu dijaga kelestariannya. Artinya Indonesia ini punya keanekaragaman fauna yang luar biasa,”sebutnya.

Hari pun mulai senja. Perburuan kami mencari Orangutan Tapanuli berakhir. Kami pun bergegas menuju rute arah kembali ke Kamp Mayang. Sekira pukul 15.00 WIB kami pun tiba dan beristirahat dari perjalanan yang menyita tenaga itu.

Kelima tim yang turun juga tak mendapat apa-apa. Nasibnya sama seperti kami, belum berhasil melihat langsung Orangutan Tapanuli di habitat asalnya.

Di Kamp Mayang, kami bertemu dengan pengamat primata asal Cekoslovakia, Stan Lotha. Ia sudah 14 tahun meneliti primata yang tersebar di Indonesia. Ia memilih tak ikut masuk ke hutan memilih untuk menyelesaikan hasil risetnya. “Halo, selamat malam,” sapa Stan berbahasa Indonesia ke saya.

Sembari menikmati santap malam, kami banyak bercerita soal keberadaan Orangutan Tapanuli yang kini terancam habitatnya. Ia mengatakan, di Hutan Batangtoru, distribusi primata ini terbagi di tiga blok. “Blok Barat, Blok Timur dan Blok Sibualbuali. Dan yang paling banyak terdapat di Blok Barat bagian dataran rendah,” katanya.

Banyaknya populasi Orangutan Tapanuli di kawasan dataran rendah Blok Barat karena ketersediaan pakan yang banyak. “Orangutan Tapanuli kan makannya buah berdaging, dan itu banyaknya ada di dataran rendah, Berbeda dengan keberadaan Orangutan di kawasan dataran tinggi Blok Barat. Makanya penyebaran mereka lebih banyak di kawasan dataran rendah,” sebutnya.

Pernah suatu ketika primata itu berada di pemukiman manusia dan bertemu dengan warga. Kala itu Orangutan tersebut sedang menunggu buah durian dari kebun warga. Konflik antara Orangutan Tapanuli dengan warga pun terjadi dan mengharuskan pihak YEL-SOCP dari Kamp Mayang turun mengusir kembali Orangutan itu ke habitatnya.

“Dan dengan rencana keberadaan pembangunan PLTA Batangtoru yang berlokasi di kawasan dataran rendah, tempat populasi terbanyak Orangutan Batangtoru, itu mengancam keberadaan Orangutan Tapanuli,” ungkapnya.

Ketika pembangunan itu terjadi, distribusi Orangutan Tapanuli akan terputus. Teori yang ia dapat, perlu ada distribusi antara Orangutan Tapanuli dari tiga blok tersebut.

“Jadi ketika kembangbiak Orangutan itu hanya sebatas komunitasnya saja, akan terjadi incest (perkawinan sedarah) yang terus-menerus. Dan itu tidak baik bagi kesinambungan mereka. Akan ada genetika Orangutan Tapanuli yang hilang dan lambat laun menuju kepunahan,” sebutnya.

Ia berharap pemerintah setempat dan pusat berpikiran konkrit bagaimana melestarikan keberadaan Orangutan Tapanuli. Menurutnya, keberadaan Orangutan Tapanuli saat ini berada di posisi terancam punah.

Kata Stan, informasi yang didapat, YEL akan membangun koridor hutan berupa pohon buatan yang akan menghubungkan distribusi Orangutan Tapanuli dari tiga blok tadi. “Tujuannya agar distribusi Orangutan itu bisa berjalan baik dan kembangbiak mereka bisa sempurna. Harapan saya semua pihak peduli akan hal itu. Tidak memandangnya sebelah mata dan semakin menambah cepat kepunahan Orangutan Tapanuli itu dari Pulau Sumatera,” pungkas Stan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/