MEDAN, SUMUTPOS.CO – Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser mencatat sebanyak 136 kasus konflik antara satwa liar dengan manusia terjadi di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara dan Aceh.
Maraknya kasus itu merupakan peristiwa catatan akhir tahun yang disampaikan oleh Plt Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Adhi Nurul Hadi pada konferensi pers catatan akhir tahun 2021 yang diselenggarakan Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ) di Kafe Rumah Kita Jalan STM Medan, Senin (27/12).
Konferensi pers tersebut juga dihadiri Kepala Seksi Balai Gakkum Wilayah I Sumatera, Haluanto Ginting, Direktur OIC Fransisca Ariantiningsih, Direktur CRU Aceh, Wahdi Azmi, Program Manager WCS-IP Tarmizi dan sejumlah jurnalis dari media cetak, online dan televisi.
“Data 2021, yang terekam sebanyak 136 kejadian konflik antara satwa dengan manusia. Dominasi oleh harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae),” kata Adhi.
Adhi mengatakan, dari jumlah kasus konflik tersebut, Kabupaten Aceh Selatan menduduki peringkat pertama terkait tingginya kasus konflik manusia dengan satwa, daripada Kabupaten lainnya seperti Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Subulussalam, dan Langkat.
“Untuk Aceh Selatan sendiri sebanyak 72 kejadian konflik harimau Sumatra dengan manusia, peringkat kedua Kabupaten Langkat, Sumut mencapai 26 kali konflik terjadi, kemudian Aceh Tenggara 15 kali, Subulussalam 11 kali, Gayo Lues 7 kali, Aceh Tamiang 4 kali dan Aceh Barat Daya hanya satu kali,” ucap Adhi.
Lanjut, Adhi menerangkan, volume konflik kedua juga terjadi pada gajah Sumatra (Elephas maximus) dengan jumlah konflik 24 kali terjadi di tahun 2021, sedangkan satwa lainnya seperti orangutan Sumatra (Pongo Abelii) 10 kali, badak Sumatra (Dicerorhinus Sumatrensus) 1 kali dan beruang madu (Helarctos malayanus) 3 kali. Kemudian terdapat 2 konflik juga terjadi kepada satwa lainya.
Sementara itu, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera menangani 8 kasus kejahatan dan perdagangan terhadap satwa dilindungi selama 2021, meningkat dari tahun sebelumnya 2020.
Kepala Seksi Balai Gakkum Wilayah I Sumatera, Haluanto Ginting mengatakan, dari ke-8 kasus yang ditangani di wilayah Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh itu, tiga diantaranya sudah dinyatakan lengkap (P-21). Sedangkan lima kasus lainnya masih dalam proses penyidikan.
“Kejahatan satwa selama 2021 ada 8 kasus yang kita tangani. Tiga kasus di Aceh dan 5 kasus di Sumut. Tahun ini cukup lumayan, khususnya (kasus) Harimau dan lokasi banyaknya di Aceh,” ungkap Haluanto dalam konferensi pers catatan akhir tahun 2021 kasus kejahatan dan perdagangan satwa Sumut dan Aceh.
Sedangkan kasus di Sumut, ada 5 kasus yang ditangani Balai Gakkum Wilayah I Sumatera. Satu kasus sudah dinyatakan selesai atau P-21 dan dalam proses persidangan. Yakni, kasus kejahatan satwa Macan akar dan Kura-kura Baking.
“Dua kasus burung dilindungi dan 2 kasus lagi penjualan sisik trenggiling dan paruh burung Rangkong sudah tahap pertama,” sebutnya.
Dalam catatan akhir tahun, Sumatera Trofical Forest Journalism (STFJ) soroti kasus kejahatan dan perdagangan satwa yang masih tinggi terjadi di Sumatera Utara dan Aceh sepanjang 2021.
Direktur STFJ, Rahmad Suryadi, mengatakan bahwa kejahatan satwa yang terjadi kerap bersinggungan dengan jerat, yang berujung pada kematian satwa tersebut. Penggunaan jerat oleh masyarakat menjadi perhatian serius yang merupakan bentuk kejahatan terhadap satwa.
“Pemasangan jerat yang mengakibatkan kematian pada satwa dilindungi di Kawasan Sumatera Utara dan Aceh juga menjadi penekanan masalah yang harus segera diatasi, karena sangat berbahaya bagi satwa dilindungi,” ujarnya.
“Melalui konferensi pers ini, mendorong meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendukung pemberantasan kejahatan terhadap satwa liar, tetapi juga meningkatkan keseriusan dan kemauan aparat penegak hukum untuk mengadili pedagang dan pemburu satwa liar serta menerapkan hukuman yang maksimal,” pungkasnya.(rel)