TEBINGTINGGI- Terletak di kawasan Jalan Batubara Kelurahan Satria Kecamatan Padang Hilir Kota Tebingtinggi, masjid Jami dibangun oleh keturunan Raden dari Pulau Jawa yakni almarhum Raden Rekso Misastro di era 1945-an. Atau tepatnya saat zaman perang kemerdekaan melawan penjajah Jepang di Kota Tebingtinggi. Pemilik sekaligus pembangun Masjid Jami, almarhum Raden Rekso Misastro selanjutnya mewakafkan masjid bersama tanahnya kepada warga sekitar hingga saat ini.
Nazir Masjid Jami, H Muhammad Rasyad (65) warga Jalan Batubara Lingkungan VI Kelurahan Satria Kota Tebingtinggi mengisahkan jika dulunya masjid ini dibangun oleh keturunan bangsawan dari Pula Jawa untuk mempersatukan umat Islam di daerah Kota Tebingtinggi lama. Selain itu masjid Jami ini dahulu juga dipergunakan untuk bermusyawarah para pejuang-pejuang kemerdekaan dalam mengatur siasat melawan penjajah.
âAktivitas keagamaan di wilayah Tebingtinggi lama, dahulunya dilaksanakan di masjid ini. Bangunan pertama masjid Jami terbuat dari kayu meranti mulai dari dinding dan seluruh bagunannya,âjelas Rasyid kepada Sumut Pos, Kamis (28/3).
Selain itu, ungkap Rasyid, masjid Jami dahulu juga dipergunakan warga untuk pengajian, aktivitas sholat, membaca alquran dan membahas perkembangan agama Islam oleh ulama-ulama dari Pulau Jawa. âBanyak dahulu ulama-ulama dari Pula Jawa yang memberikan pendidikan agama Islam,âterangnya.
Tampak terlihat juga peninggalan berupa bedug tua terbuat dari kayu besar dilobangi dan dipahat secara tradisional serta lapisan luar dibalut dengan kulit lembu yang sengaja dibawa oleh ulama dari Pulau Jawa. Bedug kini tetap menjadi saksi sejarah karena selalu digunakan untuk menandakan waktu salat, yang ditandai dengan pemukulan bedug oleh penjaga masjid.
âMenurut cerita orang tua terdahulu, suara gema bedug menandai waktu masuk sholat fardu bisa menembus hingga radius 5 km. Tetapi sayang, sekarang bedug tersebut sudah tidak ada lagi karena hancur dimakan usia dan dahulu, pihak Pemerintah Kota Tebingtinggi sering memijnjam untuk dipakai dalam acara hari-hari kebesaran agama Islam,âujar Rasyid.
Kini dengan ukuran 9×11 m2 masjid Jami sudah mengalami dua kali pemugaran yakni 1975 dan 1985. Meskipun dipugar, namun tetapi tidak menghilangkan ornamen lama, yaitu tonggak penyangga kubah yang terbuat dari bahan seng yang disangga oleh kayu. âKami berharap kepada Pemko Tebingtinggi untuk memasukan dalam sejarah bahwa Masjid Jami juga masjid tertua ketiga di Kota Tebingtinggi setelah Masjid Raya, Masjid Keling,âjelas Rasyid. (ian)
TEBINGTINGGI- Terletak di kawasan Jalan Batubara Kelurahan Satria Kecamatan Padang Hilir Kota Tebingtinggi, masjid Jami dibangun oleh keturunan Raden dari Pulau Jawa yakni almarhum Raden Rekso Misastro di era 1945-an. Atau tepatnya saat zaman perang kemerdekaan melawan penjajah Jepang di Kota Tebingtinggi. Pemilik sekaligus pembangun Masjid Jami, almarhum Raden Rekso Misastro selanjutnya mewakafkan masjid bersama tanahnya kepada warga sekitar hingga saat ini.
Nazir Masjid Jami, H Muhammad Rasyad (65) warga Jalan Batubara Lingkungan VI Kelurahan Satria Kota Tebingtinggi mengisahkan jika dulunya masjid ini dibangun oleh keturunan bangsawan dari Pula Jawa untuk mempersatukan umat Islam di daerah Kota Tebingtinggi lama. Selain itu masjid Jami ini dahulu juga dipergunakan untuk bermusyawarah para pejuang-pejuang kemerdekaan dalam mengatur siasat melawan penjajah.
âAktivitas keagamaan di wilayah Tebingtinggi lama, dahulunya dilaksanakan di masjid ini. Bangunan pertama masjid Jami terbuat dari kayu meranti mulai dari dinding dan seluruh bagunannya,âjelas Rasyid kepada Sumut Pos, Kamis (28/3).
Selain itu, ungkap Rasyid, masjid Jami dahulu juga dipergunakan warga untuk pengajian, aktivitas sholat, membaca alquran dan membahas perkembangan agama Islam oleh ulama-ulama dari Pulau Jawa. âBanyak dahulu ulama-ulama dari Pula Jawa yang memberikan pendidikan agama Islam,âterangnya.
Tampak terlihat juga peninggalan berupa bedug tua terbuat dari kayu besar dilobangi dan dipahat secara tradisional serta lapisan luar dibalut dengan kulit lembu yang sengaja dibawa oleh ulama dari Pulau Jawa. Bedug kini tetap menjadi saksi sejarah karena selalu digunakan untuk menandakan waktu salat, yang ditandai dengan pemukulan bedug oleh penjaga masjid.
âMenurut cerita orang tua terdahulu, suara gema bedug menandai waktu masuk sholat fardu bisa menembus hingga radius 5 km. Tetapi sayang, sekarang bedug tersebut sudah tidak ada lagi karena hancur dimakan usia dan dahulu, pihak Pemerintah Kota Tebingtinggi sering memijnjam untuk dipakai dalam acara hari-hari kebesaran agama Islam,âujar Rasyid.
Kini dengan ukuran 9×11 m2 masjid Jami sudah mengalami dua kali pemugaran yakni 1975 dan 1985. Meskipun dipugar, namun tetapi tidak menghilangkan ornamen lama, yaitu tonggak penyangga kubah yang terbuat dari bahan seng yang disangga oleh kayu. âKami berharap kepada Pemko Tebingtinggi untuk memasukan dalam sejarah bahwa Masjid Jami juga masjid tertua ketiga di Kota Tebingtinggi setelah Masjid Raya, Masjid Keling,âjelas Rasyid. (ian)