26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kekerasan Seksual Meningkat di Tengah Pandemi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Di tengah pandemi COVID-19, Komnas Perempuan secara nasional mencatat angka kasus ke-kerasan seksual berdasarkan hasil laporan kurun waktu Januari hingga Mei 2020 mencapai 768 kasus. 

Hal tersebut diungkapkan Koordinator  Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), Sri Rahayu kepada wartawan di Medan Jumat (28/8) siang. Ia menilai angka itu, sangat memprihatinkan dan harus ada kebijakan pemerintah untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual dialami kaum wanita itu.

“Di mana 542 kasus terjadi di ranah personal atau kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian, ranah komunitas, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus,” kata Sri.

Sri Rahayu menjelaskan, bahwa dari data yang diperoleh HAPSARI sepanjang Januari hingga Agustus 2020, ada 35 kasus kekerasan yang dilaporkan dari Wilayah Kabupaten Deliserdang dan Serdang Bedagai.  “Sebanyak 26 kasus merupakan kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga penelantaran dan 6 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual,” jelasnya. 

Menurut Sri Rahayu bahwa pandemi Covid-19 telah ‘memaksa’ beralihnya system layanan penanganan kasus dari layanan langsung atau tatap muka menjadi layanan dalam jaringan atau daring yang terhubung melalui jejaring komputer dan internet, berbasis tekhnologi. Sayangnya, layanan seperti ini tidak mudah diakses oleh korban. 

“Rendahnya literasi teknologi, masalah jaringan internet yang tidak stabil dan anggaran yang terbatas untuk membeli kuota internet, mempersulit korban mendapatkan akses layanan daring untuk penanganan kekerasan yang dialaminya. Ditambah lagi dengan situasi lockdown (pembatasan ke luar rumah) pada zona-zona tertentu, menyebabkan korban tidak bisa menghindari pelaku kekerasan untuk meminta bantuan,” terangnya. 

Selain itu, Sri Rahayu juga mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap anak di era daring juga semakin berkembang. Pelaku tidak harus bertemu langsung dengan korbannya. Selain pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, kasus lain adalah kekerasan dalam pacaran. 

“Modusnya, korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks. Ketika kasus seperti ini dilaporkan, hukum positif yang ada saat ini belum memberikan solusi konkret kepada korban kasus kekerasan seksual. Perundang-undangan di Indonesia memiliki keterbatasan dalam memformulasikan bentuk, defenisi dan ruang-lingkup yang dapat dipergunakan dalam proses hukum,” ungkapnya. 

KUHP, kata dia, baru mengakomidir perkosaan dan pencabulan sebagai bentuk kekerasan seksual, sedangkan KUHAP, tidak mengatur hak-hak korban dalam proses hukum. “Keterbatasan hukum ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, keadilan dan pemulihan, karena pelaku (selalu) bebas dari jeratan hukum. Ditambah lagi, belum ada kebijakan yang memandatkan pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan pemantauan kekerasan seksual dari negara,” terang Sri Rahayu. 

Sri Rahayu menuturkan, bahwa dalam hal tersebut, HAPSARI yang juga anggota Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia menegaskan alasan penting disahkannya RUU PKS. Di antaranya adalah Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual, sehingga penuntut umum dan hakim paham apa yang harus dilalui korban. ”Korban tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan,” ungkap Sri.

Terkait bukti dalam kasus kekerasan seksual, surat keterangan dari psikolog dan dokter kejiwaan (keterangan ahli), sudah menjadi alat bukti yang cukup, di samping keterangan dari saksi korban. 

“Bahwa hak atas penanganan, hak atas perlindungan dan hak atas pemulihan adalah hak korban yang menjadi tanggungjawab negara,” tutur Sri.

Ia menjelaskan, ýsanksi yang manusiawi harus diberikan kepada pelaku, berupa ketentuan rehabilitasi agar hal serupa tak terulang kembali. Rehabilitasi bukan sebagai opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama masa pidana, untuk mencegah keberulangan.

“Kelima hal penting tersebut di atas, tertuang dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tidak selayaknya DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dalam daftar Prolegnas Prioritas. Lanjutkan pembahasan dan pengesahannya, karena pemulihan korban adalah tangungjawab negara,” pungkas Sri Rahayu.(gus/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Di tengah pandemi COVID-19, Komnas Perempuan secara nasional mencatat angka kasus ke-kerasan seksual berdasarkan hasil laporan kurun waktu Januari hingga Mei 2020 mencapai 768 kasus. 

Hal tersebut diungkapkan Koordinator  Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), Sri Rahayu kepada wartawan di Medan Jumat (28/8) siang. Ia menilai angka itu, sangat memprihatinkan dan harus ada kebijakan pemerintah untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual dialami kaum wanita itu.

“Di mana 542 kasus terjadi di ranah personal atau kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian, ranah komunitas, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus,” kata Sri.

Sri Rahayu menjelaskan, bahwa dari data yang diperoleh HAPSARI sepanjang Januari hingga Agustus 2020, ada 35 kasus kekerasan yang dilaporkan dari Wilayah Kabupaten Deliserdang dan Serdang Bedagai.  “Sebanyak 26 kasus merupakan kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga penelantaran dan 6 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual,” jelasnya. 

Menurut Sri Rahayu bahwa pandemi Covid-19 telah ‘memaksa’ beralihnya system layanan penanganan kasus dari layanan langsung atau tatap muka menjadi layanan dalam jaringan atau daring yang terhubung melalui jejaring komputer dan internet, berbasis tekhnologi. Sayangnya, layanan seperti ini tidak mudah diakses oleh korban. 

“Rendahnya literasi teknologi, masalah jaringan internet yang tidak stabil dan anggaran yang terbatas untuk membeli kuota internet, mempersulit korban mendapatkan akses layanan daring untuk penanganan kekerasan yang dialaminya. Ditambah lagi dengan situasi lockdown (pembatasan ke luar rumah) pada zona-zona tertentu, menyebabkan korban tidak bisa menghindari pelaku kekerasan untuk meminta bantuan,” terangnya. 

Selain itu, Sri Rahayu juga mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap anak di era daring juga semakin berkembang. Pelaku tidak harus bertemu langsung dengan korbannya. Selain pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, kasus lain adalah kekerasan dalam pacaran. 

“Modusnya, korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks. Ketika kasus seperti ini dilaporkan, hukum positif yang ada saat ini belum memberikan solusi konkret kepada korban kasus kekerasan seksual. Perundang-undangan di Indonesia memiliki keterbatasan dalam memformulasikan bentuk, defenisi dan ruang-lingkup yang dapat dipergunakan dalam proses hukum,” ungkapnya. 

KUHP, kata dia, baru mengakomidir perkosaan dan pencabulan sebagai bentuk kekerasan seksual, sedangkan KUHAP, tidak mengatur hak-hak korban dalam proses hukum. “Keterbatasan hukum ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, keadilan dan pemulihan, karena pelaku (selalu) bebas dari jeratan hukum. Ditambah lagi, belum ada kebijakan yang memandatkan pencegahan, penanganan, pemulihan korban dan pemantauan kekerasan seksual dari negara,” terang Sri Rahayu. 

Sri Rahayu menuturkan, bahwa dalam hal tersebut, HAPSARI yang juga anggota Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia menegaskan alasan penting disahkannya RUU PKS. Di antaranya adalah Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual, sehingga penuntut umum dan hakim paham apa yang harus dilalui korban. ”Korban tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan,” ungkap Sri.

Terkait bukti dalam kasus kekerasan seksual, surat keterangan dari psikolog dan dokter kejiwaan (keterangan ahli), sudah menjadi alat bukti yang cukup, di samping keterangan dari saksi korban. 

“Bahwa hak atas penanganan, hak atas perlindungan dan hak atas pemulihan adalah hak korban yang menjadi tanggungjawab negara,” tutur Sri.

Ia menjelaskan, ýsanksi yang manusiawi harus diberikan kepada pelaku, berupa ketentuan rehabilitasi agar hal serupa tak terulang kembali. Rehabilitasi bukan sebagai opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama masa pidana, untuk mencegah keberulangan.

“Kelima hal penting tersebut di atas, tertuang dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tidak selayaknya DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dalam daftar Prolegnas Prioritas. Lanjutkan pembahasan dan pengesahannya, karena pemulihan korban adalah tangungjawab negara,” pungkas Sri Rahayu.(gus/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/