30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Kejatisu Mulai ‘Gatal’ Garap Kasus Pungli

MEDAN-Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) mendadak berbalik arah terkait kasus dugaan pungutan liar (pungli) di 11 jembatan timbang di Sumut. Jika sebelumnya terkesan enggan menindaklanjuti laporan staf Dinas Perhubungan Sumut (Dishubsu), Ari Wibowo Saleh, kemarin Kejatisu tampak mulai gatal untuk menggarap kasus yang telah menjadi perbincangan di tingkat pusat itu.

Setidaknya hal ini terungkap dari pernyataan Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sumut, Nusrim. Dia mengatakan laporan yang disampaikan Staf Pos Pelabuhan Regional Teluknibung, Tanjungbalai, Seksi Kepelabuhan dan Pengerukan pada Bidang Laut, Dishub Sumut Ari Wibowo Saleh bukan tidak mungkin diusut Kejatisu. “Akan kami usut,” tegasnya, Rabu (29/1).

Namun Nusrim menegaskan pengusutan baru dilaksanakan jika Ari Wibowo membuat laporan baru. “Asalkan pelapor memberikan laporan resmi dan bukti-bukti. Kejati akan koordinasi dulu dengan Poldasu. Apakah mereka yang ngambil kasus itu, atau kita,” tambahnya.

Peryataan ini berbeda dengan ucapannya pada Jumat (17/1). Saat itu, Nusrim terkesan ogah melayani laporan Ari Wibowo. “Surat itu ditujukan ke Poldasu. Kejati itu cuma tembusan. Laporan resmi nya itu ke Polda. Jadi, supaya tidak terjadi tumpang tindih, kami tidak berhak lagi menangani perkaranya. Kami hanya menerima surat tembusan. Itupun suratnya baru saya terima. Tapi laporannya tidak disertai bukti,” kata Nusrim.

Nusrim pun saat itu berulang kali menegaskan yang berhak melanjutkan laporan itu adalah Poldasu. “Dalam laporan itu, ada dugaan pungli, itu masuk ranah korupsi dan ada pemerasan yang masuk ranah pidana umum. Makanya, yang lebih berwenang itu Poldasu. Jadi, biarlah Poldasu yang serius mengusut dua indikasi itu. Kalau kejaksaan tidak berwenang. Karena kami hanya bisa menangani dugaan korupsi saja,” ucapnya.

Seperti diketahui, perkara dugaan pungli telah berulangkali sampai ke Kejatisu. Contohnya dugaan pungli di Jembatan Timbang Sibolangit pada Maret 2013 lalu. Belakangan, penyelidikan itu dihentikan. Karena saat itu, pihak Kejatisu mengaku kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menaikkan status perkaranya ke penyidikan. Saat disinggung apakah pihaknya akan kembali membuka kasus itu, Nusrim mengelak.

“Pungli ini sama dengan dugaan suap yang sulit untuk dibuktikan. Indikasi ranah korupsi ada, itu harus melalui penyelidikan dulu. Tidak bisa langsung dibilang korupsi. Makanya kami hanya memantau dulu. Kalau kasus yang lama itukan memang tidak ditemukan bukti,” elaknya.

Kasus dugaan pungli di jembatan timbang ini makin melebar dengan adanya dugaan kebocoran PAD Sumut. Perolehan PAD tahun 2013 bersumber dari 248.351 penindakan kasus atau dari angkutan yang kelebihan muatan pada seluruh unit jembatan timbang. Sementara itu, pada 2012, Dishub Sumut melakukan 244.667 penindakan dengan pemasukan daerah mencapai Rp24,4 miliar dari 13 lokasi jembatan timbang.

Berdasarkan data yang dihimpun Sumut Pos dari penuturan Wakil Kepala Jembatan Timbang Tanjungmorawa II, Herbin, pihaknya menyetorkan Rp1 miliar setiap bulan ke Bank Sumut. Uang itu merupakan hasil dari denda yang didapat daripelanggaran yang dibuat oleh truk yang kelebihan muatan. Artinya, dari jembatan timbang ini saja ada Rp12 miliar yang masuk ke Bank Sumut. Lalu, dari sumber terpercaya Sumut Pos, dari Jembatan Timbang Membang Muda, Aek Kanopan, dan Jembatan Timbang Aek Batu, Labuhanbatu, mendapatkan Rp5 juta sampai Rp6 juta per hari. Diperkirakan dalam satu bulan mendapatkan Rp150 juta hingga Rp180 juta atau dalam setahun masing-masing jembatan timbang mendapatkan Rp1,8 miliar.

Selanjutnya, Jembatan Timbang Tanjungmorawa I dan Jembatan Timbang Dolok Estate, Limapuluh, perolehannya masing-masing mendapatkan Rp15 juta hingga Rp20 juta per hari. Bila dikalkulasikan mencapai Rp14,4 miliar dari dua jembatan timbang tersebut.

Secara keseluruhannya, PAD dari lima jembatan timbang di Lintas Timur Sumut mendapatkan Rp30,2 miliar. Jumlah tersebut melebihi dari total PAD yang diperoleh Dishub Sumut yakni Rp24,77 miliar.

Menjawab banyaknya yang diduga tak masuk ke PAD Dishub Sumut, Kepala Bidang Lalulintas dan Angkutan Jalan, Darwin Purba mengatakan, pengutipan denda ada cara menghitungnya dan memiliki mekanisme, sehingga sulit dirincikan dari sisi pencatatan PAD.

“Tapi setiap harinya dicatat, kemudian setiap bulannya di setorkan dan menjadi PAD Dishub Sumut,” katanya, Rabu (29/1) kepada Sumut Pos.

Saat disinggung berapa PAD dari 8 jembatan timbang lainnya di Sumut, Darwin menghindar. “Aduh mati lampu, baterai saya lowbat,” ucapnya seraya mematikan sambungan telepon.

Terpisah, Pengamat Anggaran dan Pemerintahan, Elfenda Ananda, menyatakan perolehan PAD dari penindakan yang diambil Dishub Sumut sebenarnya tak layak dikutip. Ada baiknya langsung dihapuskan, karena sanksi tidak boleh berbentuk denda yang memiliki nilai.”Bila dibuat PAD, ya hitungannya dibuat suka-suka dan pada akhirnya ada indikasi tak seluruhnya denda dimasukkan. Bila dimasukkan secara keseluruhannya, maka kerja Dishub Sumut secara hitungan kinerja tidak baik. Makanya inilah yang perlu diusut,” ucapnya.

Sebelumnya, sesuai estimasi Sumut Pos sesuai keterangan Ari Wibowo Saleh, PAD yang harusnya diserap dari jembatan timbang bisa mencapai Rp198 miliar lebih. Artinya, dengan laporan Kadishub Sumut Anthony Siahaan yang mengatakan PAD dari jembatan timbang ‘hanya’ Rp24,77 miliar ada selisih Rp170 miliar lebih yang menguap.

Menurut Ari Wibowo, pungli tersebut berasal dari uang kelebihan muatan barang yang ditetapkan dalam perda No 14 tahun 2007, Tentang Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang. Sehingga petugas jembatan timbangan dengan sopir truk melakukan negoisasi harga untuk tidak dilakukan pembongkaran barang. Nah, jika kelebihan muatan sesuai Perda, maka pengusaha melalui sopir truk akan membayarkan sebesar Rp100.000 kepada petugas Jembatan Timbang yang pertama kali dilintasi. “Yang Rp100.000 itulah Perda, karena kita bertambah 25 persen muatannya dan itu istilahnya sudah JBB (jumlah beban yang diperbolehkan, Red),” terang Ari Wibowo, Senin (13/1) lalu.

Tetapi jika beban truk melebihi batas 25 persen, baru berlaku pungli yang dihitung dengan setiap ton. Dan untuk kelebihan setiap ton harganya beragam. Untuk yang ikut yayasan atau organisasi hanya membayar Rp7.500 per ton, tapi untuk yang bukan bisa mencapai Rp20 ribu per ton. Harusnya, berat di luar JBB tidak boleh jalan alias muatan harus dibongkar.

Nah, menurut pengakuan Ari Wibowo Saleh saat itu, negoisasi antara petugas dengan sopir soal berat di luar JBB itulah pungli yang dia laporkan. Menurutnya, dalam sehari ada sekitar 800 truk yang masuki Jembatan Timbangan Aek Kanopan. “Mulai pukul 21.00 WIB hingga 07.00 WIB ada sekitar 400 sampai 500 truk yang masuk. Lalu, pada pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB ada sekitar 300 sampai 400 truk lagi,” jelasnya.

Artinya, dari angka itu, jika ada 500 truk saja yang kelebihan muatan dan tidak ikut yayasan, maka angka pungli yang didapat cukup menggiurkan. “Yang dimasukan ke PAD hanya JBB. Bayangkan jika setiap truk kelebihan 5 ton saja dari JBB, kalikan dengan Rp20 ribu,” katanya.

Maka akan didapat Rp50 juta per hari dan menjadi Rp1,5 miliar per bulan atau Rp18 miliar per tahun. Jika dirata-ratakan pendapatan itu untuk 11 timbangan yang dilaporkan Ari Wibowo, maka akan didapati angka pungli selama setahun adalah Rp198 miliar dalam setahun. Dan, angka ini belum ditambahkan dengan dua jembatan timbang lainnya. Seperti diketahui, ada 13 jembatan timbang yang dikelola oleh Dishub Sumut dan dalam laporan Dishub Sumut pendapatan ‘hanya’ Rp24,77 miliar untuk tahun 2013. Artinya, ada selisih sekitar Rp170 miliar. “Ini belum termasuk dengan deal-deal tertentu petinggi dengan yayasan yang menaungi truk-truk,” kata Ari Wibowo lagi. (far/rud/ain/rbb)

MEDAN-Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) mendadak berbalik arah terkait kasus dugaan pungutan liar (pungli) di 11 jembatan timbang di Sumut. Jika sebelumnya terkesan enggan menindaklanjuti laporan staf Dinas Perhubungan Sumut (Dishubsu), Ari Wibowo Saleh, kemarin Kejatisu tampak mulai gatal untuk menggarap kasus yang telah menjadi perbincangan di tingkat pusat itu.

Setidaknya hal ini terungkap dari pernyataan Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sumut, Nusrim. Dia mengatakan laporan yang disampaikan Staf Pos Pelabuhan Regional Teluknibung, Tanjungbalai, Seksi Kepelabuhan dan Pengerukan pada Bidang Laut, Dishub Sumut Ari Wibowo Saleh bukan tidak mungkin diusut Kejatisu. “Akan kami usut,” tegasnya, Rabu (29/1).

Namun Nusrim menegaskan pengusutan baru dilaksanakan jika Ari Wibowo membuat laporan baru. “Asalkan pelapor memberikan laporan resmi dan bukti-bukti. Kejati akan koordinasi dulu dengan Poldasu. Apakah mereka yang ngambil kasus itu, atau kita,” tambahnya.

Peryataan ini berbeda dengan ucapannya pada Jumat (17/1). Saat itu, Nusrim terkesan ogah melayani laporan Ari Wibowo. “Surat itu ditujukan ke Poldasu. Kejati itu cuma tembusan. Laporan resmi nya itu ke Polda. Jadi, supaya tidak terjadi tumpang tindih, kami tidak berhak lagi menangani perkaranya. Kami hanya menerima surat tembusan. Itupun suratnya baru saya terima. Tapi laporannya tidak disertai bukti,” kata Nusrim.

Nusrim pun saat itu berulang kali menegaskan yang berhak melanjutkan laporan itu adalah Poldasu. “Dalam laporan itu, ada dugaan pungli, itu masuk ranah korupsi dan ada pemerasan yang masuk ranah pidana umum. Makanya, yang lebih berwenang itu Poldasu. Jadi, biarlah Poldasu yang serius mengusut dua indikasi itu. Kalau kejaksaan tidak berwenang. Karena kami hanya bisa menangani dugaan korupsi saja,” ucapnya.

Seperti diketahui, perkara dugaan pungli telah berulangkali sampai ke Kejatisu. Contohnya dugaan pungli di Jembatan Timbang Sibolangit pada Maret 2013 lalu. Belakangan, penyelidikan itu dihentikan. Karena saat itu, pihak Kejatisu mengaku kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menaikkan status perkaranya ke penyidikan. Saat disinggung apakah pihaknya akan kembali membuka kasus itu, Nusrim mengelak.

“Pungli ini sama dengan dugaan suap yang sulit untuk dibuktikan. Indikasi ranah korupsi ada, itu harus melalui penyelidikan dulu. Tidak bisa langsung dibilang korupsi. Makanya kami hanya memantau dulu. Kalau kasus yang lama itukan memang tidak ditemukan bukti,” elaknya.

Kasus dugaan pungli di jembatan timbang ini makin melebar dengan adanya dugaan kebocoran PAD Sumut. Perolehan PAD tahun 2013 bersumber dari 248.351 penindakan kasus atau dari angkutan yang kelebihan muatan pada seluruh unit jembatan timbang. Sementara itu, pada 2012, Dishub Sumut melakukan 244.667 penindakan dengan pemasukan daerah mencapai Rp24,4 miliar dari 13 lokasi jembatan timbang.

Berdasarkan data yang dihimpun Sumut Pos dari penuturan Wakil Kepala Jembatan Timbang Tanjungmorawa II, Herbin, pihaknya menyetorkan Rp1 miliar setiap bulan ke Bank Sumut. Uang itu merupakan hasil dari denda yang didapat daripelanggaran yang dibuat oleh truk yang kelebihan muatan. Artinya, dari jembatan timbang ini saja ada Rp12 miliar yang masuk ke Bank Sumut. Lalu, dari sumber terpercaya Sumut Pos, dari Jembatan Timbang Membang Muda, Aek Kanopan, dan Jembatan Timbang Aek Batu, Labuhanbatu, mendapatkan Rp5 juta sampai Rp6 juta per hari. Diperkirakan dalam satu bulan mendapatkan Rp150 juta hingga Rp180 juta atau dalam setahun masing-masing jembatan timbang mendapatkan Rp1,8 miliar.

Selanjutnya, Jembatan Timbang Tanjungmorawa I dan Jembatan Timbang Dolok Estate, Limapuluh, perolehannya masing-masing mendapatkan Rp15 juta hingga Rp20 juta per hari. Bila dikalkulasikan mencapai Rp14,4 miliar dari dua jembatan timbang tersebut.

Secara keseluruhannya, PAD dari lima jembatan timbang di Lintas Timur Sumut mendapatkan Rp30,2 miliar. Jumlah tersebut melebihi dari total PAD yang diperoleh Dishub Sumut yakni Rp24,77 miliar.

Menjawab banyaknya yang diduga tak masuk ke PAD Dishub Sumut, Kepala Bidang Lalulintas dan Angkutan Jalan, Darwin Purba mengatakan, pengutipan denda ada cara menghitungnya dan memiliki mekanisme, sehingga sulit dirincikan dari sisi pencatatan PAD.

“Tapi setiap harinya dicatat, kemudian setiap bulannya di setorkan dan menjadi PAD Dishub Sumut,” katanya, Rabu (29/1) kepada Sumut Pos.

Saat disinggung berapa PAD dari 8 jembatan timbang lainnya di Sumut, Darwin menghindar. “Aduh mati lampu, baterai saya lowbat,” ucapnya seraya mematikan sambungan telepon.

Terpisah, Pengamat Anggaran dan Pemerintahan, Elfenda Ananda, menyatakan perolehan PAD dari penindakan yang diambil Dishub Sumut sebenarnya tak layak dikutip. Ada baiknya langsung dihapuskan, karena sanksi tidak boleh berbentuk denda yang memiliki nilai.”Bila dibuat PAD, ya hitungannya dibuat suka-suka dan pada akhirnya ada indikasi tak seluruhnya denda dimasukkan. Bila dimasukkan secara keseluruhannya, maka kerja Dishub Sumut secara hitungan kinerja tidak baik. Makanya inilah yang perlu diusut,” ucapnya.

Sebelumnya, sesuai estimasi Sumut Pos sesuai keterangan Ari Wibowo Saleh, PAD yang harusnya diserap dari jembatan timbang bisa mencapai Rp198 miliar lebih. Artinya, dengan laporan Kadishub Sumut Anthony Siahaan yang mengatakan PAD dari jembatan timbang ‘hanya’ Rp24,77 miliar ada selisih Rp170 miliar lebih yang menguap.

Menurut Ari Wibowo, pungli tersebut berasal dari uang kelebihan muatan barang yang ditetapkan dalam perda No 14 tahun 2007, Tentang Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang. Sehingga petugas jembatan timbangan dengan sopir truk melakukan negoisasi harga untuk tidak dilakukan pembongkaran barang. Nah, jika kelebihan muatan sesuai Perda, maka pengusaha melalui sopir truk akan membayarkan sebesar Rp100.000 kepada petugas Jembatan Timbang yang pertama kali dilintasi. “Yang Rp100.000 itulah Perda, karena kita bertambah 25 persen muatannya dan itu istilahnya sudah JBB (jumlah beban yang diperbolehkan, Red),” terang Ari Wibowo, Senin (13/1) lalu.

Tetapi jika beban truk melebihi batas 25 persen, baru berlaku pungli yang dihitung dengan setiap ton. Dan untuk kelebihan setiap ton harganya beragam. Untuk yang ikut yayasan atau organisasi hanya membayar Rp7.500 per ton, tapi untuk yang bukan bisa mencapai Rp20 ribu per ton. Harusnya, berat di luar JBB tidak boleh jalan alias muatan harus dibongkar.

Nah, menurut pengakuan Ari Wibowo Saleh saat itu, negoisasi antara petugas dengan sopir soal berat di luar JBB itulah pungli yang dia laporkan. Menurutnya, dalam sehari ada sekitar 800 truk yang masuki Jembatan Timbangan Aek Kanopan. “Mulai pukul 21.00 WIB hingga 07.00 WIB ada sekitar 400 sampai 500 truk yang masuk. Lalu, pada pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB ada sekitar 300 sampai 400 truk lagi,” jelasnya.

Artinya, dari angka itu, jika ada 500 truk saja yang kelebihan muatan dan tidak ikut yayasan, maka angka pungli yang didapat cukup menggiurkan. “Yang dimasukan ke PAD hanya JBB. Bayangkan jika setiap truk kelebihan 5 ton saja dari JBB, kalikan dengan Rp20 ribu,” katanya.

Maka akan didapat Rp50 juta per hari dan menjadi Rp1,5 miliar per bulan atau Rp18 miliar per tahun. Jika dirata-ratakan pendapatan itu untuk 11 timbangan yang dilaporkan Ari Wibowo, maka akan didapati angka pungli selama setahun adalah Rp198 miliar dalam setahun. Dan, angka ini belum ditambahkan dengan dua jembatan timbang lainnya. Seperti diketahui, ada 13 jembatan timbang yang dikelola oleh Dishub Sumut dan dalam laporan Dishub Sumut pendapatan ‘hanya’ Rp24,77 miliar untuk tahun 2013. Artinya, ada selisih sekitar Rp170 miliar. “Ini belum termasuk dengan deal-deal tertentu petinggi dengan yayasan yang menaungi truk-truk,” kata Ari Wibowo lagi. (far/rud/ain/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/