30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Penanganan Longsor di Jembatan Sidua-dua, Jembatan Baru Segera Dibangun

BERSIHKAN: Alat berat dioperasikan untuk membersihkan material longsor di Jembatan Sidua-dua, beberapa hari lalu.

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Sejak 15 Desember 2018 hingga saat ini, sedikitnya 18 kali Jembatan Sidua-dua di Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, diterjang longsor. Sejumlah skenario dipersiapkan. Diantaranya dengan membangun jembatan baru, persisnya di sebelah kanan dari arah Pematangsiantar atau merapat ke tepi Danau Toba.

Setiap kali longsor terjadi, jembatan kembar yang menghubungkan Kota Pematangsiantar dengan Parapat, pasti akan tertutup lumpur. Akibatnya, arus lalulintas terputus sehingga akses ke lokasi wisata Danau Toba pun terganggu. Padahal, jalan tersebut merupakan urat nadin

perekonomian daerah wisata itu.

Merespon peristiwa longsor itu, Komisi D DPRD Sumut menggelar rapat dengar pendapat dengan mengundang stakeholder terkait di gedung dewan, Selasa (29/1). Dalam rapat itu, terungkap rencana pembangunan jembatan baru ke arah Danau Toba dengan posisi lebih tinggi dari jembatan sebelumnya. Rencana pembangunan jembayan baru ini disampaikan perwakilan BBPJN Wilayah II Medan, Emri Dani Ritonga.

Menurut Emri, pembangunan jembatan baru itu merupakan hasil pembicaraan berbagai pihak yang dikoordinasikan Pemprov Sumut. Termasuk di antaranya yang turut serta berkoordinasi, Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS), Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Sumut, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan serta Dinas Perhubungan Simalungun.

Secara teknis, kata manajer ruas jalan Siantar-Parapat, Sipayung, jembatan baru yang akan dibangun terbuat dari rangka baja. Berjarak 55 meter dari Jembatan Sidua-dua saat ini. Sebelum pembangunan dimulai, lebih dulu dilakukan penutupan akses jalan. Sebagai gantinya seluruh kendaraan yang melintas lewat dari Jalan Lingkar Luar Parapat. “Jalan lingkar luar ditargetkan tahun ini terbuka agar dapat dilalui sehingga arus lalulintas tidak terganggu,” ujar Sipayung.

Namun tidak dijelaskan rinci kapan pembangunan jembatan baru tersebut mulai dilaksanakan. DPRD Sumut belum menyatakan persetujuannya terhadap rencana tersebut. Diupayakan ada solusi-solusi lain agar longsor dapat diatasi dan jembatan dibawahnya tidak terganggu.

Sementara untuk penanganan jangka pendek, selain membangun jembatan baru, BBPJN II juga mengusulkan membuat kolam penjebak lumpur dan pembangunan ring net barrier, dimana keduanya dapat menampung material longsor.

Sementara terkait adanya dugaan kerusakaan di bagian hulu, Kepala Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Sumut Effendi Pane mengakui lahan tersebut bukan merupakan kawasan hutan lindung. Karenanya tidak ada kewenangan pihaknya untuk itu, selain melakukan pembinaan jika diperlukan.

Menjelaskan kondisi di sekitar lokasi, Kepala Dinas Perhubungan Simalungun Ramadhani Purba menyebutkan, di bagian hulu ada tiga titik mata air yang mengalir ke bawah. Kemudian ada dua titik diantaranya bertemu di tempat titik longsor. Karena dibulan-bulan tertentu, curah hujan menyebabkan debit air menggerus tanah. Tumpahan lumpurnya menyebabkan jembatan Siduadua yang berada di bagian bawah di tepi Danau Toba tertutup. Tidak bisa dilalui kendaraan yang melintas, kemacetan panjang di ruas jalan Siantar-Parapat pun berkali-kali terjadi. “Sejauh ini sudah 18 kali longsor karena memang ada patahan. Ini kemungkinan akan ada longsor besar sekali lagi, baru kemungkinan patahan akan mengecil,” ucapnya.

Menyikapi pemaparan Kadis Perhubungan Simalungun ini, anggota Komisi D Layari Sinukaban terlihat kecewa. “Praakkk…” politisi Partai Demokrat ini memukul meja ketika hendak mengomentari.

Kata Layari, karena keindahan Danau Toba yang sudah terdengar ke seluruh dunia, kabar apa saja yang terkait dengannya tersiar ke seluruh penjuru. Termasuk ke Benua Eropa. “Sampai-sampai radio kecil di Bulgaria ikut memberitakan longsor itu,” ungkap Layari yang merupakan mantan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumut.

Paparnya, karena kondisi alam di Bangun Dolok sudah diketahui, seharusnya Pemkab memiliki cara mengatasinya, sehingga longsor tidak berulang-ulang terjadi. “Apa gunanya ini ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional kalau tidak ada usaha menjaganya dari kemungkinan terjadinya bencana, bilang sama si JR begitu,” ucapnya dengan suara keras. JR yang dimaksudnya adalah Jopinus Ramli Saragih yang tak lain Bupati Simalungun.

Dengan posisi berdiri di depan screen yang menampilkan kondisi alam di kawasan Danau Toba, Layari yang baru ditetapkan menjadi anggota DPRD Sumut beberapa bulan lalu itu mencontohkan cara menanggulangi luapan air yang mengalir. Dengan cara memasang pipa sehingga air tidak tergenang dan satu ketika meluap.

Anggota Komisi D DPRD Sumut Aripay Tambunan juga meminta agar pembahasan penanganan paskalongsor ini dilanjutkan dengan kehadiran pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II Sumut yang absen saat itu. Sebab untuk keberadaan mata air di dalamnya, harus ada kajian oleh pihak terkait.

“Yang kedua, kalau memang ini bukan termasuk kawasan hutan, kenapa tidak kita kembalikan saja statusnya menjadi hutan (lindung). Jangan lagi jadi tempat untuk mata pencaharian,” katanya disambut kata sepakat dari Dinas Kehutanan Sumut yang mengaku lahan dimaksud tidak pernah ditunjuk peruntukkan lahan sebagai kawasan hutan.

Sebagai rencana tindak lanjut, RDP Komisi D DPRD Sumut yang juga dihadiri Layari Sinukaban, Arfan Maksum, Jafaruddin Harahap dan Buhanuddin Siregar, juga diminta kepada Pemkab Simalungun, BWSS II, Dinas Kehutanan Sumut serta BBPJN II Medan untuk duduk bersama menyelesaikan masalah dari berbagai pertimbangan.(prn)

BERSIHKAN: Alat berat dioperasikan untuk membersihkan material longsor di Jembatan Sidua-dua, beberapa hari lalu.

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Sejak 15 Desember 2018 hingga saat ini, sedikitnya 18 kali Jembatan Sidua-dua di Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, diterjang longsor. Sejumlah skenario dipersiapkan. Diantaranya dengan membangun jembatan baru, persisnya di sebelah kanan dari arah Pematangsiantar atau merapat ke tepi Danau Toba.

Setiap kali longsor terjadi, jembatan kembar yang menghubungkan Kota Pematangsiantar dengan Parapat, pasti akan tertutup lumpur. Akibatnya, arus lalulintas terputus sehingga akses ke lokasi wisata Danau Toba pun terganggu. Padahal, jalan tersebut merupakan urat nadin

perekonomian daerah wisata itu.

Merespon peristiwa longsor itu, Komisi D DPRD Sumut menggelar rapat dengar pendapat dengan mengundang stakeholder terkait di gedung dewan, Selasa (29/1). Dalam rapat itu, terungkap rencana pembangunan jembatan baru ke arah Danau Toba dengan posisi lebih tinggi dari jembatan sebelumnya. Rencana pembangunan jembayan baru ini disampaikan perwakilan BBPJN Wilayah II Medan, Emri Dani Ritonga.

Menurut Emri, pembangunan jembatan baru itu merupakan hasil pembicaraan berbagai pihak yang dikoordinasikan Pemprov Sumut. Termasuk di antaranya yang turut serta berkoordinasi, Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS), Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Sumut, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan serta Dinas Perhubungan Simalungun.

Secara teknis, kata manajer ruas jalan Siantar-Parapat, Sipayung, jembatan baru yang akan dibangun terbuat dari rangka baja. Berjarak 55 meter dari Jembatan Sidua-dua saat ini. Sebelum pembangunan dimulai, lebih dulu dilakukan penutupan akses jalan. Sebagai gantinya seluruh kendaraan yang melintas lewat dari Jalan Lingkar Luar Parapat. “Jalan lingkar luar ditargetkan tahun ini terbuka agar dapat dilalui sehingga arus lalulintas tidak terganggu,” ujar Sipayung.

Namun tidak dijelaskan rinci kapan pembangunan jembatan baru tersebut mulai dilaksanakan. DPRD Sumut belum menyatakan persetujuannya terhadap rencana tersebut. Diupayakan ada solusi-solusi lain agar longsor dapat diatasi dan jembatan dibawahnya tidak terganggu.

Sementara untuk penanganan jangka pendek, selain membangun jembatan baru, BBPJN II juga mengusulkan membuat kolam penjebak lumpur dan pembangunan ring net barrier, dimana keduanya dapat menampung material longsor.

Sementara terkait adanya dugaan kerusakaan di bagian hulu, Kepala Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Sumut Effendi Pane mengakui lahan tersebut bukan merupakan kawasan hutan lindung. Karenanya tidak ada kewenangan pihaknya untuk itu, selain melakukan pembinaan jika diperlukan.

Menjelaskan kondisi di sekitar lokasi, Kepala Dinas Perhubungan Simalungun Ramadhani Purba menyebutkan, di bagian hulu ada tiga titik mata air yang mengalir ke bawah. Kemudian ada dua titik diantaranya bertemu di tempat titik longsor. Karena dibulan-bulan tertentu, curah hujan menyebabkan debit air menggerus tanah. Tumpahan lumpurnya menyebabkan jembatan Siduadua yang berada di bagian bawah di tepi Danau Toba tertutup. Tidak bisa dilalui kendaraan yang melintas, kemacetan panjang di ruas jalan Siantar-Parapat pun berkali-kali terjadi. “Sejauh ini sudah 18 kali longsor karena memang ada patahan. Ini kemungkinan akan ada longsor besar sekali lagi, baru kemungkinan patahan akan mengecil,” ucapnya.

Menyikapi pemaparan Kadis Perhubungan Simalungun ini, anggota Komisi D Layari Sinukaban terlihat kecewa. “Praakkk…” politisi Partai Demokrat ini memukul meja ketika hendak mengomentari.

Kata Layari, karena keindahan Danau Toba yang sudah terdengar ke seluruh dunia, kabar apa saja yang terkait dengannya tersiar ke seluruh penjuru. Termasuk ke Benua Eropa. “Sampai-sampai radio kecil di Bulgaria ikut memberitakan longsor itu,” ungkap Layari yang merupakan mantan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumut.

Paparnya, karena kondisi alam di Bangun Dolok sudah diketahui, seharusnya Pemkab memiliki cara mengatasinya, sehingga longsor tidak berulang-ulang terjadi. “Apa gunanya ini ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional kalau tidak ada usaha menjaganya dari kemungkinan terjadinya bencana, bilang sama si JR begitu,” ucapnya dengan suara keras. JR yang dimaksudnya adalah Jopinus Ramli Saragih yang tak lain Bupati Simalungun.

Dengan posisi berdiri di depan screen yang menampilkan kondisi alam di kawasan Danau Toba, Layari yang baru ditetapkan menjadi anggota DPRD Sumut beberapa bulan lalu itu mencontohkan cara menanggulangi luapan air yang mengalir. Dengan cara memasang pipa sehingga air tidak tergenang dan satu ketika meluap.

Anggota Komisi D DPRD Sumut Aripay Tambunan juga meminta agar pembahasan penanganan paskalongsor ini dilanjutkan dengan kehadiran pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II Sumut yang absen saat itu. Sebab untuk keberadaan mata air di dalamnya, harus ada kajian oleh pihak terkait.

“Yang kedua, kalau memang ini bukan termasuk kawasan hutan, kenapa tidak kita kembalikan saja statusnya menjadi hutan (lindung). Jangan lagi jadi tempat untuk mata pencaharian,” katanya disambut kata sepakat dari Dinas Kehutanan Sumut yang mengaku lahan dimaksud tidak pernah ditunjuk peruntukkan lahan sebagai kawasan hutan.

Sebagai rencana tindak lanjut, RDP Komisi D DPRD Sumut yang juga dihadiri Layari Sinukaban, Arfan Maksum, Jafaruddin Harahap dan Buhanuddin Siregar, juga diminta kepada Pemkab Simalungun, BWSS II, Dinas Kehutanan Sumut serta BBPJN II Medan untuk duduk bersama menyelesaikan masalah dari berbagai pertimbangan.(prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/