SUMUTPOS.CO – TikTok datang menjadi pesaing e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee di Indonesia. Media sosial asal Tiongkok itu merancang Tiktok Shop, tempat pengguna untuk berbelanja barang yang dibutuhkan langsung di dalam aplikasi.
Wakil Kepala Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Tingkah Laku LPEM FEB UI Prani Sastiono turut memperhatikan kehadiran Tiktok Shop dalam kancah ekonomi digital Indonesia belakangan ini.
Menurut Prani Sastiono, praktik jual-beli barang yang dilakukan dalam platform media sosial atau social commerce cukup besar di Indonesia. Namun, sebagian besar dari value ekosistem digital datang dari e-commerce, bukan dari social commerce.
“Karena memang kalau kita liat di sini e-commece sudah mature. Jadi kalau social commerce mungkin ada masalah dari consumer protection, mungkin dari segi jenis usahanya,” ujanya dalam segmen Profit di CNBC Indonesia, Selasa (24/1).
Dari sisi e-commerce, soal formalitas dan legalitas sudah diakomodasi lewat fitur seperti Mall atau Official Account. Di mana paling tidak ada jaminan aman bagi masyarakat untuk membeli suatu barang dengan value atau nilai tinggi
Artinya, jika nilai suatu produk cukup tinggi, pembeli tidak merasa cukup aman dengan belanja di social commerce, mereka akan memilih e-commerce. Di sini lah akan tercipta kompetisi untuk segmen produk tertentu.
Karakteristik pembeli TikTok Shop
“Ada juga soal usia, mereka yang menggunakan Tiktok itu yang lebih muda dengan karekteristik pembelian produk yang segmented nilai produk juga tidak sebesar melalui e-commerce,” tuturnya.
Jika ditanya apa yang bisa dilakukan e-commerce supaya bisa bersaing, ia mengatakan untuk melihat apa yang menjadi keunggulan mereka, misalnya dari kenyamanan konsumen.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina idEA Rudiantara berpendapat bahwa Tiktok lebih atraktif. Buktinya banyak anak muda yang menggunakan platform itu di mana saja sebagai pengguna e-commerce.
“Karena sifatnya live dan kontennya lebih bagus, berbeda dengan platform lain yang besar itu kan tidak ada konten, itu barangkali yang menarik,” ucapnya.
Dia setuju dengan pernyataan Prani, di mana social commerce itu tersegmentasi dari sisi pasar maupun jenis produk.
“Ini seperti tahun 2016, di mana ada orang beli barang pakai FB (Facebook), jualan lewat FB, tidak menganggu e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, jadi co-exists. Kalau saya lihatnya demikian fenomena Tiktok,” kata Rudiantara.
Lebih lanjut soal persaingan antara social commerce dan e-commerce, ini harus dilihat dari kelas suatu aplikasi. E-commerce yang sudah punya nama seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli, satu bulan TPV-nya (Total Processing Value) sudah mencapai di atas US$1 miliar.
Nasib e-Commerce Kecil
Tapi jika melihat platform e-commere yang tidak terlalu besar, justru mereka akan berkolaborasi dengan TikTok dan akan menggunakan aplikasi tersebut sebagai kanal distribusinya.
“Hal-hal kecil bahkan belum menengah, mereka pasti akan kreatif,” ungkapnya.
Jika platform seperti Tiktok Shop ingin mencakup semua segmen, ia harus memiliki ekosistem seperti e-commerce di Indonesia, seperti logistik, warehouse. Sementara itu bukan termasuk bisnis utama mereka.
“Tergantung pasar, tapi setidaknya harus punya ekosistem di Indonesia, dan TikTok kan bukan perusahaan itu mereka basisnya media sosial bukan perusahaan dagang. Mungkin akan terjadi kolaborasi yang menguntungkan bagi platform ecommerce yang tidak besar yang tidak punya ekosistem.” pungkasnya.(rel)