BATANGTORU, SUMUTPOS.CO – Konsep mina padi diterapkan kelompok petani binaan PT Agincourt Resources yang mengelola Tambang Emas Martabe, di Aek Pahu, Desa Napa, Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan. Di atas lahan seluas 4 hektare, petani menanam padi organik, beternak ikan dan ayam, serta memanfaatkan aliran air untuk menggerakkan kincir pembangkit listik.
“Ini konsep ecofarming. Pertanian terpadu ramah lingkungan. Padi yang ditanam di atas lahan 4 hektare ada tiga jenis, yakni varietas beras putih Cianjur di atas lahan 2 hektare sejak tahun 2016, beras merah seluas 1 hektare dikembangkan sejak akhir 2017, dan beras hitam seluas 1 hektare sejak tahun 2018. Bibitnya dibawa dari Jawa,” kata Senior Manager Community PT Agincourt Resources, Pramana Triwahjudi, di lokasi Tambang Emas Martabe di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, akhir pekan lalu.
Pupuk yang digunakan murni kompos, yang diproduksi sendiri oleh petani dengan pelatihan dari PT Agincourt Resources. Untuk mengontrol hama, petani dilatih menggunakan pestisida alami, yang diproduksi dari berbagai bahan alami.
“Di Aek Pahu kebetulan ada sumber air yang banyak. Karena itu, kita ajari mereka untuk memelihara ikan. Antara lain ikan nila dan ikan jurung. Ternak bibit ikan jurung sedang diujicoba sebanyak 5.000 ekor sejak dua bulan lalu. Bibitnya sebagian dibeli dari peternak ikan jurung di Desa Padang Lancat, Batangtoru. Sebagian lainnya hasil nangkap dari sungai di Desa Sipenggeng,” kata Pramana.
Ikan jurung adalah ikan khas Batangtoru, banyak ditemukan di Sungai Batangtoru. Biasanya ditangkap dengan alat pancing. Saat ini harga ikan jurung mencapai Rp100 ribu per kg. Untuk mencapai ukuran itu, dibutuhkan waktu setahun. “Ikan ini banyak diburu sehingga sudah mulai langka,” kata Pramana.
Selain ikan jurung, petani juga memelihara ikan nila. Memelihara ikan di sela-sela tanaman padi, bermanfaat untuk mengurangi hama padi.
Selanjutnya, stok air yang melimpah di parit dimanfaatkan untuk memutar kincir air yang mengerakkan generator pembangkit listrik. Kapasitas listrik yang diperoleh sebanyak 200 Watt, cukup untuk menyalakan sekitar 20 lampu LED yang dipasang di areal Aek Pahu.
Masih dalam konsep pertanian terpadu, petani juga diajari memelihara ternak ayam skala kecil di ecofarming Aek Pahu. Ayam-ayam itu bisa mencari makan di sela-sela tanaman padi.
“Seluruh konsep mina padi ini dilakukan untuk mengoptimalisasi lahan dengan semua potensi yang ada, sehingga pendapatan petani meningkat,” kata Pramono.
Awalnya, kata Pramana, petani sulit dibujuk untuk beralih ke pertanian organik. Alasannya, pemakaian pupuk kimia hasilnya nyata. Apalagi saat berubah dari pupuk kimia ke pupuk organik, total produksi padi turun hingga 30 persen.
“Tapi setelah tanah terkondisikan menjadi organik, secara perlahan produksi padi akan naik. Butuh waktu sekitar tiga tahun. Dan produksi padi naik hingga hingga 30 persen dibanding produksi menggunakan pupuk kimia,” jelasnya.
Jika padi nonorganik rata-rata menghasilkan 5 ton gabah per hektare, padi organik bisa berproduksi 6 hingga 6,5 ton pe hektare. Selain kuantitas produksi, petani juga diuntungkan dengan biaya produksi yang turun hingga 70 persen dipadu harga beras yang lebih mahal. Beras putih organik misalnya, dihargai Rp15 ribu per kg, beras merah organik Rp20 ribu per kg, dan beras hitam Rp25 ribu per kg.
Beras merah dan hitam disukai konsumen tertentu, karena kandungan nutrisinya lebih baik, serat lebih tinggi, dan kandungan gula rendah. “Pasar beras organik terbatas, tapi ada konsumennya. Sementara ini pemasaran masih lokal karena produksinya masih kecil. Bahkan habis dibeli oleh karyawan PT AR sendiri,” cetusnya sembari tertawa.
Ke depan, Pramana berencana mengembangkan padi organik ke skala lebih luas di tempat berbeda. “Saat ini masih masih proses meyakinkan petani di tiga lokasi,” katanya. (mea)