26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Soal Ekspor CPO Dicekal AS, RI Gandeng Pakistan

Kementerian Perdagangan menjalin kerja sama dengan Pakistan untuk meningkatkan kembali volume perdagangan ekspor kelapa sawit yang dulu sempat terjun bebas.
“Penurunan tersebut karena CPO (crude palm oil) kita terkena diferensiasi (perbedaan) dengan Malaysia,” kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Jumat (3/2)

Hal itu, kata Gita, karena Malaysia sudah menandatangani perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan Pakistan dari 2008. Sejak itu, ekspor minyak sawit Indonesia langsung turun menjadi di bawah US$100 juta dari sebelumnya US$550 juta. “Ini sangat merugikan kita,” ujar Gita.

Gita mengharapkan, melalui kerja sama ekspor dengan Pakistan dapat meningkatkan kembali nilai ekspor minyak sawit. “Sekarang ini sudah berada di kisaran US$1 miliar. Bisalah nanti mencapai US$1,5 sampai US$1,6 miliar,” harapnya.

Dia menuturkan, alasan Indonesia bekerja sama dengan Pakistan karena negara itu mempunyai potensi besar. Selain itu, banyak pasar yang harus digali, sebab di satu sisi, Pakistan sudah menjalin kerja sama dengan Cina. Sedangkan Malaysia, sudah menyepakati perjanjian dengan Thailand.

“Kalau tidak masuk secara cepat, berarti pasar kita sekarang yang rata-rata mencapai US$1 miliar akan berkurang. Jadi, kita harus pertahankan dan tingkatkan ke depan,” kata Gita.

Sebab itu, Gita melanjutkan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan Preferential Trade Agreement (PTA) pada tarif, setelah itu dilanjutkan FTA dengan Pakistan.
Seperti diketahui, sejak 28 Januari 2012 lalu ekspor produk kelapa sawit (CPO) untuk bahan baku biodiesel asal Indonesia ditolak masuk ke AS karena tudingan tidak ramah lingkungan.

Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami, mengatakan, saat ini pemerintah tengah serius menyusun argumen secara ilmiah untuk melawan klaim dari AS tersebut.
“Sekarang sedang disusun oleh para ahli di kementerian pertanian. Setelah submisi tersebut AS akan pelajari argument scientific yang kita ajukan, dan akan kita lihat lagi langkah apa yang akan diambil,” jelasnya.

Sementara itu, Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendesak kepada pemerintah untuk segera mengambil sikap atas notifikasi Amerika Serikat yang menolak ekspor produk CPO Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan.
Isu lingkungan ini perlu ditanggapi segera untuk mengantisipasi dampak besar pada perekonomian dalam negeri.

Kepala PSPD Masyhuri mensinyalir, isu lingkungan yang dihembuskan Environmental Protection Agency (EPA) atau otoritas urusan lingkungan Amerika Serikat ini merupakan bagian dari strategi perang dagang. Sebab, isu yang sama pernah dihembuskan 20-30 tahun lalu, di mana AS mengklaim CPO RI mengandung minyak jenuh yang menyebabkan masalah kesehatan.

Larangan tersebut sempat menjalar ke AS hingga akhirnya bisa dimentahkan lewat penelitian yang membuktikan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia menghasilkan zat anti kanker.
“Semua isu tersebut untuk melemahkan produk pertanian, khususnya kelapa sawit negara berkembang untuk bersaing dengan negara maju,” kata dia.(net/jpnn)

Kementerian Perdagangan menjalin kerja sama dengan Pakistan untuk meningkatkan kembali volume perdagangan ekspor kelapa sawit yang dulu sempat terjun bebas.
“Penurunan tersebut karena CPO (crude palm oil) kita terkena diferensiasi (perbedaan) dengan Malaysia,” kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Jumat (3/2)

Hal itu, kata Gita, karena Malaysia sudah menandatangani perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan Pakistan dari 2008. Sejak itu, ekspor minyak sawit Indonesia langsung turun menjadi di bawah US$100 juta dari sebelumnya US$550 juta. “Ini sangat merugikan kita,” ujar Gita.

Gita mengharapkan, melalui kerja sama ekspor dengan Pakistan dapat meningkatkan kembali nilai ekspor minyak sawit. “Sekarang ini sudah berada di kisaran US$1 miliar. Bisalah nanti mencapai US$1,5 sampai US$1,6 miliar,” harapnya.

Dia menuturkan, alasan Indonesia bekerja sama dengan Pakistan karena negara itu mempunyai potensi besar. Selain itu, banyak pasar yang harus digali, sebab di satu sisi, Pakistan sudah menjalin kerja sama dengan Cina. Sedangkan Malaysia, sudah menyepakati perjanjian dengan Thailand.

“Kalau tidak masuk secara cepat, berarti pasar kita sekarang yang rata-rata mencapai US$1 miliar akan berkurang. Jadi, kita harus pertahankan dan tingkatkan ke depan,” kata Gita.

Sebab itu, Gita melanjutkan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan Preferential Trade Agreement (PTA) pada tarif, setelah itu dilanjutkan FTA dengan Pakistan.
Seperti diketahui, sejak 28 Januari 2012 lalu ekspor produk kelapa sawit (CPO) untuk bahan baku biodiesel asal Indonesia ditolak masuk ke AS karena tudingan tidak ramah lingkungan.

Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami, mengatakan, saat ini pemerintah tengah serius menyusun argumen secara ilmiah untuk melawan klaim dari AS tersebut.
“Sekarang sedang disusun oleh para ahli di kementerian pertanian. Setelah submisi tersebut AS akan pelajari argument scientific yang kita ajukan, dan akan kita lihat lagi langkah apa yang akan diambil,” jelasnya.

Sementara itu, Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendesak kepada pemerintah untuk segera mengambil sikap atas notifikasi Amerika Serikat yang menolak ekspor produk CPO Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan.
Isu lingkungan ini perlu ditanggapi segera untuk mengantisipasi dampak besar pada perekonomian dalam negeri.

Kepala PSPD Masyhuri mensinyalir, isu lingkungan yang dihembuskan Environmental Protection Agency (EPA) atau otoritas urusan lingkungan Amerika Serikat ini merupakan bagian dari strategi perang dagang. Sebab, isu yang sama pernah dihembuskan 20-30 tahun lalu, di mana AS mengklaim CPO RI mengandung minyak jenuh yang menyebabkan masalah kesehatan.

Larangan tersebut sempat menjalar ke AS hingga akhirnya bisa dimentahkan lewat penelitian yang membuktikan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia menghasilkan zat anti kanker.
“Semua isu tersebut untuk melemahkan produk pertanian, khususnya kelapa sawit negara berkembang untuk bersaing dengan negara maju,” kata dia.(net/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/