MEDAN, SUMUTPOS.CO-Kebijakan BPJS Ketenaga Kerjaan per 1 Juli 2015 terus menuai kritikan. Sebab, perncairan dana jaminan hari tua (JHT) baru dapat dilakukan setelah menjadi peserta selama 10 tahun dianggap mengada-ada.
Apalagi, pencairan hanya bisa dilakukan sebesar 10 persen, dan sisanya baru dapat dicairkan setelah berusia 56 tahun. Aturan ini dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil, dan terkesan dipaksakan.
Gilang Mahardhika melalui akun facebook pribadinya yang dimuat dilaman chage.org menggalang kekuatan para pengguna internet untuk mengitisi petisi atas kebijakan tersebut. Dimana petisi itu ditujukan langsung ke Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri.
Penggalangan kekuatan tersebut, dilakukan dua hari yang lalu, atau tepat disaat peluncuran aturan kontroversial itu. Hasilnya cukup signifikan, karena Gilang sudah berhasil mengumpulkan 88.550 pendukung.
Pria asal Yogyakarta itu menyebutkan awalnya dia hendak mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) kepada BPJS pada bulan Juni 2015, karena satu bulan sebelumnya dia memutuskan untuk berhenti bekerja dan beralih menjadi wiraswasta.
Sayangnya, pengajuan pencairan JHT belum ditolak karena perusahaan tempat terakhirnya bekerja belum menutup akun BPJS Ketenagakerjaan miliknya. Setelah itu dirinya diberi kepastian oleh petugas BPJS bahwa JHT miliknya baru bisa dicairkan pada awal Juli 2015.
Dia mengaku mencairkan dana JHT untuk keperluan tambahan modal usaha yang akan dijalaninya usai berhenti bekerja. Ironisnya, pada 1 Juli 2015, saya mendapat informasi bahwa JHT tidak bisa dicairkan karena ada aturan baru. Ternyata bukan dirinya saja yang gigit jari, tapi ribuan pekerja lainnya juga mengalami nasib serupa. Karena permintaan pencairan JHT ditolak karena di dalam aturan baru itu menyatakan pencairan dana JHT hanya bisa dicairkan setelah masa kepesertaannya 10 tahun. Itupun hanya bisa dicairkan 10 persen, dan sisanya dapat diambil setelah berusia 56 tahun.
“Pekerja merasa dirugikan, karena uang itu adalah uang yang dipotong tiap bulan dari penghasilan. Selain itu peraturan ini juga terkesan terburu-buru karena minim sosialisasi. Penjelasan dari pihak BPJS juga tidak solutif, pihak BPJS di daerah tidak dapat berbuat apapun karena hanya menjalankan kebijakan dari pusat,” tulis Mahardika seraya meminta kepada masyarakat yang prihatin dengan kebijakan ini. (dik/ila)