MEDAN, SUMUTPOS.CO – Bandara Internasional Silangit, Tapanuli Utara, yang diproyeksikan menjadi pintu masuk wisman khususnya ke kawasan Danau Toba, ternyata masih jauh dari harapan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statisik (BPS) Sumut, sepanjang Januari hingga Mei 2019, cuma 284 wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui Bandara Silangit. Jumlah tersebut bahkan hanya berkontribusi 0,28 persen terhadap total wisman yang masuk ke Sumut, mencapai 98.428 orangn
Kepala Badan Pusat Statisik (BPS) Sumut, Syech Suhaimi mengatakan, wisman yang datang ke Sumut memang lebih banyak melalui pintu masuk Bandara Kualanamu. Persentasenya sekitar 98,74 persen atau 97.188 orang wisman. “Sisanya melalui Pelabuhan Belawan sebanyak 85 orang dan Pelabuhan Tanjungbalai sebanyak 879 orang,” kata Suhimi, Kamis (4/7).
Menurutnya, wisman yang masuk melalui Bandara Silangit memang baru ada di Bulan Mei 2019. Sementara di Januari hingga April 2019, tidak ada wisman yang masuk melalui Bandara Silangit. Namun, untuk negara asal wisman yang masuk melalui Bandara Silangit, kata Suhaimi, belum terdata.
Tapi secara umum, wisman yang masuk ke Sumut paling banyak berasal dari Malaysia sebanyak 48.048 orang, Singapura sebanyak 6.175 orang, Tiongkok sebanyak 3.280 orang, Australia sebanyak 1.812 orang dan Jerman sebanyak 1.715 orang. Sisanya berasal dari India, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Perancis, dan lainnya.
Penumpang Domestik Turun 34,45 Persen
BPS Sumut juga mencatat secara kumulatif, jumlah penumpang domestik yang berangkat dari Bandara Kualanamu Internasional (KNIA) Deliserdang pada Januari hingga Mei 2019 mencapai 1.033.134 penumpang. Jumlah ini turun 34,45 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018 yakni sebanyak 1.576.056 penumpang.
Bahkan untuk Mei 2019, jumlah penumpang domestik yang berangkat dari Bandara Kualanamu juga mengalami penurunan 20,30 persen jika dibanding pada bulan sebelumnya, April 2019. “Jika pada Mei 2019 lalu jumlah penumpang domestik dari Kualanamu sebanyak 155.731 orang, maka pada April 2019 lalu sebanyak 195.395 orang. Terjadi penurunan jumlah penumpang 20,30 persen,” ungkap Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Sumut, Bismark SP Sitinjak kepada wartawan, Kamis (4/7).
Demikian juga dengan penumpang yang datang ke Sumut melalui Bandara Kualanamu pada Juni 2019 sebanyak 196.741 orang, atau turun 3,17 persen dibanding bulan sebelumnya (Mei 2019) sebanyak 203.173 orang. “Penumpang angkutan udara tujuan luar negeri, baik yang menggunakan penerbangan nasional maupun asing, pada Mei 2019 juga turun sebesar 11,66 persen dibanding April 2019, yaitu dari 90.421 orang turun menjadi 79.875 orang,” beber Bismark.
Jadi, secara kumulatif jumlah penumpang tujuan luar negeri selama Januari hingga Mei 2019, mencapai 444.005 orang atau turun tipis dibanding periode yang sama tahun 2018 sebesar 444.006 orang. “Penumpang yang datang dari luar negeri, pada Mei 2019 juga mengalami penurunan 4,89 persen bila dibandingkan bulan April 2019, yaitu dari 88.290 orang turun menjadi 83.976 orang,” pungkasnya.
Kebijakan Rancu
Menurunnya jumlah penumpang di Bandara Kualanamu diperkirakan disebabkan mahalnya harga tiket pesawat. Bahkan, realisasi penurunan harga tiket pesawat domestik dengan menerapkan diskon 50 persen bagi maskapai penerbangan biaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) juga dinilai belum mampu menjawab keinginan masyarakat saat ini.
Pengamat Ekonomi asal Universitas Sumatera Utara (USU), Paidi Hidayat mengatakan, kebijakan ini masih rancu dan terkesan diskriminasi. Karena, penurunan harga tiket pada waktu dan rute tertentu saja. “Saya setuju harga tiket pesawat diturunkan. Tetapi yang 50 persen itu dari harga tiket kapan? Apakah sebelum dari kasus harga tiket yang melambung tinggi yang pertama. Atau harga 50 persen turun dari harga yang sekarang,” jelas Paidi.
Paidi mengungkapkan, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kordinator (Kemenko) Perekonomian dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus memiliki regulasi untuk menerapkan penurun tiket pesawat dalam negeri dengan kebijakan berpihak kepada masyarakat. “Lalu kenapa harus di hari-hari tertentu yakni Selasa, Kamis dan Sabtu dan di jam-jam tertentu juga. Inilah risiko kalau sebuah perusahaan itu sifatnya duopoli atau dua grup. Jadi mereka bisa menentukan harga yang dia suka. Dan, kebijakan ini ada semacam diskriminasi harga tetap saja yang diuntungkan adalah perusahaan,” ucap Paidi.
Sementara, pemerintah harus memihak konsumen. Paidi berharap, pemerintah harus kembali mengambil sikap. Diskriminasi harga ini harus dihapuskan. Penurunan harga harus diterapkan di semua hari dan jam. “Saya pikir pemerintah harus tetap memihak lah. Jadi ini harus dirinci betul komponen apa yang membuat harga tiket pesawat ini sampai mahal. Kalau avtur kemarin alasannya sudah dibantah Pertamina yang mengatakan avtur hanya 20% dari komponen biaya. Atau memang ini kebijakan dari pemerintah ya yang memberatkan maskapai. Jadi bisa didiskusikan kembalilah,” tandasnya. (gus)