JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Defisit neraca berjalan atau current account deficit harus dibayar mahal. Upaya pemerintah mengerem konsumsi domestik untuk menekan impor membuat ekonomi Indonesia melambat.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyatakan, ekonomi Indonesia yang dicerminkan produk domestik bruto (PDB) pada 2013 tumbuh 5,78 persen jika dibanding periode 2012. “Itu adalah pertumbuhan terendah dalam empat tahun terakhir,” ujarnya kemarin (5/2).
Sebagaimana diketahui, sejak 2007, Indonesia selalu berhasil mencapai laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen, kecuali pada 2009. Ketika itu, karena memburuknya perekonomian global seiring dengan krisis di AS, Indonesia hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Namun, setelah itu Indonesia kembali berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen, kecuali pada 2013 yang hanya mampu tumbuh 5,78 persen.
Suryamin menyebutkan, sepanjang 2013, konsumsi rumah tangga kembali menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dengan kontribusi 2,91 persen. Disusul ekspor 2,52 persen; pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi 1,15 persen; konsumsi pemerintah 0,38 persen; perubahan inventori 0,10 persen; dan dikurangi impor 0,47 persen. Bandingkan dengan anatomi perekonomian Indonesia periode 2012.
Ketika itu, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,93 persen. Disusul PMTB (2,40 persen); perubahan inventori (1,79 persen); ekspor (1,00 persen), konsumsi pemerintah (0,10 persen), dan dikurangi impor (2,54 persen).
Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, anatomi perekonomian Indonesia tersebut sudah sejalan dengan desain pemerintah untuk menekan defisit neraca berjalan atau current account deficit (CAD). Itu terlihat dari menurunnya kontribusi investasi dan impor serta naiknya ekspor.
“Pemerintah dan BI (Bank Indonesia) memang mendesain supaya (investasi) drop untuk menekan CAD,” katanya.
Menurut dia, salah satu sumber utama defisit neraca berjalan adalah derasnya impor barang modal dan bahan baku karena banyaknya investasi di Indonesia. Karena itulah, BI terus menaikkan suku bunga acuan BI rate untuk mendinginkan geliat ekspansi usaha, termasuk mengerem permintaan domestik. “Jadi, pertumbuhan ekonomi 5,78 persen pada 2013 sudah cukup pas,” ucapnya.
Ekonom Indef yang juga Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya bisa saja mencapai 6″7 persen. Namun, pemerintah sengaja mengerem laju tersebut untuk menyehatkan postur neraca berjalan.
“Kalau tidak direm, dampaknya, defisit bisa makin besar, rupiah anjlok, dan bisa berakibat buruk bagi ekonomi pada masa mendatang,” tegasnya.
Selama ini, kata Aviliani, kapasitas produksi di Indonesia tidak mampu menandingi cepatnya pertumbuhan permintaan domestik karena naiknya tingkat perekonomian masyarakat.
Akibatnya, kebutuhan harus dipenuhi dengan impor, mulai barang konsumsi, bahan baku, hingga mesin produksi. “Kondisi itu perlu ditata agar ekonomi lebih sehat. Konsekuensinya, ekonomi memang melambat sementara,” katanya.
Sementara itu, mengenai besaran ekonomi Indonesia, Suryamin menambahkan, besaran PDB Indonesia 2013 atas dasar harga berlaku sudah mencapai Rp 9.084 triliun, sedangkan besaran PDB atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp 2.770 triliun.
Di sisi lain, kegiatan ekonomi di tanah air diyakini membaik pada kuartal pertama ini. Bank Indonesia (BI) melalui survei kegiatan dunia usaha (SKDU) memprediksi kegiatan usaha lebih tinggi dan didukung dengan perkiraan meningkatnya penggunaan tenaga kerja. Bahkan, kondisi yang positif itu dimungkinkan terjadi hingga enam bulan ke depan.
Kepala Grup Asessment Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengungkapkan, percepatan ekspansi para pebisnis pada triwulan I 2014 tecermin dari kenaikan indikator saldo bersih tertimbang (SBT) yang menjadi 18,04 persen.
“Hal itu menunjukkan persepsi masyarakat tentang kegiatan usaha yang lebih baik, sejalan dengan permintaan domestik menjelang pemilihan umum,” ungkapnya. (owi/gal/res/ias/c5)