Sementara, Agus Trihatmoko dari Universitas Surakarta mengatakan proses pelepasan 51% saham Freeport merupakan momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sumberdaya alam yang selama ini tidak memakmurkan rakyat Indonesia. Selain dimiliki oleh seluruh pemerintah daerah, saham Freeport juga dijual kepada rakyat yang berKTP Indonesia melalui mekanisme Pasar Saham IRI.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus dimulai dengan peralihan saham ini. Pemerintah pusat dengan political willnya, sebaiknya memberlakukan konsep IRI untuk kontrak-kontrak pengelolaan Energi dan SDA yang sudah habis,” tegasnya.
Werry Darta Taifur dari Universitas Andalas menilai, negara itu tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah pusat adalah bagaimana mendistribusikan kemakmuran Freeport ini agar ekonomi terbangun secara merata. “Kalau ingin memperbaiki ketimpangan pembangunan antardaerah dan tidak terperangkap dalam pola yang berlaku selama ini, pemerintah harus mendistribusikan kemakmuran ke daerah dengan aturan yang berkeadilan. Perkawinan BUMN (pusat) dan BUMD (daerah) di sebuah sumber ekonomi yang kemudian melibatkan penyertaan modal dari pemerintah daerah seluruh Indonesia, sebagaimana merupakan konsep IRI, harusnya bukan suatu halangan,” ungkap guru besar Universitas Andalas itu.
Selain keempat akademisi itu, tim ahli ekonomi IRI lain seperti Prof Mudrajad Kuncoro (Universitas Gadjah Mada), Prof B Isyandi (Universitas Riau), Prof Darsono (Universitas Sebelas Maret), Prof Djoko Mursinto (Universitas Airlangga), Prof Tulus Tambunan (Universitas Trisakti), Prof Munawar Ismail (Universitas Brawijaya), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), DR D Wahyu Ariani (Universitas Kristen Maranatha Bandung), DR Y Sri Susilo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) dan Winata Wira (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri). (rel/prn)