JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah terus membenahi perpajakan di sektor pajak bumi dan bangunan (PBB). Setelah tuntas mengalihkan pengelolaan PBB perkotaan dan perdesaan ke pemerintah daerah mulai 1 januari 2014, pemerintah kini fokus pada pembenahan PBB perkebunan, kehutanan, dan pertambangan migas (PBB Sektor P3).
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, awal Februari ini, pemerintah sudah menuntaskan revisi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk pajak bumi dan bangunan sektor P3. ‘Nilainya yang sebelumnya Rp 24 juta, kita turunkan menjadi Rp 12 juta,’ ujarnya kemarin (11/2).
NJOP TKP adalah batas NJOP yang tidak kena pajak. Menurut Chatib, revisi NJOP TKP ini dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi, moneter, dan harga umum objek pajak. ‘Harga objek pajak naik, sehingga perlu penyesuaian,’ katanya.
Sebagai gambaran, dengan NJOP TKP Rp 24 juta, maka jika NJOP sebesar Rp 100 juta, maka NJOP Kena Pajak adalah Rp 76 juta. Nah, dengan diturunkannya NJOP TKP mulai 1 Januari 2014 menjadi Rp 12 juta, maka dengan NJOP Rp 100 juta, nilai NJOP kena pajak sebesar Rp 88 juta. Sehingga, besaran pajak yang harus dibayar wajib pajak pun akan ikut naik.
Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Chandra Budi menambahkan, revisi NJOP TKP ini merupakan lanjutan dari penyempurnaan aturan PBB sektor P3, khususnya untuk sektor pertambangan migas. ‘Ini untuk polemik mengenai objek pajak yang dikenakan PBB Migas atau objek pajak yang tidak dikenai PBB Migas,’ ujarnya.
Chandra menyebut, dalam Peraturan sebelumnya, objek PBB Migas didasarkan pada konsep “Wilayah Kerja”, dimana disebutkan objek PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan/atau Pengusaha Panas Bumi.
Dengan aturan tersebut, maka seluruh wilayah kerja KKKS, baik yang sudah digunakan atau yang tidak digunakan, terkena kewajiban PBB migas. Nah, dalam aturan baru, lanjut Chandra, objek PBB Migas menggunakan konsep “kawasan”. ‘Karena itu, tidak semua wilayah kerja KKKS menjadi objek PBB, tetapi hanya kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha saja,’ jelasnya.
Selain itu, dalam aturan lama, objek pajak bumi diklasifikasi menjadi dua, yaitu permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman (onshore) dan perairan lepas pantai (offshore), serta tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi.
Adapun dalam aturan baru, kata Chandra, ditegaskan adanya areal yang tidak dikenakan PBB Migas, yakni areal tanah, perairan pedalaman, dan/atau perairan lepas pantai, di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi atau Panas Bumi. (owi)