Awalnya hanya komunitas yang mengolah kompos dan akuaponik, kini Comapro yang digawangi sekelompok pemuda-pemudi di Kelurahan Wek II, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, bertransformasi menjadi UMKM dalam bentuk Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Mereka mengolah sampah palet menjadi produk turunan seperti mebel, sawdust, dan produk kerajinan lainnya. ———————————– Dame Ambarita, Batangtoru ———————————–
Pengrajin. Barangkali itulah sebutan yang cocok untuk profesi anak-anak muda yang mengelola Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Dibentuk tahun 2016 lalu dengan nama Comapro, 9 pemuda yang memiliki jiwa kreatif dan keinginan untuk maju, mengawali usahanya dengan memproduksi pupuk kompos dan akuaponik.
“Kompos kami olah dari sampah pasar Batangtoru, seperti sisa perut ikan, sayur, dan lainnya,” kata Julfikri Harahap (36), Sekretaris Koperasi SDM, saat ditemui di Desa Sumuran, Kecamatan Batangtoru, Tapsel, belum lama ini.
Kata pria lulusan MAN Tapsel ini, Comapro berjalan sekitar dua tahun dengan pendampingan dari PT Agincourt Resources (PTAR).
Tahun 2017, Comapro bertransformasi menjadi Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Mereka tetap memproduksi pupuk kompos, akuaponik, ditambah pengolahan sampah palet menjadi produk mebel, dan kerajinan.
“PTAR membantu Koperasi SDM dengan membangun beberapa fasilitas. Seperti workshop, alat pertukangan, dan mesin pencacah. Fasilitas ini digunakan untuk mengolah sampah palet dari PTAR menjadi produk turunan seperti mebel, sawdust dan produk kerajinan lainnya,” katanya.
Palet diperoleh gratis dari PTAR. Bahkan untuk menjemput kayu palet ini dari lokasi Tambang Emas Martabe, Koperasi SDM mendapat biaya pengangkutan. Seminggu, mereka mengambil palet 3 kali.
“Dulu, sampah palet ini disetor ke penampungan sampah Aek Sirara. Karena kayunya ternyata banyak yang masih bagus, akhirnya kami manfaatkan,” katanya.
Sebagai basecamp, mereka menyewa lahan seluas kurang lebih 100×100 meter di Kelurahan Wek II. Harga sewanya Rp10 juta per tahun.
Sebulan, Koperasi SDM bisa memperoleh rata-rata 1.063 kotak palet gratis dari PTAR. Kotak-kotak ini mereka manfaatkan menjadi dua fungsi. Pertama, menjadi sawdust (serbuk kayu). Kedua, menjadi mebel atau furniture.
Sampah palet dari PTAR yang kayunya sudah lapuk, diolah dengan mesin pencacah bantuan PTAR menjadi serbuk. Selanjutnya, serbuk ini dikirim kembali ke Divisi Environment PTAR, sebanyak 4 ton per bulan. “Harga belinya Rp2.000 per kg. Atau sekitar Rp8 juta per bulan,” katanya.
Kayu jati belanda yang masih bagus dan kuat, diolah menjadi berbagai furnitur rumah tangga. Seperti sofa, rak bunga, rak bumbu, meja makan, kotak tissue, dan seterusnya.
“Furnitur bisa kami produksi 14 set dalam tempo 10 hari. Untuk meja kursi satu set, yakni 2 kursi panjang dan 1 meja yang bahannya semua dari palet, kami jual mulai dari Rp700 ribu per set,” kata Julfikri.
Untuk rak bunga bertingkat, dijual mulai Rp300 ribu hingga Rp700 ribu, tergantung model.
Mereka juga memproduksi kotak tissue, rak bumbu, dan sebagainya. “Kalau ada pesanan lain, bisa saja kami kerjakan,” katanya.
Bagi warga yang ingin membeli kayu palet jati belanda yang telah diketam, mereka juga menjual dengan harga bervariasi. Palet ukuran 5 cm (cocok untuk pagar) dijual 1.500 per lembar. Palet ukuran 7,8 cm dijual Rp3 ribu. Sedangkan ukuran 10 cm dijual Rp5 ribu per lembar. “Yang belum diketam juga boleh dibeli. Ukuran 10 cm hanya Rp3 ribu per lembar,” katanya.
Saat ini, komunitas yang awalnya digawangi 9 orang, kini sisa 5 orang. Mereka bekerja dan bertukang sesuai keahlian.
“Tantangan yang kami hadapi saat ini adalah pemasaran. Jumlah produk yang kami produksi tidak secepat jumlah produk yang laku. Apalagi, sebenarnya banyak warga yang pengen bergabung ke koperasi kami. Jika ada pasar yang mampu menyerap banyak, kami mungkin bisa membayar tenaga kerja tambahan,” kata Julfikri.
Omzet Koperasi dari penjualan furnitur saat ini relatif belum stabil. Antara Rp3 juta-7 juta per bulan. Ditambah uang penjualan sawdust ke PTAR sebesar Rp8 juta per bulan, dipotong uang operasional seperti listrik dan sewa lahan, pendapatan mereka memang masih pas-pasan untuk 5 anggota.
“Harapan ke depan, pesanan furnitur lebih banyak. Jika produksi lancar, kesejahteraan bisa meningkat. Tenaga kerja, khususnya yang bisa bertukang, juga bisa ditampung lebih banyak,” cetusnya penuh harap.
Meski telah eksis di bidang usaha furniture, Koperasi SDM tetap memproduksi kompos seperti misi awal. Namun kali ini tidak lagi dari sampah pasar, melainkan dibuat dari kotoran sapi.
Sebagai perusahaan yang membina, PTAR turut membekali Koperasi SDM dengan beberapa pelatihan. Seperti pembuatan furnitur berbahan palet bekas berbasis 3R, pelatihan komputer, pelatihan manajemen keuangan, pendampingan organisasi, dll.
“Saat ini PTAR masih terus melakukan pendampingan kepada Koperasi SDM agar mampu menjadi kelompok mandiri dan berkelanjutan,” kata Meriah Tinambunan, Senior Supervisor SME PTAR. (mea)
Awalnya hanya komunitas yang mengolah kompos dan akuaponik, kini Comapro yang digawangi sekelompok pemuda-pemudi di Kelurahan Wek II, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, bertransformasi menjadi UMKM dalam bentuk Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Mereka mengolah sampah palet menjadi produk turunan seperti mebel, sawdust, dan produk kerajinan lainnya. ———————————– Dame Ambarita, Batangtoru ———————————–
Pengrajin. Barangkali itulah sebutan yang cocok untuk profesi anak-anak muda yang mengelola Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Dibentuk tahun 2016 lalu dengan nama Comapro, 9 pemuda yang memiliki jiwa kreatif dan keinginan untuk maju, mengawali usahanya dengan memproduksi pupuk kompos dan akuaponik.
“Kompos kami olah dari sampah pasar Batangtoru, seperti sisa perut ikan, sayur, dan lainnya,” kata Julfikri Harahap (36), Sekretaris Koperasi SDM, saat ditemui di Desa Sumuran, Kecamatan Batangtoru, Tapsel, belum lama ini.
Kata pria lulusan MAN Tapsel ini, Comapro berjalan sekitar dua tahun dengan pendampingan dari PT Agincourt Resources (PTAR).
Tahun 2017, Comapro bertransformasi menjadi Koperasi Sarop Do Mulana (SDM). Mereka tetap memproduksi pupuk kompos, akuaponik, ditambah pengolahan sampah palet menjadi produk mebel, dan kerajinan.
“PTAR membantu Koperasi SDM dengan membangun beberapa fasilitas. Seperti workshop, alat pertukangan, dan mesin pencacah. Fasilitas ini digunakan untuk mengolah sampah palet dari PTAR menjadi produk turunan seperti mebel, sawdust dan produk kerajinan lainnya,” katanya.
Palet diperoleh gratis dari PTAR. Bahkan untuk menjemput kayu palet ini dari lokasi Tambang Emas Martabe, Koperasi SDM mendapat biaya pengangkutan. Seminggu, mereka mengambil palet 3 kali.
“Dulu, sampah palet ini disetor ke penampungan sampah Aek Sirara. Karena kayunya ternyata banyak yang masih bagus, akhirnya kami manfaatkan,” katanya.
Sebagai basecamp, mereka menyewa lahan seluas kurang lebih 100×100 meter di Kelurahan Wek II. Harga sewanya Rp10 juta per tahun.
Sebulan, Koperasi SDM bisa memperoleh rata-rata 1.063 kotak palet gratis dari PTAR. Kotak-kotak ini mereka manfaatkan menjadi dua fungsi. Pertama, menjadi sawdust (serbuk kayu). Kedua, menjadi mebel atau furniture.
Sampah palet dari PTAR yang kayunya sudah lapuk, diolah dengan mesin pencacah bantuan PTAR menjadi serbuk. Selanjutnya, serbuk ini dikirim kembali ke Divisi Environment PTAR, sebanyak 4 ton per bulan. “Harga belinya Rp2.000 per kg. Atau sekitar Rp8 juta per bulan,” katanya.
Kayu jati belanda yang masih bagus dan kuat, diolah menjadi berbagai furnitur rumah tangga. Seperti sofa, rak bunga, rak bumbu, meja makan, kotak tissue, dan seterusnya.
“Furnitur bisa kami produksi 14 set dalam tempo 10 hari. Untuk meja kursi satu set, yakni 2 kursi panjang dan 1 meja yang bahannya semua dari palet, kami jual mulai dari Rp700 ribu per set,” kata Julfikri.
Untuk rak bunga bertingkat, dijual mulai Rp300 ribu hingga Rp700 ribu, tergantung model.
Mereka juga memproduksi kotak tissue, rak bumbu, dan sebagainya. “Kalau ada pesanan lain, bisa saja kami kerjakan,” katanya.
Bagi warga yang ingin membeli kayu palet jati belanda yang telah diketam, mereka juga menjual dengan harga bervariasi. Palet ukuran 5 cm (cocok untuk pagar) dijual 1.500 per lembar. Palet ukuran 7,8 cm dijual Rp3 ribu. Sedangkan ukuran 10 cm dijual Rp5 ribu per lembar. “Yang belum diketam juga boleh dibeli. Ukuran 10 cm hanya Rp3 ribu per lembar,” katanya.
Saat ini, komunitas yang awalnya digawangi 9 orang, kini sisa 5 orang. Mereka bekerja dan bertukang sesuai keahlian.
“Tantangan yang kami hadapi saat ini adalah pemasaran. Jumlah produk yang kami produksi tidak secepat jumlah produk yang laku. Apalagi, sebenarnya banyak warga yang pengen bergabung ke koperasi kami. Jika ada pasar yang mampu menyerap banyak, kami mungkin bisa membayar tenaga kerja tambahan,” kata Julfikri.
Omzet Koperasi dari penjualan furnitur saat ini relatif belum stabil. Antara Rp3 juta-7 juta per bulan. Ditambah uang penjualan sawdust ke PTAR sebesar Rp8 juta per bulan, dipotong uang operasional seperti listrik dan sewa lahan, pendapatan mereka memang masih pas-pasan untuk 5 anggota.
“Harapan ke depan, pesanan furnitur lebih banyak. Jika produksi lancar, kesejahteraan bisa meningkat. Tenaga kerja, khususnya yang bisa bertukang, juga bisa ditampung lebih banyak,” cetusnya penuh harap.
Meski telah eksis di bidang usaha furniture, Koperasi SDM tetap memproduksi kompos seperti misi awal. Namun kali ini tidak lagi dari sampah pasar, melainkan dibuat dari kotoran sapi.
Sebagai perusahaan yang membina, PTAR turut membekali Koperasi SDM dengan beberapa pelatihan. Seperti pembuatan furnitur berbahan palet bekas berbasis 3R, pelatihan komputer, pelatihan manajemen keuangan, pendampingan organisasi, dll.
“Saat ini PTAR masih terus melakukan pendampingan kepada Koperasi SDM agar mampu menjadi kelompok mandiri dan berkelanjutan,” kata Meriah Tinambunan, Senior Supervisor SME PTAR. (mea)