26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Juli, Pasokan Gas Industri ke Sumut Berhenti

MEDAN-KetuaAsosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumut Johan Brien mengungkapkan, diperkirakan pada Juli mendatang industri pengguna gas di Sumut akan mengalami penghentian pasokan gas. “Pasokan gas kini terus berkurang. Saya dapat informasi, sejak Maret lalu pasokan terus menurun. Diperkirakan gas untuk industri akan berhenti dipasok Juni nanti,” kata Johan Brien.

Dikatakan Johan, terakhir dia mendapatkan informasi dari salah satu industri kaca terbesar di Sumut, industri itu sudah tidak bisa menggunakan gas lagi karena tekanannya sangat rendah. Tekananyangditerimanya hanyasekitar, 0,5 bar sehingga tidak cukup mendukung pengolahan industrinya.

Menurut Brien, saat ini saja ada 54 industri besar yang menggunakan gas sebagai sumber energinya.

Mereka bergerak di bidang industri keramik, sarung tangan, kimia, pembuatan roti, mie instan dan kaca. Kebutuhan rata-rata gas untuk tiap-tiap industry tersebut sekitar 20 MMSCFD per bulan.

Dia mengatakan, masalah kekurangan gas untuk industri di Sumut sudah berlangsung sejak tahun 2000. Pada tahun 2001 pernah ada pertemuan stakeholder gas yang dihadiri oleh unsur pemerintah, PGN dan pengusaha. Hasilnya akan dibangun pipa gas yang menghubungkan gas di Riau dan Sumut. “Tapi terhenti karena pemerintah pusat tak kunjung merealisasikannya.

Ini tandanya pemerintah tidak mendukung penyelesaian permasalahan gas bagi industri di Sumut,” ujarnya.

Saat ini pengusaha pengguna gas dengan sangat terpaksa harus beralih ke sumber energi lain. Paling banyak beralih ke bahan bakar minyak karena lebih gampang melakukan konversinya. Sedangkan kalau ke batubara pasokan belum stabil.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo Sumut) Parlindungan Purba mengaku, pada teorinya pemerintah menggalakan penggunaan gas untuk industri karena dinilai ramah lingkungan dan murah. Namun pada kenyataannya, pengusaha malah kesulitan memperoleh gas. “Sampai sekarang belum ada jalan keluarnya mengatasi permasalahan ini,” ungkapnnya.

Dia menilai, penggunaan gas untuk industri sangat bagus karena lebih efisien, hemat dan ramah lingkungan. Beda dengan penggunaan batubara yang cenderung mengotori lingkungan.

Apa lagi saat ini, sarana dan prasarana limbah batubara belum ditangani dengan baik di Sumut. “Saya selaku anggota DPD sudah meminta pemerintah segera mencari lebih banyak sumur-sumur gas baru,” ujar Parlindungan yang juga anggota DPD Sumut.

Kata Parlindungan, salah satu gas yang ditemukan di Benggala, Langkat, Sumatera Utara, sedang menunggu pelaksaan teknis antara pemerintah pusat, Sumut dan Langkat serta Pertamina.

Dia berharap tahun ini produksi gas di Benggala sudah bisa berjalan. ”Ini harus cepat, karena kondisi pasokan gas di Sumut sudah kritis. Jangan sampai pengusaha yang ada sekarang gulung tikar karena tidak adanya energi,” tukasnya lagi.

Pemerintah Tidak Serius Ketidak seriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah gas ini juga diakui Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rahmanto.

“Pemerintah memang punya konsep ketahanan energi nasional. Dalam setiap pernyataan pasti bilang soal ketahanan nasional, tapi itu hanya retrorika saja. Akibat kendala infrastruktur, gas kita malah kebanyakan diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi,” katanya.

Senada dengan Pri Agung, anggota Komisi VII DPR Ali Kastela mengatakan, masterplan ketahanan energi nasional masih belum terpadu. Alhasil banyak masalah dalam pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Bahkan, saat ini rencana strategi ketahanan energi dan diversifikasi energi dan strategi peningkatan produksi energi nasional tidak berjalan dengan maksimal dan tidak terintegrasi. “Saat ini pemerintah hanya mengandalkan energi fosil. Padahal, jumlah potensinya terbatas. Energi fosil akan habis 10 tahun lagi,” jelasnya.

Ali Kastela juga menegaskan, pengembangan gas dalam negeri masih terkendala dengan infrastruktur pipa untuk menyalurkannya ke konsumennya.

Bahkan, saat ini gas banyak diekspor karena tidak bisa disalurkan ke pasar dalam negeri. Padahal, potensi gas ini sangat besar dengan harga kompetitif. Apalagi, banyak industri yang membutuhkan pasokan gas. (mea)

MEDAN-KetuaAsosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumut Johan Brien mengungkapkan, diperkirakan pada Juli mendatang industri pengguna gas di Sumut akan mengalami penghentian pasokan gas. “Pasokan gas kini terus berkurang. Saya dapat informasi, sejak Maret lalu pasokan terus menurun. Diperkirakan gas untuk industri akan berhenti dipasok Juni nanti,” kata Johan Brien.

Dikatakan Johan, terakhir dia mendapatkan informasi dari salah satu industri kaca terbesar di Sumut, industri itu sudah tidak bisa menggunakan gas lagi karena tekanannya sangat rendah. Tekananyangditerimanya hanyasekitar, 0,5 bar sehingga tidak cukup mendukung pengolahan industrinya.

Menurut Brien, saat ini saja ada 54 industri besar yang menggunakan gas sebagai sumber energinya.

Mereka bergerak di bidang industri keramik, sarung tangan, kimia, pembuatan roti, mie instan dan kaca. Kebutuhan rata-rata gas untuk tiap-tiap industry tersebut sekitar 20 MMSCFD per bulan.

Dia mengatakan, masalah kekurangan gas untuk industri di Sumut sudah berlangsung sejak tahun 2000. Pada tahun 2001 pernah ada pertemuan stakeholder gas yang dihadiri oleh unsur pemerintah, PGN dan pengusaha. Hasilnya akan dibangun pipa gas yang menghubungkan gas di Riau dan Sumut. “Tapi terhenti karena pemerintah pusat tak kunjung merealisasikannya.

Ini tandanya pemerintah tidak mendukung penyelesaian permasalahan gas bagi industri di Sumut,” ujarnya.

Saat ini pengusaha pengguna gas dengan sangat terpaksa harus beralih ke sumber energi lain. Paling banyak beralih ke bahan bakar minyak karena lebih gampang melakukan konversinya. Sedangkan kalau ke batubara pasokan belum stabil.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo Sumut) Parlindungan Purba mengaku, pada teorinya pemerintah menggalakan penggunaan gas untuk industri karena dinilai ramah lingkungan dan murah. Namun pada kenyataannya, pengusaha malah kesulitan memperoleh gas. “Sampai sekarang belum ada jalan keluarnya mengatasi permasalahan ini,” ungkapnnya.

Dia menilai, penggunaan gas untuk industri sangat bagus karena lebih efisien, hemat dan ramah lingkungan. Beda dengan penggunaan batubara yang cenderung mengotori lingkungan.

Apa lagi saat ini, sarana dan prasarana limbah batubara belum ditangani dengan baik di Sumut. “Saya selaku anggota DPD sudah meminta pemerintah segera mencari lebih banyak sumur-sumur gas baru,” ujar Parlindungan yang juga anggota DPD Sumut.

Kata Parlindungan, salah satu gas yang ditemukan di Benggala, Langkat, Sumatera Utara, sedang menunggu pelaksaan teknis antara pemerintah pusat, Sumut dan Langkat serta Pertamina.

Dia berharap tahun ini produksi gas di Benggala sudah bisa berjalan. ”Ini harus cepat, karena kondisi pasokan gas di Sumut sudah kritis. Jangan sampai pengusaha yang ada sekarang gulung tikar karena tidak adanya energi,” tukasnya lagi.

Pemerintah Tidak Serius Ketidak seriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah gas ini juga diakui Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rahmanto.

“Pemerintah memang punya konsep ketahanan energi nasional. Dalam setiap pernyataan pasti bilang soal ketahanan nasional, tapi itu hanya retrorika saja. Akibat kendala infrastruktur, gas kita malah kebanyakan diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi,” katanya.

Senada dengan Pri Agung, anggota Komisi VII DPR Ali Kastela mengatakan, masterplan ketahanan energi nasional masih belum terpadu. Alhasil banyak masalah dalam pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Bahkan, saat ini rencana strategi ketahanan energi dan diversifikasi energi dan strategi peningkatan produksi energi nasional tidak berjalan dengan maksimal dan tidak terintegrasi. “Saat ini pemerintah hanya mengandalkan energi fosil. Padahal, jumlah potensinya terbatas. Energi fosil akan habis 10 tahun lagi,” jelasnya.

Ali Kastela juga menegaskan, pengembangan gas dalam negeri masih terkendala dengan infrastruktur pipa untuk menyalurkannya ke konsumennya.

Bahkan, saat ini gas banyak diekspor karena tidak bisa disalurkan ke pasar dalam negeri. Padahal, potensi gas ini sangat besar dengan harga kompetitif. Apalagi, banyak industri yang membutuhkan pasokan gas. (mea)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/