SUMUTPOS.CO – Pengembangan produk bioetanol sebagai salah satu bahan bakar nabati (BBN) masih perlu melalui jalan panjang. Di saat biodiesel dikembangkan besar-besaran, penyerapan bioetanol hampir mendekati nihil. Masalah klasik seperti harga masih menghantui produk tersebut.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, realisasi penggunaan bioetanol untuk BBM masih nol. ’’Masih belum diserap karena belum setuju dengan HIP (Harga Indeks Pasar, Red),’’ ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Dia mengungkapkan, HIP yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.300 per liter masih terlalu rendah. Sebab pengusaha mengklaim biaya produksinya mencapai Rp 8.500 per liter. ’’Sampai saat ini Kementerian Keuangan belum menyetujui usulan HIP dari kami (Kementerian ESDM). Mereka sudah tahu keadaannya, nanti tinggal menghitung HIP yang cocok berapa,’’ ungkapnya.
Karena itu, pihaknya bakal memangkas target sebelumnya. Yakni dari 100 ribu kl menjadi 3 ribu kl saja. Target tersebut diakui bakal didapat dari pencampuran bioetanol ke BBM non subsidi. ’’Target awal kami kan mensyaratkan adanya persetujuan HIP. Jadi sekarang diubah. Itu pun kalau dibandingkan dengan realisasi BBM non subsidi sekitar 900 ribu kl, tak sampai satu persen,’’ tambahnya.
Hal tersebut juga didukung oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan. Menurut dia, pemerintah seharusnya tak melihat produk biofuel dari harga dan subsidi. ’’Pemerintah harus melihat efek berkelanjutan yang muncul. Dengan semakin besarnya serapan BBN nasional, tentu efek lingkungan lebih baik,’’ ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) ESDM Sutijastoto mengatakan, pengembangan bioetanol di Indonesia memang sulit. Sebab bahan baku untuk membuat produk itu tak melimpah. (JPNN)
SUMUTPOS.CO – Pengembangan produk bioetanol sebagai salah satu bahan bakar nabati (BBN) masih perlu melalui jalan panjang. Di saat biodiesel dikembangkan besar-besaran, penyerapan bioetanol hampir mendekati nihil. Masalah klasik seperti harga masih menghantui produk tersebut.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, realisasi penggunaan bioetanol untuk BBM masih nol. ’’Masih belum diserap karena belum setuju dengan HIP (Harga Indeks Pasar, Red),’’ ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Dia mengungkapkan, HIP yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.300 per liter masih terlalu rendah. Sebab pengusaha mengklaim biaya produksinya mencapai Rp 8.500 per liter. ’’Sampai saat ini Kementerian Keuangan belum menyetujui usulan HIP dari kami (Kementerian ESDM). Mereka sudah tahu keadaannya, nanti tinggal menghitung HIP yang cocok berapa,’’ ungkapnya.
Karena itu, pihaknya bakal memangkas target sebelumnya. Yakni dari 100 ribu kl menjadi 3 ribu kl saja. Target tersebut diakui bakal didapat dari pencampuran bioetanol ke BBM non subsidi. ’’Target awal kami kan mensyaratkan adanya persetujuan HIP. Jadi sekarang diubah. Itu pun kalau dibandingkan dengan realisasi BBM non subsidi sekitar 900 ribu kl, tak sampai satu persen,’’ tambahnya.
Hal tersebut juga didukung oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan. Menurut dia, pemerintah seharusnya tak melihat produk biofuel dari harga dan subsidi. ’’Pemerintah harus melihat efek berkelanjutan yang muncul. Dengan semakin besarnya serapan BBN nasional, tentu efek lingkungan lebih baik,’’ ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) ESDM Sutijastoto mengatakan, pengembangan bioetanol di Indonesia memang sulit. Sebab bahan baku untuk membuat produk itu tak melimpah. (JPNN)