27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Merger XL-Axis Tak Direstui KPPU

JAKARTA-Merger XL-Axis untuk sementara tak dapat berlanjut. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah memutuskan untuk menunda proses merger karena berpotensi memunculkan monopoli dan praktik persaingan tidak sehat. Kalangan DPR pun mengapresiasi keputusan KPPU itu karena sejak awal mereka banyak menemukan kejanggalan yang berpotensi merugikan negara.

Menurut anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya, salah satu kejanggalan yang mengemuka adalah pemberian frekuensi 1800 MHz secara langsung merupakan pelanggaran prosedur.  Seharusnya, jika mengacu pada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) maupun blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G). Setelah itu baru direalokasikan kembali dengan cara seleksi dan evaluasi, sesuai Permenkominfo No 17 Tahun 2005 dan Permenkominfo No 23 Tahun 2010.

Menurut Tantowi, jika pemerintah menginginkan pemasukan negara yang maksimal, seharusnya mereka mengalokasikan frekuensi 2100 MHz (3G) kepada XL karena harga per MHz frekuensi ini jauh lebih mahal daripada 1800 MHz (2G) sehingga Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga maksimal. “Yang terjadi saat ini pemerintah justru memberikan 1800 MHz kepada XL yang notabene lebih murah, alias menghilangkan potensi keuntungan yang lebih besar. Jika frekuensi 2100 MHz ditender lagi, belum tentu para operator berminat karena mereka sudah punya blok yang mencukupi. Makin besarlah kerugian negara,” katanya.

Di sisi lain, Tantowi juga menyatakan, jika skenario merger yang dirancang Menkominfo Tifatul Sembiring berjalan mulus, maka hal itu sama saja dengan memberikan keleluasaan pada operator asal Malaysia untuk mendominasi industri telekomunikasi nasional.

Dalam hal ini dengan cara memperoleh tambahan spektrum tanpa dibebani modern licensing yang mengikat layaknya operator GSM dalam memperoleh alokasi frekuensi tambahan. Ini akan menjadi sangat janggal jika pemerintah tidak membebani XL dengan kewajiban pembangunan yang seimbang dengan operator yang dialokasikan frekuensi dengan jumlah yang hampir sama, seperti Indosat dan Telkomsel. Di sinilah letak kejanggalannya karena, dengan jumlah spektrum yang sama dengan Telkomsel, padahal dari sisi kewajiban layanan XL-Axis lebih ringan karena jumlah pelanggan keduanya jika dijumlah baru sekitar 60 juta pengguna. (bbs/ila)

JAKARTA-Merger XL-Axis untuk sementara tak dapat berlanjut. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah memutuskan untuk menunda proses merger karena berpotensi memunculkan monopoli dan praktik persaingan tidak sehat. Kalangan DPR pun mengapresiasi keputusan KPPU itu karena sejak awal mereka banyak menemukan kejanggalan yang berpotensi merugikan negara.

Menurut anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya, salah satu kejanggalan yang mengemuka adalah pemberian frekuensi 1800 MHz secara langsung merupakan pelanggaran prosedur.  Seharusnya, jika mengacu pada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) maupun blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G). Setelah itu baru direalokasikan kembali dengan cara seleksi dan evaluasi, sesuai Permenkominfo No 17 Tahun 2005 dan Permenkominfo No 23 Tahun 2010.

Menurut Tantowi, jika pemerintah menginginkan pemasukan negara yang maksimal, seharusnya mereka mengalokasikan frekuensi 2100 MHz (3G) kepada XL karena harga per MHz frekuensi ini jauh lebih mahal daripada 1800 MHz (2G) sehingga Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga maksimal. “Yang terjadi saat ini pemerintah justru memberikan 1800 MHz kepada XL yang notabene lebih murah, alias menghilangkan potensi keuntungan yang lebih besar. Jika frekuensi 2100 MHz ditender lagi, belum tentu para operator berminat karena mereka sudah punya blok yang mencukupi. Makin besarlah kerugian negara,” katanya.

Di sisi lain, Tantowi juga menyatakan, jika skenario merger yang dirancang Menkominfo Tifatul Sembiring berjalan mulus, maka hal itu sama saja dengan memberikan keleluasaan pada operator asal Malaysia untuk mendominasi industri telekomunikasi nasional.

Dalam hal ini dengan cara memperoleh tambahan spektrum tanpa dibebani modern licensing yang mengikat layaknya operator GSM dalam memperoleh alokasi frekuensi tambahan. Ini akan menjadi sangat janggal jika pemerintah tidak membebani XL dengan kewajiban pembangunan yang seimbang dengan operator yang dialokasikan frekuensi dengan jumlah yang hampir sama, seperti Indosat dan Telkomsel. Di sinilah letak kejanggalannya karena, dengan jumlah spektrum yang sama dengan Telkomsel, padahal dari sisi kewajiban layanan XL-Axis lebih ringan karena jumlah pelanggan keduanya jika dijumlah baru sekitar 60 juta pengguna. (bbs/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/