JAKARTA – Proses pengambilalihan pengelolaan PT Indonesia Aluminium (Inalum) dari konsorsium perusahaan Jepang, Nippon Asahan Aluminium (NAA), oleh pemerintah RI, memiliki sejumlah potensi permainan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan, kerugian bisa diderita pemerintah pusat dan daerah, jika proses pengambilalihan PT Inalum tidak diawasi secara ketat.
Potensi kerawanan utama terletak pada proses penentuan nilai buku PT Inalum, yang akan dijadikan dasar bagi jumlah uang yang harus dibayarkan pemerintah RI ke NAA. Jika proses penentuan nilai buku tak transparan, bisa saja dibengkak kan, yang selisihnya kemudian masuk kantong oknum-oknum penguasa.
Marwan memberi perumpamaan. Misal nilai buku yang sesungguhnya USD 300 juta, bisa saja di-mark up, dinyatakan USD 500 juta. “Lantas yang diterima pihak perusahaan Jepang USD 400 juta. Yang USD 100 juta masuk tim nego. Itu bisa saja terjadi. Karena itu, IRESS mendesak agar nilai buku disebutkan ke publik secara transparan,” ujar Marwan Batubara di Jakarta, kemarin (18/2).
Kerawanan kedua, yang bisa merugikan Pemprov Sumut dan 10 Pemkab/Pemko di sekitar Danau Toba, adalah soal model pengelolaan. Potensi permainan bisa terjadi, yakni kongkalikong antara aknum petinggi di pusat, dengan pihak swasta.
Kongkalikong ini tujuannya memberi kesempatan pihak swas ta agar digandeng BUMD, sebagai konsorsium perusahaan yang dibentuk Pemprov dan 10 pemda. Swasta inilah yang akan lebih banyak mengeruk keuntungan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahyono, mengatakan perhatian pemerintah pusat saat ini lebih memfokuskan pada proses serah terima dari Jepang. Karena masih terdapat beberapa kendala yang perlu pembicaraan lebih lanjut.
“Untuk pembagian saham antara pusat dan daerah, sepertinya itu belum dibicarakan. Sekarang ini terpenting bagaimana memastikan Inalum sepenuhnya milik Indonesia” katanya di Jakarta, Rabu (30/1).
Menurut Marwan, mestinya pembicaraan soal pembagian saham dengan pemda sudah bisa dibicarakan sembari melakukan nego dengan pihak Jepang.
“Karena toh sudah pasti menjadi milik kita. Mestinya pembicaraan pembagian saham dilakukan secara paralel,” kata Marwan. Mengenai pembentukan BUMD sebagai konsorsium per usahaan pemda, jauh hari Marwan sudah mendorong hal itu. Jadi, nantinya Inalum dimiliki oleh suatu konsorsium yang terdiri dari pemerintah pusat, BUMN dan BUMD (Pemprov plus 10 Pemda di Sumut). (sam)