25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Tahun 2025, Pemerintah Targetkan Suplai Listrik 100.000 MW, 23.000 MW Berasal dari EBT

Ilustrasi EBT

SUMUTPOS.CO – Pemerintah menargetkan suplai listrik sebesar 100.000 MW tahun 2025, dengan 23.000 MW di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT. Hal ini membuat pemerintah menargetkan pembangunan 2.000 MW listrik berbasis EBT setiap tahun.

Hal ini terungkap dalam seminar bertajuk “Energi Baru dan Terbarukan, Strategi dan Teknologi” yang digelar dalam peringatan Hari Listrik Nasional ke-73 di Balai Sidang Indonesia, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (19/9). Diskusi menghadirkan pembicara Nisriyanto, yang mewakili Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priandaru, dan Praktisi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Anton Sugiono.

Dikatakan Anton Sugiono, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, penggunaan energi terbarukan menjadi prioritas sementara energi berbasis fosil seperti solar dan batubara diminimalkan. Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditargetkan naik mencapai 23% pada tahun 2025.

Untuk itu, lanjutnya, beberapa energi primer yang diharapkan meningkat kontribusinya adalah panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air. Termasuk yang kini dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4×127,5 MW.

“PLTA Batang Toru yang dibangun PT North Sumatera Hydrology Energy (NSHE) akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya,” paparnya.

Dipaparkan Anton, pembangkit berteknologi canggih ini didesain irit lahan dengan hanya memanfaatkan badan sungai seluas 24 Ha dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 Ha sebagai kolam harian menampung air.

Air kolam harian tersebut akan dicurahkan melalui terowongan bawah tanah menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 510 MW. Tersedianya sumber energi baru ini akan membantu kemandirian energi di Sumut. “Saat ini PLN menyewa kapal Marine Vessel Power Plant (MVPP) dari Turki yang menyalurkan listrik 240 MW. Itu sebabnya listrik di Sumut saat ini surplus sekitar 160 MW,” bilang Anton.

Sedangkan PLTA Batang Toru, lanjutnya, sangat efisien dalam penggunaan lahan, terutama jika dibandingkan dengan Waduk Jatiluhur di Jawa Barat yang membutuhkan lahan penampung air seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.

Namun dalam pengembangan PLTA Batangtoru, kata Anton, aktivis organisasi nonpemerintah lingkungan menuding NSHE membuka vegetasi hutan primer. Padahal sesungguhnya, proyek tersebut dibangun di lahan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) yang merupakan bekas tanah pertanian warga, seperti kebun karet tua.

“Meskipun pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan ramah lingkungan dan berperan penting dalam menyerap emisi karbon, masih ada organisasi nonpemerintah yang menyebar kampanye negatif. Padahal, pembangkit listrik tenaga air justru akan merawat kelestarian hutan agar sumber air yang menjadi bahan baku EBT tetap lestari,” ketus Anton.

Karenanya, NSHE pun proaktif membangun kolaborasi dengan pemangku kepentingan, seperti para pakar USU dan IPB dan pihak lainnya. “Kolaborasi NSHE dengan para pemangku kepentingan diharapkan mendorong percepatan pembangunan PLTA Batangtoru yang ditargetkan beroperasi tahun 2022,” harap Anton.

Nisriyanto, yang mewakili Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priandaru mengatakan, pemerintah saat ini sangat mendukung pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil secara bertahap. Berbagai regulasi dibangun dan pengaturan tarif pun kini semakin positif sehingga investasi EBT untuk memenuhi kebutuhan energi dalam beberapa dekade mendatang semakin bergairah. (rel/ila/ram)

Ilustrasi EBT

SUMUTPOS.CO – Pemerintah menargetkan suplai listrik sebesar 100.000 MW tahun 2025, dengan 23.000 MW di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT. Hal ini membuat pemerintah menargetkan pembangunan 2.000 MW listrik berbasis EBT setiap tahun.

Hal ini terungkap dalam seminar bertajuk “Energi Baru dan Terbarukan, Strategi dan Teknologi” yang digelar dalam peringatan Hari Listrik Nasional ke-73 di Balai Sidang Indonesia, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (19/9). Diskusi menghadirkan pembicara Nisriyanto, yang mewakili Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priandaru, dan Praktisi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Anton Sugiono.

Dikatakan Anton Sugiono, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, penggunaan energi terbarukan menjadi prioritas sementara energi berbasis fosil seperti solar dan batubara diminimalkan. Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditargetkan naik mencapai 23% pada tahun 2025.

Untuk itu, lanjutnya, beberapa energi primer yang diharapkan meningkat kontribusinya adalah panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air. Termasuk yang kini dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4×127,5 MW.

“PLTA Batang Toru yang dibangun PT North Sumatera Hydrology Energy (NSHE) akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya,” paparnya.

Dipaparkan Anton, pembangkit berteknologi canggih ini didesain irit lahan dengan hanya memanfaatkan badan sungai seluas 24 Ha dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 Ha sebagai kolam harian menampung air.

Air kolam harian tersebut akan dicurahkan melalui terowongan bawah tanah menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 510 MW. Tersedianya sumber energi baru ini akan membantu kemandirian energi di Sumut. “Saat ini PLN menyewa kapal Marine Vessel Power Plant (MVPP) dari Turki yang menyalurkan listrik 240 MW. Itu sebabnya listrik di Sumut saat ini surplus sekitar 160 MW,” bilang Anton.

Sedangkan PLTA Batang Toru, lanjutnya, sangat efisien dalam penggunaan lahan, terutama jika dibandingkan dengan Waduk Jatiluhur di Jawa Barat yang membutuhkan lahan penampung air seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.

Namun dalam pengembangan PLTA Batangtoru, kata Anton, aktivis organisasi nonpemerintah lingkungan menuding NSHE membuka vegetasi hutan primer. Padahal sesungguhnya, proyek tersebut dibangun di lahan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) yang merupakan bekas tanah pertanian warga, seperti kebun karet tua.

“Meskipun pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan ramah lingkungan dan berperan penting dalam menyerap emisi karbon, masih ada organisasi nonpemerintah yang menyebar kampanye negatif. Padahal, pembangkit listrik tenaga air justru akan merawat kelestarian hutan agar sumber air yang menjadi bahan baku EBT tetap lestari,” ketus Anton.

Karenanya, NSHE pun proaktif membangun kolaborasi dengan pemangku kepentingan, seperti para pakar USU dan IPB dan pihak lainnya. “Kolaborasi NSHE dengan para pemangku kepentingan diharapkan mendorong percepatan pembangunan PLTA Batangtoru yang ditargetkan beroperasi tahun 2022,” harap Anton.

Nisriyanto, yang mewakili Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priandaru mengatakan, pemerintah saat ini sangat mendukung pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil secara bertahap. Berbagai regulasi dibangun dan pengaturan tarif pun kini semakin positif sehingga investasi EBT untuk memenuhi kebutuhan energi dalam beberapa dekade mendatang semakin bergairah. (rel/ila/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/