33.9 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Gara-gara Pesan 230 Pesawat

Lion Air
Lion Air

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Maskapai penerbangan Lion Air mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011.

Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD. Sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD.

Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Sudjatmiko mengatakan risiko kurs memang harus dihadapi Lion Air dalam pembelian pesawat itu.

“Jika dulu pesan di kisaran Rp 10 ribu per USD maka ada kelebihan pembayaran sekitar 30 persen yang harus dikeluarkan saat pembayaran. Tentu berdampak ke keuangannya,” ujarnya, kepada Jawa Pos (grup JPNN), kemarin.

Terlebih hampir seluruh pendapatan diraih oleh Lion Group berdenominasi Rupiah sementara mayoritas bebannya adalah USD. Sementara sejauh ini Lion belum terlihat berupaya menggali pendanaan eksternal misalnya dengan menerbitkan surat utang berdenominasi USD untuk mengimbanginya.

Selain itu, Lion lebih bermain di pasar LCC yang notabene margin keuntungannya kecil karena ongkos berbiaya hemat. Untuk menyiasatinya maka perusahaan sejenis itu harus pandai berhemat. Termasuk akhirnya mencoba berhemat dalam penggunaan tenaga kerja di bidang perawatan (maintenance) pesawat.

“Kalau bayar yang ahli mungkin mahal. Setahu saya perawatannya juga diserahkan ke orang mereka sendiri sehingga sering terjadi pesawat rusak. Akibatnya ya seperti ini,” terusnya. (gen/byu)

Lion Air
Lion Air

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Maskapai penerbangan Lion Air mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011.

Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD. Sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD.

Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Sudjatmiko mengatakan risiko kurs memang harus dihadapi Lion Air dalam pembelian pesawat itu.

“Jika dulu pesan di kisaran Rp 10 ribu per USD maka ada kelebihan pembayaran sekitar 30 persen yang harus dikeluarkan saat pembayaran. Tentu berdampak ke keuangannya,” ujarnya, kepada Jawa Pos (grup JPNN), kemarin.

Terlebih hampir seluruh pendapatan diraih oleh Lion Group berdenominasi Rupiah sementara mayoritas bebannya adalah USD. Sementara sejauh ini Lion belum terlihat berupaya menggali pendanaan eksternal misalnya dengan menerbitkan surat utang berdenominasi USD untuk mengimbanginya.

Selain itu, Lion lebih bermain di pasar LCC yang notabene margin keuntungannya kecil karena ongkos berbiaya hemat. Untuk menyiasatinya maka perusahaan sejenis itu harus pandai berhemat. Termasuk akhirnya mencoba berhemat dalam penggunaan tenaga kerja di bidang perawatan (maintenance) pesawat.

“Kalau bayar yang ahli mungkin mahal. Setahu saya perawatannya juga diserahkan ke orang mereka sendiri sehingga sering terjadi pesawat rusak. Akibatnya ya seperti ini,” terusnya. (gen/byu)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/