31 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Keuangan Lion Air Parah, Terancam Bangkrut?

Kinerja keuangan Lion Air, kata Gerry, memang tidak bisa diakses karena merupakan perusahaan tertutup. Tapi dengan indikator nilai tukar Rupiah yang masih fluktuatif dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bisa terbaca bahwa perusahaan itu sedang kesulitan.

Penguasa pasar penerbangan berbiaya hemat alias low cost carrier (LCC) di Indonesia itu banyak melakukan pesanan pesawat baik ke Boeing maupun ke Airbus. Pada Maret 2013 Lion Air pesan 234 unit Airbus dan ditandatangani di Perancis sebesar total Euro 18,4 miliar (USD 24 miliar) atau sekitar Rp 230 triliun.

Pesanan dilakukan saat nilai tukar Rp 9.500 per USD. Pada 12 November 2014, Airbus mengirim tiga A320 sebagai tahap pertama order Lion Grup.

Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011. Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD.

Gerry mengatakan, pembelian pesawat tidak bisa dilakukan lindung nilai (hedging fund) sehingga tidak bisa menghindari rugi kurs. Yang bisa dilakukan dengan menggunakan jasa leasing hanya untuk Down Payment (DP)nya saja.

Dengan asumsi pesanan pada kurs Rp 10.000 per USD saja sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD maka kerugian yang diderita Lion pada pesanan Boeing sebesar 61,6 triliun dan kerugian kurs pada pesanan Airbus sekitar Rp 67,2 triliun.

“Tapi menurut saya kerugian kurs akibat pesanan pesawat itu belum besar dirasakan saat ini karena selain bertahap kan juga ada mekanisme tersendiri. Nanti begitu pesawat datang, dibayar, dijual lagi ke perusahaan rental, lalu disewa lagi. Mekanismenya sudah benar kecuali kondisi keuangannya memang sedang tidak baik,” ulasnya.

Yang justru membebani Lion Air saat ini, kata Gerry, justru dari banyaknya pesawat yang ada saat ini. Biaya perawatan besar terlebih perawatan juga sangat tergantung nilai tukar Rupiah dan yang terbang belum tentu untung.

Kinerja keuangan Lion Air, kata Gerry, memang tidak bisa diakses karena merupakan perusahaan tertutup. Tapi dengan indikator nilai tukar Rupiah yang masih fluktuatif dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bisa terbaca bahwa perusahaan itu sedang kesulitan.

Penguasa pasar penerbangan berbiaya hemat alias low cost carrier (LCC) di Indonesia itu banyak melakukan pesanan pesawat baik ke Boeing maupun ke Airbus. Pada Maret 2013 Lion Air pesan 234 unit Airbus dan ditandatangani di Perancis sebesar total Euro 18,4 miliar (USD 24 miliar) atau sekitar Rp 230 triliun.

Pesanan dilakukan saat nilai tukar Rp 9.500 per USD. Pada 12 November 2014, Airbus mengirim tiga A320 sebagai tahap pertama order Lion Grup.

Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011. Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp 195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp 9.500 per USD.

Gerry mengatakan, pembelian pesawat tidak bisa dilakukan lindung nilai (hedging fund) sehingga tidak bisa menghindari rugi kurs. Yang bisa dilakukan dengan menggunakan jasa leasing hanya untuk Down Payment (DP)nya saja.

Dengan asumsi pesanan pada kurs Rp 10.000 per USD saja sementara saat ini kurs Rp mencapai 12.800 per USD maka kerugian yang diderita Lion pada pesanan Boeing sebesar 61,6 triliun dan kerugian kurs pada pesanan Airbus sekitar Rp 67,2 triliun.

“Tapi menurut saya kerugian kurs akibat pesanan pesawat itu belum besar dirasakan saat ini karena selain bertahap kan juga ada mekanisme tersendiri. Nanti begitu pesawat datang, dibayar, dijual lagi ke perusahaan rental, lalu disewa lagi. Mekanismenya sudah benar kecuali kondisi keuangannya memang sedang tidak baik,” ulasnya.

Yang justru membebani Lion Air saat ini, kata Gerry, justru dari banyaknya pesawat yang ada saat ini. Biaya perawatan besar terlebih perawatan juga sangat tergantung nilai tukar Rupiah dan yang terbang belum tentu untung.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/