31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Rp160 Triliun untuk Impor Pangan

 Wijaya Satria/Batam Pos/jpnn GULA: Ribuan gula impor tiba di Sumatera dan memadati salah satu gudang di Batu Ampar, Batam.

Wijaya Satria/Batam Pos/jpnn
GULA: Ribuan gula impor tiba di Sumatera dan memadati salah satu gudang di Batu Ampar, Batam.

JAKARTA- Kebijakan pemerintah yang terus membuka peluang impor, mengakibatkan liberalisasi perdagangan kini merajai ekonomi di Indonesia. Hampir sekitar Rp160 triliun dihabiskan pemerintah selama 4 tahun belakangan ini untuk mengimpor pangan yang sebenarnya bisa dihasilkan petani di Indonesia.

Hal ini dikatakan Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam diskusi bertajuk Evaluasi Publik 4 Tahun Kinerja Pemerintah dan DPR  di Jakarta Pusat, Minggu, (20/10). Diskusi ini menanggapi hasil survei Pol-Tracking Institute, dimana tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono dalam bidang ekonomi mencapai 70,9 persen.

Menurut Hasto, ini diakibatkan selama Presiden SBY memerintah, banyak kebijakan mengimpor bahan pangan.”Kita tidak bisa memiliki kedaulatan pangan. Sejak tahun 2004, kami menolak impor beras, kita punya petani kenapa harus impor, tapi ini tetap saja berjalan,” kata Hasto dalam diskusi.

“Dari survei yang dikeluarkan ini kita bisa melihat juga, 91 persen masyarakat mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang tinggi, karena impor. Inilah yang menyebabkan masyarakat tidakpuas,” tambah Hasto.

Pemerintahan selanjutnya, kata dia, harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan mengutamakan kedaulatan pangan dibanding rajin mengimpor pangan dari petani asing.

Terpisah, Ketua DPD Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara, Zubaidah mengatakan, liberalisasi perdagangan dan pangan sangat mengkhawatirkan. Sebab, harga bahan pangan melambung, sementara pasar pangan nasional tergerus oleh banjirnya bahan komoditi impor. “Seperti apa yang terjadi dengan komoditi kedelai, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya, ketika kelangkaan kedelai di pasaran lokal, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sehingga kebijakan impor kebutuhan komiditi pangan dilakukan bahkan dengan bea masuk nol rupiah. Dapat dipastikan hal ini akan berlaku juga pada komoditi lain, sehingga kesempatan petani lokal untuk menjadi produsen utama pangan dalam negeri seketika diberangus oleh sistem ini,”ungkapnya

Zubaidah menilai, perdagangan multilateral ini akan lebih mengutamakan  kepentingan pasar daripada kebutuhan nasional. Sebut saja saat ini, katanya,  kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor mengakibatkan harga minyak goreng di dalam negeri naik pesat.

Di sisi lain, pola penguasaan tanah untuk pertanian masih terkonsentrasi kepada segelintir perusahaan baik perusahaan pangan dan perkebunan. Pembaruan Agraria yang menjadi janji SBY untuk membagikan lahan kepada petani kecil sampai detik ini belum juga terealisasi.

Menurutnya, Indonesia tidak akan pernah keluar dari krisis pangan ketika lahan pertanian masih dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan perkebunan dan benih tanaman masih diimpor dari luar dan bukan hasil kreativitas dan pengembangan budi daya benih lokal oleh petani. Kedaulatan pangan hanya akan tercapai apabila pemerintah lebih memilih untuk mementingkan petani kecil dari pada mengejar pertumbuhan ekonomi semu yang nyatanya tidak berdampak kepada perbaikan taraf hidup rakyat sepenuhnya.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Pangan yang jatuh kemarin, DPW SPI Sumut menyatakan Indonesia harus keluar dari keterikatan terhadap APEC, WTO dan Bank Dunia karena dinilai tak realistis terhadap kondisi masyarakat pada saat ini.

Selain itu,  wujudkan Kedaulatan Pangan dengan terlebih dahulu melaksanakan Pembaruan Agraria sesuai amanat UUPA No. 5 Tahun 1960, “pangan adalah Hak Azasi yang seharusnya menjadi kesempatan semua orang untuk mendapatkannya. Dan yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah,”tutupnya.  (flo/mag-9/jpnn)

 

 Wijaya Satria/Batam Pos/jpnn GULA: Ribuan gula impor tiba di Sumatera dan memadati salah satu gudang di Batu Ampar, Batam.

Wijaya Satria/Batam Pos/jpnn
GULA: Ribuan gula impor tiba di Sumatera dan memadati salah satu gudang di Batu Ampar, Batam.

JAKARTA- Kebijakan pemerintah yang terus membuka peluang impor, mengakibatkan liberalisasi perdagangan kini merajai ekonomi di Indonesia. Hampir sekitar Rp160 triliun dihabiskan pemerintah selama 4 tahun belakangan ini untuk mengimpor pangan yang sebenarnya bisa dihasilkan petani di Indonesia.

Hal ini dikatakan Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam diskusi bertajuk Evaluasi Publik 4 Tahun Kinerja Pemerintah dan DPR  di Jakarta Pusat, Minggu, (20/10). Diskusi ini menanggapi hasil survei Pol-Tracking Institute, dimana tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono dalam bidang ekonomi mencapai 70,9 persen.

Menurut Hasto, ini diakibatkan selama Presiden SBY memerintah, banyak kebijakan mengimpor bahan pangan.”Kita tidak bisa memiliki kedaulatan pangan. Sejak tahun 2004, kami menolak impor beras, kita punya petani kenapa harus impor, tapi ini tetap saja berjalan,” kata Hasto dalam diskusi.

“Dari survei yang dikeluarkan ini kita bisa melihat juga, 91 persen masyarakat mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang tinggi, karena impor. Inilah yang menyebabkan masyarakat tidakpuas,” tambah Hasto.

Pemerintahan selanjutnya, kata dia, harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan mengutamakan kedaulatan pangan dibanding rajin mengimpor pangan dari petani asing.

Terpisah, Ketua DPD Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara, Zubaidah mengatakan, liberalisasi perdagangan dan pangan sangat mengkhawatirkan. Sebab, harga bahan pangan melambung, sementara pasar pangan nasional tergerus oleh banjirnya bahan komoditi impor. “Seperti apa yang terjadi dengan komoditi kedelai, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya, ketika kelangkaan kedelai di pasaran lokal, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sehingga kebijakan impor kebutuhan komiditi pangan dilakukan bahkan dengan bea masuk nol rupiah. Dapat dipastikan hal ini akan berlaku juga pada komoditi lain, sehingga kesempatan petani lokal untuk menjadi produsen utama pangan dalam negeri seketika diberangus oleh sistem ini,”ungkapnya

Zubaidah menilai, perdagangan multilateral ini akan lebih mengutamakan  kepentingan pasar daripada kebutuhan nasional. Sebut saja saat ini, katanya,  kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor mengakibatkan harga minyak goreng di dalam negeri naik pesat.

Di sisi lain, pola penguasaan tanah untuk pertanian masih terkonsentrasi kepada segelintir perusahaan baik perusahaan pangan dan perkebunan. Pembaruan Agraria yang menjadi janji SBY untuk membagikan lahan kepada petani kecil sampai detik ini belum juga terealisasi.

Menurutnya, Indonesia tidak akan pernah keluar dari krisis pangan ketika lahan pertanian masih dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan perkebunan dan benih tanaman masih diimpor dari luar dan bukan hasil kreativitas dan pengembangan budi daya benih lokal oleh petani. Kedaulatan pangan hanya akan tercapai apabila pemerintah lebih memilih untuk mementingkan petani kecil dari pada mengejar pertumbuhan ekonomi semu yang nyatanya tidak berdampak kepada perbaikan taraf hidup rakyat sepenuhnya.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Pangan yang jatuh kemarin, DPW SPI Sumut menyatakan Indonesia harus keluar dari keterikatan terhadap APEC, WTO dan Bank Dunia karena dinilai tak realistis terhadap kondisi masyarakat pada saat ini.

Selain itu,  wujudkan Kedaulatan Pangan dengan terlebih dahulu melaksanakan Pembaruan Agraria sesuai amanat UUPA No. 5 Tahun 1960, “pangan adalah Hak Azasi yang seharusnya menjadi kesempatan semua orang untuk mendapatkannya. Dan yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah,”tutupnya.  (flo/mag-9/jpnn)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/