MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ringgit Malaysia masih mendominasi transaksi kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank atau money changer di Sumatra Utara (Sumut). Dalam catatan Bank Indonesia (BI) sejak Januari hingga Agustus 2019, total transaksi mencapai Rp 1,209 triliun atau 39 persen dari jumlah keseluruhan senilai Rp 3,1 triliun.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sumut, Wiwiek Sisto Widayat mengatakan transaksi money changer di Sumut lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat.
Selain mempengaruhi kebutuhan masyarakat, Wiwiek menjelaskan transaksi Ringgit tersebut juga karena kebutuhan bisnis di Sumut, yakni ekspor-impor, sekolah/kuliah hingga liburan. Apa lagi, pariwisata di Sumut juga didominasi Wisatawan Mancanegara (Wisman) asal Malaysia.
“Selain ringgit Malaysia, transaksi terbesar berikutnya yaitu dolar Singapura sekitar 20%, baik untuk pembelian maupun penjualan. Lalu dolar Amerika Serikat (AS) dengan porsi 15%, bath Thailand sekitar 11%, yuan Cina sekitar 5%, dolar Australia sekitar 2%, dolar Hongkong sekitar 2% dan mata uang lainnya sekitar 6%,” kata Wiwiek.
Ia menilai untuk KUPVA pada money changer di Sumut dengan pelayanan transaksi yang baik. Apa lagi, usaha penukaran atau jual beli mata uang asing di Provinsi ini, memiliki based customer yang sama.
Para pedagang valuta asing di Sumut bersaing secara profesional. BI pun melakukan pemantauan secara rutin. Meski BI tidak mengatur terkait kurs di money changer, tapi dengan mengikuti pergerakan kurs mata uang asing di pasaran, tidak ada masalah serius yang timbul karena hal tersebut.
BI sendiri mewajibkan money changer melapor. Kewajiban laporan money changer per bulan adalah laporan kegiatan usaha (LKU). Kemudian ada juga laporan keuangan seperti laba rugi, neraca dan ekuitas per tahun. Semuanya, disampaikan atau laporkan ke BI.
“Tentu diharapkan money changer melaksanakan kewajibannya. Karena itu untuk keberlanjutan bisnisnya. Karena jika tidak melapor, ada sanksi seperti pembekuan hingga pencabutan izin,” tandasnya. (gus/ram)