26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bea Ekspor CPO Naik

Pengusaha Sumut Minta Kontribusi Hasil Pajak

MEDAN- Februari 2012 mendatang, harga refrensi untuk Crude Palm Oil (CPO) sebesar USD1.073 (metric ton). Dengan harga tersebut, pemerintah menetapkan Bea Keluar (BK) pada Februari 2012 sebesar 16,5 persen. Sedangkan di bulan Januari 2012, BK yang ditentukan oleh pemerintah sebesar 15 persen.

Menanggapi kenaikan bea keluar CPO ini, Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa, Selasa (24/1) mengaku kecewa. Pasalnya, Peraturan Menteri Keuangan No.67/2010 tentang penetapan bea keluar (BK)  berdasarkan harga referensi yang dihitung dari rata-rata harga CPO di Rotterdam, Belanda, semakin memberatkan pengusaha dan petani lantaran ketidakpastian biaya ekspor.

Pemerintah juga dianggap mau menang sendiri dengan kebijakan ini. “Dengan kenaikan harga bea keluar CPO, sebagai pengusaha kita tentunya dirugikan oleh pemerintah. Walau begitu, pengusaha tidak keberatan membayarnya karena merupakan regulasi,” ujarnya.

Menurutnya, BK ini membuat harga tidak stabil, sehingga pengusaha menganggap ini sebagai biaya produksi. “Kalau harga 15 ribu dolar per metrik, maka beanya sekitar 15 persen. Ini membuat harga tak stabil,” tambahnya.

Dengan beban harga bea keluar tersebut, sambungnya, membuat petani merasa dirugikan, karena otomatis harga sawit akan menurun. Ini disebabkan biaya produksi pengusaha bertambah dan dimasukkan ke harga beli petani. “Pajak naik, harga pembelian kita tentu akan murah,” terangnya.
Laksamana juga menjelaskan, pengusaha tidak keberatan bila mengeluarkan BK, tetapi setidaknya harus ada timbal balik ke Sumut sendiri. “Kita bayar pajak, setidaknya kembalikan pajak kita 50 persen untuk perbaikan infrastruktur. Lihat saja, jalanan dikawasan pabrik jelek sekali,” tuturnya.

Padahal, katanya, perusahaan turunan CPO cukup banyak beroperasi di Sumut. Namun, kontribusi BK terhadap penerimaan dan pembangunan daerah di Sumut masih minim. Lantaran pendapatan pajak khusus untuk kebun masih dikelola pusat. “Untuk itu, pemerintah pusat juga harus memikirkan perkembangan infrastruktur Sumut dalam membuat regulasi. Pungutan BK selama ini tidak memberikan hasil maksimal karena masyarakat tidak menikmati. Jangan sampai karena masalah ini pelaku usaha menjadi malas. Pungutan yang tidak berdasar harus dipikirkan matang-matang,” terangnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) M Ishak mengatakan, dalam melihat suatu regulasi, kita harus melihat duhulu latar belakangnya. “Pemerintah memang mau menang sendiri. Artinya, setiap kebijakan yang diambil, jarang sekali dilakukan berdasarkan sebuah kajian lebih dahulu. Jadi ya sangat temporer,” tuturnya.

Kalau pihak swasta merasa keberatan, itu juga wajar. Lantaran kenaikan BK itu membuat harga naik. “Bagaimana dengan kolega mereka disana (luar negeri)?. Dan bagaimana pula dengan keberlangsungan usaha pengusaha ita?” tanyanya.

Ishak juga menjelaskan, harus dilihat dahulu latar belakang pemerintah dalam membuat regulasi tersebut, apakah karena prioritas untuk dalam negeri, atau karena ada hal lain. “Kalau alasannya karena kebutuhan dalam negeri, saya sangat salut dengan pemerintah, tapi takutnya, karena ada alas an lain seerti ingin meningkatkan pendapatan,” tuturnya.

Kebijakan untuk meningkatkan pendapatan ini dianggap Ishak merupakan kebijakan yang kurang bijak. Sebab, pemerintah harus melihat kondisi riil pengusaha. Dan sebaliknya, pengusaha juga harus riil dalam hal yang berhubungan dengan keuangan seperti dalam masalah pajak.
Jadi intinya, kata Ishak, pemerintah harus lebih berani untuk membuka diri atau mentransfer apa yang dimilikinya agar pengusaha juga mengerti kondisi nyata pemerintah.

“Intinya harus ada keterbukaan, sehingga pemerintah mengetahui keadaaan petani dan pengusaha, dan pengusaha juga mengetahui keadaan pemerintahnya,” tandasnya. (ram)

Pengusaha Sumut Minta Kontribusi Hasil Pajak

MEDAN- Februari 2012 mendatang, harga refrensi untuk Crude Palm Oil (CPO) sebesar USD1.073 (metric ton). Dengan harga tersebut, pemerintah menetapkan Bea Keluar (BK) pada Februari 2012 sebesar 16,5 persen. Sedangkan di bulan Januari 2012, BK yang ditentukan oleh pemerintah sebesar 15 persen.

Menanggapi kenaikan bea keluar CPO ini, Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa, Selasa (24/1) mengaku kecewa. Pasalnya, Peraturan Menteri Keuangan No.67/2010 tentang penetapan bea keluar (BK)  berdasarkan harga referensi yang dihitung dari rata-rata harga CPO di Rotterdam, Belanda, semakin memberatkan pengusaha dan petani lantaran ketidakpastian biaya ekspor.

Pemerintah juga dianggap mau menang sendiri dengan kebijakan ini. “Dengan kenaikan harga bea keluar CPO, sebagai pengusaha kita tentunya dirugikan oleh pemerintah. Walau begitu, pengusaha tidak keberatan membayarnya karena merupakan regulasi,” ujarnya.

Menurutnya, BK ini membuat harga tidak stabil, sehingga pengusaha menganggap ini sebagai biaya produksi. “Kalau harga 15 ribu dolar per metrik, maka beanya sekitar 15 persen. Ini membuat harga tak stabil,” tambahnya.

Dengan beban harga bea keluar tersebut, sambungnya, membuat petani merasa dirugikan, karena otomatis harga sawit akan menurun. Ini disebabkan biaya produksi pengusaha bertambah dan dimasukkan ke harga beli petani. “Pajak naik, harga pembelian kita tentu akan murah,” terangnya.
Laksamana juga menjelaskan, pengusaha tidak keberatan bila mengeluarkan BK, tetapi setidaknya harus ada timbal balik ke Sumut sendiri. “Kita bayar pajak, setidaknya kembalikan pajak kita 50 persen untuk perbaikan infrastruktur. Lihat saja, jalanan dikawasan pabrik jelek sekali,” tuturnya.

Padahal, katanya, perusahaan turunan CPO cukup banyak beroperasi di Sumut. Namun, kontribusi BK terhadap penerimaan dan pembangunan daerah di Sumut masih minim. Lantaran pendapatan pajak khusus untuk kebun masih dikelola pusat. “Untuk itu, pemerintah pusat juga harus memikirkan perkembangan infrastruktur Sumut dalam membuat regulasi. Pungutan BK selama ini tidak memberikan hasil maksimal karena masyarakat tidak menikmati. Jangan sampai karena masalah ini pelaku usaha menjadi malas. Pungutan yang tidak berdasar harus dipikirkan matang-matang,” terangnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) M Ishak mengatakan, dalam melihat suatu regulasi, kita harus melihat duhulu latar belakangnya. “Pemerintah memang mau menang sendiri. Artinya, setiap kebijakan yang diambil, jarang sekali dilakukan berdasarkan sebuah kajian lebih dahulu. Jadi ya sangat temporer,” tuturnya.

Kalau pihak swasta merasa keberatan, itu juga wajar. Lantaran kenaikan BK itu membuat harga naik. “Bagaimana dengan kolega mereka disana (luar negeri)?. Dan bagaimana pula dengan keberlangsungan usaha pengusaha ita?” tanyanya.

Ishak juga menjelaskan, harus dilihat dahulu latar belakang pemerintah dalam membuat regulasi tersebut, apakah karena prioritas untuk dalam negeri, atau karena ada hal lain. “Kalau alasannya karena kebutuhan dalam negeri, saya sangat salut dengan pemerintah, tapi takutnya, karena ada alas an lain seerti ingin meningkatkan pendapatan,” tuturnya.

Kebijakan untuk meningkatkan pendapatan ini dianggap Ishak merupakan kebijakan yang kurang bijak. Sebab, pemerintah harus melihat kondisi riil pengusaha. Dan sebaliknya, pengusaha juga harus riil dalam hal yang berhubungan dengan keuangan seperti dalam masalah pajak.
Jadi intinya, kata Ishak, pemerintah harus lebih berani untuk membuka diri atau mentransfer apa yang dimilikinya agar pengusaha juga mengerti kondisi nyata pemerintah.

“Intinya harus ada keterbukaan, sehingga pemerintah mengetahui keadaaan petani dan pengusaha, dan pengusaha juga mengetahui keadaan pemerintahnya,” tandasnya. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/