Meski investasi yang dikeluarkan cukup besar, yakni kisaran Rp55 miliar per satu pembangkit listrik tenaga biogas ini, namun Asian Agri yang membawahi 14 perseroan terbatas itu, tidak mundur. Malah mereka merencanakan akan menyelesaikan 8 pembangkit listrik tenaga biogas hingga akhir 2015.
”Hingga bulan Mei, kita akan menyelesaikan 5 pembangkit. Dua di Sumatera Utara, dua di Riau, dan 1 di Jambi. Setelah Mei, akan dibangun di Riau 2 dan di Sumut 1 pembangkit lagi,” kata Ikom.
Kelima pembangkit yang akan selesai Mei ini ada adalah Pabrik Biogas Negeri Lama Dua, di Desa Sidomulyo, Kec. Bilah Hilir, Kab. Labuhan Batu, Provinsi Sumatera Utara; Pabrik Biogas Gunung Melayu Satu, di Desa Batu Anam, Kec. Rahuning, Kab. Asahan, Provinsi Sumatera Utara; Pabrik Biogas Ukui Satu, Desa Air Hitam, Kec. Ukui, Kab. Pelalawan, Provinsi Riau; Pabrik Biogas Buatan Satu, Desa Bukit Agung, Kec. Pangkalan Kerinci, Kab Pelalawan Provinsi Riau; Pabrik Biogas Taman Raja, Desa Lubuk Bernai, Kec. Batang Asam, Kab. Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Ikom menjelaskan, setiap pembangkit listrik tenaga biogas yang dibangun pada PKS 60 ton TBS per jam, berpotensi menghasilkan listrik dengan kapasitas 2 MW atau 2 juta watt. ”Jadi jika kita asumsikan setiap rumah tangga menggunakan 900 watt, maka setiap pembangkit listrik tenaga biogas dapat menerangi hingga 2.000 rumah. Jelas potensi energi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga biogas ini sangat besar,” katanya.
Dengan hitungan tersebut, jika delapan pembangkit yang dibangun Asian Agri telah beroperasi, berarti ada 16 MW listrik yang bisa dihasilkan. Itu minimal, karena ada PKS yang dibangun dengan produksi lebih dari 60 ton TBS per jam. Ini memberikan harapan baru di era krisis energi khususnya listrik belakangan ini.
Lantas, bagaimana penggunaan listrik yang dihasilkan?
”Saat ini masih dimanfaatkan untuk internal Asian Agri. Tetapi jika PLN bersedia membeli, kita siap menjual 50 persen daya listrik yang dihasilkan dari setiap pembangkit Harga jualnya, tergantung kesepakatan dengan PLN,” kata Ikom.