JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kolaborasi berbagai pihak dalam penyediaan layanan digital terus dilakukan demi meningkatkan perlindungan terhadap pengguna. Melalui kerjasama antarlembaga, keamanan data masyarakat dapat lebih terjamin, dan potensi terjadinya tindak pidana penipuan (fraud) bisa diminimalisir.
Salah satu kolaborasi yang bisa dilakukan para pelaku industri perbankan, teknologi finansial/tekfin, regulator, dan lembaga penegak hukum adalah membuat pusat penyimpanan ataurepository yang memuat data-data oknum pelaku kejahatan siber. Keberadaan repository tersebut bisa membuat pelaku industri keuangan semakin bergerak cepat untuk menindak akun-akun para penipu.
“Karena memangperkembangan digital ini membawa dua dampak. Pertama, masyarakat akan exciting karena dia memberikan banyak kemudahan, inovasi, jadi bisa bertumbuh signifikan. Tapi yang kedua, (menimbulkan) scary / ketakutan karena risiko sibernya besar sekali. Kalau kita bicara collaborative economy seperti ini, open banking, maka memang kita butuh kolaborasi,” ujar Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo dalam webinar Katadata Indonesia Data and Economic Conference 2021, Rabu (24/3/2021).
Selama ini, BRI sebagai bank terbesar di Indonesia telah memiliki pusat data atau repository berdasarkan kerjasama perusahaan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pembuatan pusat data tersebut harus diperluas ke depannya untuk menghadirkan perlindungan menyeluruh terhadap seluruh pengguna layanan digital, baik yang dilayani oleh perbankan, perusahaan tekfin, atau pelanggan marketplace.
Repository juga bisa disediakan lembaga perbankan, fintek, dan marketplace bekerjasama dengan para operator telekomunikasi di Indonesia. Dengan melibatkan para operator telekomunikasi, pelacakan dan penindakan nomor-nomor telepon yang digunakan untuk fraud bisa berjalan lebih cepat.
Indra juga mengungkapkan, keberadaan repository bisa meminimalisir masalah yang timbul apabila masyarakat ingin mengganti nomor teleponnya. Alasannya, selama ini masih banyak masyarakat yang mengalami kendala pasca mengganti nomor telepon karena layanan perbankan yang mereka akses masih terdaftar di nomor lama.
Selain mendorong penciptaan pusat data terpadu, BRI menilai aksi cepat harus dilakukan lembaga perbankan, tekfin, atau marketplace saat menindaklanjuti dugaan penipuan yang dialami nasabah/pengguna. Penanganan yang cepat harus dilakukan untuk membatasi ruang gerak para penipu dan mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar bagi korban.
“Di era seperti ini memang untuk menghadapi kejahatan seperti ini butuh kolaborasi industri. Saya rasa industri bisa bertumbuh cepat kalau kita meng-address problem fraud, cyber risk yang besar ini. Kita bisa bersama-sama bekerja dengan industri telekomunikasi, insyaallah ini akan tumbuh lebih sehat lagi, bisa membuka ekonomi digital di Indonesia yang jauh lebih impactful,” tambah Indra.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pertumbuhan volume dan transaksi daring di Indonesia meningkat pesat pasca meluasnya pandemi Covid-19. Per Desember 2020, nominal transaksi masyarakat di e-commerce mencapai Rp90,28 triliun atau tumbuh 49,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Pada saat yang sama, volume transaksi digital tumbuh 41 persen yoy.
BI juga mencatat pertumbuhan transaksi uang elektronik sepanjang 2020 tumbuh hingga 22 persen yoy. Pertumbuhan ini didukung banyaknya inovasi digital yang dilakukan oleh pelaku industri tekfin, perbankan, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB).(rel)