MEDAN- Pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, dinilai melanggar hak konsumen atas akses bahan bakar minyak (BBM) yang memadai.
Hal itu dikatakan, Direktur Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi, kepada wartawan, Selasa (24/4).
Menurutnya, pelanggaran terhadap hak konsumen terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi tersebut, karena tidak diiringi dengan kemampuan Pertamina untuk menyediakan Pertamax. Indikatornya, sampai saat ini Pertamina juga masih mengimpor Pertamax dari luar negeri. Ini justru akan mempersulit konsumen mendapatkan BBM.
Intinya, Persoalan utama pembatasan BBM bersubsidi ini adalah mempersulit akses masyarakat pada bahan bakar. “Hal ini akan memperparah kelangkaan bahan bakar yang sudah terjadi pada daerah-daerah di luar Pulau Jawa,” ungkapnya.
Lanjut pria yang juga Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut, dengan kata lain, pembatasan konsumsi BBM juga membutuhkan ketersediaan infrastruktur, tenaga Sumber Daya Manusia (SDM), dan pengawasan yang semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Apalagi selama ini pengawasanpun, masih banyak kelemahan. Padahal pengawasan diperlukan agar pembatasan konsumsi BBM benar-benar diimplementasikan dengan baik.
Masalahnya, sambungnya, selama ini BBM tidak dibatasi seperti saat ini ketersediaan BBM di daerah sudah sangat mencemaskan. Apalagi jika stok dibatasi.
Lebih jauh lagi, kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi ini berpotensi saja akan menguntungkan SPBU asing. Sebab dengan perbedaan harga yang cukup besar antara SPBU nasional dengan asing, konsumen cenderung akan beralih ke SPBU asing yang harganya lebih murah.
Kemudian masalah utama dengan pembatasan BBM bersubsidi, kebijakan apa yang dipersiapkan oleh pemerintah sebagai pengganti kenaikan harga tersebut? Pada dasarnya, kinerja pemerintah selama ini kurang optimal baik penyediaan fasilitas publik maupun jasa. Sempitnya infrastruktur dan lemahnya kualitas jalan raya dapat dijumpai di sepanjang pulau Jawa.
Jasa keamanan kepolisian yang diharapkan mampu melindungi kepentingan publik justru seringkali berpihak kepada mereka yang kaya. Keadilan yang seharusnya dapat ditegakkan dan tidak pandang bulu, semakin sulit diharapkan. Apakah batasan konsumsi BBM bersubsidi akan mampu meningkatkan kenyamanan fasilitas publik sekaligus layanannya.(ari)