MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wacana Pemerintah Indonesia menggunakan bahan bakar nuklir dalam mengatasi kebutuhan listrik masih hangat diperbincangkan.
Salah satu hal yang disorot yakni soal public acceptance (penerimaan publik) yang masih menjadi kendala serius dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Rencana pembangunan PLTN harus mempertimbangkan banyak aspek, tidak hanya teknis, tetapi juga aspek lainnya seperti sosial dan ekonomi masyarakat. “Begini, hati-hati. Jangan lupa publik acceptance itu penting. Suara rakyat suara Tuhan,” ujar mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro pada seminar nasional bertajuk Pengelolaan Sumber Daya Energi yang Berkelanjutan untuk Ketahanan Nasional, di Universitas Katolik (Unika) Santo Thomas Medan, Selasa (25/9).
Purnomo mengisahkan tentang studi kasus rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria yang mendapat penolakan kuat dari publik menyebabkan rencana tersebut tidak dapat dieksekusi. Dimana paskagempa Fukushima sebaiknya kehati-hatian dan studi komprehensif menjadi pijakan utama pemerintah untuk memutuskan langkah selanjutnya.
“Dulu Dirjen kita dikejar-kejar sama masyarakat Muria dan ternyata di Gunung Muria sering terjadi gempa. Akhirnya diputuskan dibatalkan,” jelasnya. “Energi nuklir di dunia saat ini juga presentasenya menurun,” tambah Purnomo.
Terkait wacana pembangunan PLTN, Purnomo mengingatkan jangan tergesa-gesa. Posisi nuklir dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai opsi terakhir juga penting dipegang. Peran serta masyarakat menjadi kunci bagi penerimaan kebijakan energi ke depan.
“Belajar dari pengalaman, bikin tim untuk FGD (fokus grup diskusi). Dari sisi kebijakan melihat potensi nuklir dalam KEN yang ujung-ujungnya sosialisasi kembali dengan masyarakat,” tuturnya.
Di hadapan lebih dari 400 mahasiswa yang hadir dalam acara seminar, Saleh Abdurrahman, Sekjen Dewan Energi Nasional menargetkan bahwa pada 2025 Indonesia akan menggunakan energi terbarukan (angin, air, dan tata surya) sebesar 25 persen. “Tahun 2025 sebentar lagi, kita menargetkan Indonesia sudah menggunakan energi terbarukan sebesar 25 persen dari yang sekarang hanya 6 sampai 7 persen,” ucapnya.
Ia menuturkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang banyak. Potensi matahari dan angin belum dimanfaatkan sebesar-besarnya. Secara pribadi, Saleh sangat mendukung penggunaan energi terbarukan dan mendorong daerah-daerah untuk mengembangkan energi terbarukan. Selain minim resiko juga lebih murah daripada nuklir. “Tren harga energi terbarukan semakin menurun, tren nuklir semakin tahun semakin naik,” katanya.
Selain karena bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan untuk melaksanakan proyek PLTN ini. “Biaya pembangkit nuklir per kwh itu termasuk mahal. Apalagi ditambahi biaya-biaya resiko kecelakaan, tambah membengkak dia,” imbuh Saleh.
Pada kesempatan yang sama, Febby Tumiwa, pakar energi terbarukan dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga anggota dewan pengarah PWYP lndonesia menambahkan, Indonesia berada di daerah pusat gempa atau ring of fire. “Pada tahun 80-an ada wacana pembangunan PLTN di Muria, tetapi setelah tsunami dan gempa di Yogyakarta pada 2006 dan dilakukan studi ulang, ternyata ditemukan sesar atau patahan di Muria. Yang artinya, bila pembangunan dilakukan maka akan merugikan dan memberikan dampak yang buruk pada lingkungan,” ujarnya.
Selain itu, biaya pembangunan dan harga jual per kwh yang mahal juga menjadi pertimbangan untuk menolak pembangunan PLTN. Atas dasar itu Febby mengusulkan dan mendukung penggunaan energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya yang sangat berlimpah di Indonesia untuk mencapai target 35.000 MW yang dicanangkan oleh pemerintah.
Turut hadir dalam seminar dan menjadi pembicara, Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu, Rektor Unika Santo Thomas Medan, Frietz R Tambunan, para dosen dan ratusan mahasiswa. (prn/ram)