MEDAN, SUMUTPOS.CO- Ganti rugi pembebasan lahan pembangunan tol sesi I di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, belum juga tuntas. Alasannya, konsinyasi (ganti rugi) belum bisa dibayarkan, sepanjang belum ada keputusan hukum tetap (inkrah).
Dalam putusan yang dikeluarkan PN Medan dengan 12 keputusan, diantaranya memenangkan pihak Sultan Deli. Akibatnya, proses ganti rugi yang seharusnya diterima masyarakat dengan 378 kepala keluarga (KK) yang mendiami lahan seluas 150 hektar tertunda karena pemerintah melakukan banding. “Ganti rugi belum bisa dibayarkan, sepanjang belum ada putusan yang berkuatan hukum tetap,” ungkap Humas Pengadilan Negeri (PN) Medan, Erintuah Damanik kepada Sumut Pos, Kamis (27/9).
Dia mengatakan, pengadilan telah memutus gugatan perkara ini di PN Medan. Namun, akibat adanya banding yang dilakukan, proses ganti rugi lahan juga ikut tertunda. “Jadi yang dimenangkan itu pelawan, sekarang dari pihak terlawan melakukan banding di PT,” kata Erintuah.
Sepangjang belum ada kekuatan hukum tetap, lanjut Erintuah, uang ganti rugi yang dititip ke PN Medan, belum bisa diberikan. “Yang jelas ganti rugi itu masih tetap, jadi uang yang titipkan di pengadilan itu belum bisa dibayarkan kepada siapapun sebelum ada keputusan hukum tetap,” jelasnya.
Namun dari proses ganti rugi yang tertunda itu, proyek pembangunan tol Tanjungmulia tetap dilanjutkan pemerintah. “Proyek pembangunan tetap berjalan, tidak ada masalah itu. Jadi kita tunggu saja bandingnya di PT, masih diperiksa,” pungkasnya.
Sebelumnya, salah satu warga, Sahut Simaremare, Rabu (12/9), mengatakan, proses ganti rugi yang akan mereka terima sebesar 70 persen, dan 30 persen kepada pemilik SHM. Namun penyerahan ganti rugi lahan itu tertunda. Alasannya, pihak Sultan Deli menggugat pemerintah dalam hal ini BPN dan PUPR atas hak ganti rugi lahan yang mereka tempati. Dari putusan itu, PN Medan memenangkan gugatan dari Sultan Deli. “Kami sebanyak 378 KK, harus menunggu lama lagi proses ganti rugi. Karena, ada gugatan dari Sultan Deli. Anehnya, yang digugat pemerintah atas hak ganti rugi, bukan mengenai kepemilikan tanah yang kami kuasai,” kata Sahut.
Dijelaskan pria yang juga tim dari Forum Masyarakat Kawat Tanjung Mulia Bersatu ini, berdasarkan keputusan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, sudah menetapkan ganti rugi dengan perincian 70 persen untuk masyarakat dan 30 persen pemilik SHM. Tetapi, sampai saat ini tidak terlaksana, karena masih terganjal masalah gugatan. Mereka dari masyarakat, tetap mendesak agar pemerintah mengeluarkan hak mereka 70 persen yang sudah ditetapkan, apabila ada proses gugatan yang kini berlangsung, silahkan Sultan Deli melakukan konsinyasi 30 persen di pengadilan.
“Apapun ceritanya, hak masyarakat 70 persen sudah ditetapkan. Itu harus diberikan, kalau memang ada gugatan, silahkan yang 30 persen itu. Jangan ganggu hak masyarakat, makanya kami terus mendesak menuntut hak kami yang sudah ditetapkan menetri pada November 2017 lalu,” tegasnya.
Dalam gugatan itu, kata Sahut, pihak pemerintah melalui BPN dan PUPR sedang lakukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Sumatera Utara, harapannya, penegak hukum dapat memutuskan yang tidak merugikan masyarakat. “Ini lagi proses banding. Kita juga sudah menyusun program, untuk melakukan unjuk rasa ke PT Sumut agar bijaksana mengeluarkan putusan. Apabila nanti proses banding berlangsung, kita akan meminta pemerintah agar memberikan ?hak masyarakat yang sudah ditetapkan,” sebut Sahut.
Dikatakan Sahut, sejak adanya kabar ganti rugi, banyak kalangan mafia yang muncul mengakui tanah di lahan ganti rugi tol, ini merupakan konspirasi mafia untuk mengambil keuntungan di lahan pemukiman warga yang sudah menetap selama ratusan tahun.
“Ini sangat aneh, kenapa di lahan bersebelahan dengan kami di kavlingan kejaksaan, bisa cepat dibayarkan. Padahal di lahan itu juga terjadi sengketa ganti rugi?, ini sudah banyak mafia yang mencoba ingin mengganggu hak masyarakat,” tandasnya. (man)