26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kinerja Bank Sumut Dinilai Buruk

Logo Bank Sumut
Logo Bank Sumut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tak hanya tersandung dugaan korupsi, kinerja Bank Sumut juga dinilai buruk. Seperti pendapat Ketua Dewan Etik Sumatera Corruption Watch (SCW) Prof Dr Hiras ML Tobing mensinyalir, pemilik dan pengurus Bank Sumut melanggar Good Corporate Governance (GCG). Ironisnya lagi, OJK malah tidak memberikan sanksi dan hanya melakukan pembiaran.

“Kalaupun ada upaya penanganan oleh OJK, hanya sekadarnya saja tanpa tindak lanjut dan sanksi yang tegas sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sehingga, pelanggaran GCG berlangsung terus-menerus tanpa terkendali yang berdampak pada penurunan kinerja Bank Sumut dua tahun terakhir,” katanya.

Pelanggaran GCG yang saat ini sedang terjadi di PT Bank Sumut adalah kekosongan jabatan Komisaris Utama sejak 1 Juli 2015 yang berhenti karena dianggap telah berakhir masa jabatannya.

“Berhentinya Komisaris Utama tersebut tanpa melalui keputusan RUPS dimana Pemegang Saham Pengendali (PSP) pada saat itu Gubsu nonaktif Gatot Pujo Nugroho tidak menunjuk penggantinya tanpa alasan jelas,” terang Hiras Tobing.

Dia mengatakan kekosongan jabatan Komisaris Utama di PT Bank Sumut mengakibatkan direksi tidak dapat menjalankan kebijakan strategis yang membutuhkan persetujuan Dewan Komisaris. “Kebijakan strategis antara lain persetujuan Rencana Bisnis Bank (RBB), perubahan struktur organisasi dan kebijakan hapus buku (write off), “ tambahnya.

“Kebijakan strategis direksi yang disetujui Dewan Komisaris dengan keanggotaan yang tidak lengkap tanpa adanya Komisaris Utama adalah cacat hukum dengan ancaman sanksi denda dan/atau pidana berdasarkan UU Perseroan Terbatas maupun UU Perbankan,” ungkapnya.

Dari sisi manajemen risiko perbankan, lanjut Guru Besar USU ini, kekosongan jabatan Komisaris Utama berpotensi menimbulkan risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis dan risiko kepatuhan bagi Bank Sumut sebagaimana tersirat dari PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Kekosongan jabatan tersebut juga, kata dia, memperburuk penilaian tingkat kesehatan Bank Sumut, terutama dalam penilaian terhadap manajemen bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Hal ini akan berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat dan investor yang membahayakan reputasi PT Bank Sumut sebagai perusahaan jasa keuangan dengan asset hampir Rp25 triliun, dimana Rp15 triliun di antaranya adalah dana masyarakat non-Pemda.

Hiras Tobing menjelaskan, terjadinya kekosongan jabatan Komisaris Utama sejak awal telah diketahui OJK, khususnya OJK Regional 5, karena pemegang saham maupun pihak bank tidak mengajukan perpanjangan maupun pengajuan calon pengganti untuk mendapat persetujuan OJK sebelum berakhirnya masa tugas jabatan Komisaris Utama tanggal 30 Juni 2015.

Dia menegaskan tidak satu pun peringatan tertulis dari OJK kepada pemegang saham maupun pengurus Bank Sumut tentang kemungkinan kosongnya posisi Komisaris Utama setelah berakhir masa tugas jabatannya. Demikian pula setelah terjadinya kekosongan jabatan tersebut sejak 1 juli 2015 hingga saat ini, tidak ada teguran, peringatan maupun sanksi dari OJK kepada pemegang saham maupun pengurus Bank Sumut yang sengaja melalaikan peraturan dan ketentuan perbankan tersebut.

”Tindakan OJK membiarkan terjadinya kekosongan jabatan Komisaris Utama tersebut membuktikan OJK terlibat memperburuk permasalahan GCG di PT Bank Sumut setelah selama 4 tahun sejak berakhirnya masa jabatan Direksi periode 2008-2012,” pungkasnya. (gus/ila)

Logo Bank Sumut
Logo Bank Sumut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tak hanya tersandung dugaan korupsi, kinerja Bank Sumut juga dinilai buruk. Seperti pendapat Ketua Dewan Etik Sumatera Corruption Watch (SCW) Prof Dr Hiras ML Tobing mensinyalir, pemilik dan pengurus Bank Sumut melanggar Good Corporate Governance (GCG). Ironisnya lagi, OJK malah tidak memberikan sanksi dan hanya melakukan pembiaran.

“Kalaupun ada upaya penanganan oleh OJK, hanya sekadarnya saja tanpa tindak lanjut dan sanksi yang tegas sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sehingga, pelanggaran GCG berlangsung terus-menerus tanpa terkendali yang berdampak pada penurunan kinerja Bank Sumut dua tahun terakhir,” katanya.

Pelanggaran GCG yang saat ini sedang terjadi di PT Bank Sumut adalah kekosongan jabatan Komisaris Utama sejak 1 Juli 2015 yang berhenti karena dianggap telah berakhir masa jabatannya.

“Berhentinya Komisaris Utama tersebut tanpa melalui keputusan RUPS dimana Pemegang Saham Pengendali (PSP) pada saat itu Gubsu nonaktif Gatot Pujo Nugroho tidak menunjuk penggantinya tanpa alasan jelas,” terang Hiras Tobing.

Dia mengatakan kekosongan jabatan Komisaris Utama di PT Bank Sumut mengakibatkan direksi tidak dapat menjalankan kebijakan strategis yang membutuhkan persetujuan Dewan Komisaris. “Kebijakan strategis antara lain persetujuan Rencana Bisnis Bank (RBB), perubahan struktur organisasi dan kebijakan hapus buku (write off), “ tambahnya.

“Kebijakan strategis direksi yang disetujui Dewan Komisaris dengan keanggotaan yang tidak lengkap tanpa adanya Komisaris Utama adalah cacat hukum dengan ancaman sanksi denda dan/atau pidana berdasarkan UU Perseroan Terbatas maupun UU Perbankan,” ungkapnya.

Dari sisi manajemen risiko perbankan, lanjut Guru Besar USU ini, kekosongan jabatan Komisaris Utama berpotensi menimbulkan risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis dan risiko kepatuhan bagi Bank Sumut sebagaimana tersirat dari PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Kekosongan jabatan tersebut juga, kata dia, memperburuk penilaian tingkat kesehatan Bank Sumut, terutama dalam penilaian terhadap manajemen bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Hal ini akan berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat dan investor yang membahayakan reputasi PT Bank Sumut sebagai perusahaan jasa keuangan dengan asset hampir Rp25 triliun, dimana Rp15 triliun di antaranya adalah dana masyarakat non-Pemda.

Hiras Tobing menjelaskan, terjadinya kekosongan jabatan Komisaris Utama sejak awal telah diketahui OJK, khususnya OJK Regional 5, karena pemegang saham maupun pihak bank tidak mengajukan perpanjangan maupun pengajuan calon pengganti untuk mendapat persetujuan OJK sebelum berakhirnya masa tugas jabatan Komisaris Utama tanggal 30 Juni 2015.

Dia menegaskan tidak satu pun peringatan tertulis dari OJK kepada pemegang saham maupun pengurus Bank Sumut tentang kemungkinan kosongnya posisi Komisaris Utama setelah berakhir masa tugas jabatannya. Demikian pula setelah terjadinya kekosongan jabatan tersebut sejak 1 juli 2015 hingga saat ini, tidak ada teguran, peringatan maupun sanksi dari OJK kepada pemegang saham maupun pengurus Bank Sumut yang sengaja melalaikan peraturan dan ketentuan perbankan tersebut.

”Tindakan OJK membiarkan terjadinya kekosongan jabatan Komisaris Utama tersebut membuktikan OJK terlibat memperburuk permasalahan GCG di PT Bank Sumut setelah selama 4 tahun sejak berakhirnya masa jabatan Direksi periode 2008-2012,” pungkasnya. (gus/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/