30 C
Medan
Saturday, September 7, 2024

Labanya Janggal, Laporan Keuangan Garuda Ditolak

TAKE OFF: Pesawat Garuda sedang take off dari bandara di London menuju Singapura.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dua komisaris mempermasalahkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Mereka menganggap janggal karena perolehan laba bersih Garuda berasal dari piutang yang dimasukkan ke pos pendapatan.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menilai bahwa hal itu sah-sah saja dilakukan. Jadi piutang itu berasal dari kontrak kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (on board WiFi) dan hiburan pesawat. Nilai kontrak yang ditandatangani Desember 2018 itu mencapai US$ 239,94 juta.

Rini menjelaskan bahwa yang dibukukan di laporan keuangan adalah nilai kontrak yang sudah jadi komitmen kedua belah pihak.

“Lah kan nggak apa-apa, sama saja kan seperti begini, kita kan bikin kontrak ini, orang ini yang punya Wi-Fi ini kan internasional. Jadi apa sih yang dibukukan, yang dibukukan itu kita punya kontrak,” kata Rini.

Dia menegas bahwa pendapatan piutang itu tidak dimasukkan ke dalam pendapatan operasional.

“Kan dikatakan betul-betul dan jelas dikatakan bahwa ini pendapatan lain-lain, jelas, bukan pendapatan operasional dari Garuda,” lanjutnya.

Dan lagi, dia mengatakan setelah pendapatan dari kontrak tersebut dimasukkan ke dalam laporan keuangan 2018 maka itu tidak akan dicatat lagi di laporan keuangan 2019 walaupun kontrak berjangka selama beberapa tahun.

Nantinya saat arus kas masuk dari kontrak yang dibayarkan ke Garuda tidak akan dicatat lagi ke laporan keuangan tahun-tahun berikutnya.

“Berarti kalau kita taruh di tahun 2018 kita nggak register lagi 2019 lho. Jadi (misalnya) yang 3 tahun ini sudah kita register di depan. Yang akan ada di 2019 adalah arus kasnya, nilainya,” tutup Rini.

Penolakan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) oleh dua komisaris dianggap sebagai hal yang wajar, apalagi jika ditemukan ada yang tak beres dalam penyajiannya. Sebagai perwakilan pemegang saham keputusan itu dipandang lumrah.

Pengamat dari Institute for Development of Economics (INDEF) Bima Yudhistira Adhinegara menilai keputusan tersebut sebagai hal yang wajar. Dia tidak sependapat jika hal itu dikaitkan dengan hal lain bahkan terkait politik.

“Garuda yang mengalami kerugian kemudian di 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan dan kalau didetilkan itu agak janggal. Kontrak yang belum ada cash-nya tapi sudah diakui sebagai pendapatan, dihitung sebagai laba. Maka wajar bagi komisaris untuk mempertanyakan,” ujarnya.

Menurut Bima, komisaris dengan perannya sebagai pengawas perusahaan tentunya harus mempertanyakan segala hal dibalik urusan keuangan. Dalam hal ini, Bima membenarkan tindakan kedua komisaris itu.

Bima mengatakan, laporan keuangan GIAA janggal karena laba yang diperoleh pada tahun 2018 cukup signifikan. Menurut laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600.

“Kalau menurut saya isu politisnya itu pertama terletak pada signifikansi Garuda yg mengalami kerugian. Kemudian di tahun 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan. Dan kalau dirincikan itu agak janggal,” tutur Bima.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GIAA yang digelar pada 24 Januari 2019, manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal, uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Dalam artian, kontrak yang belum ada pemasukannya sudah diakui sebagai pendapatan atau laba.

Selain itu, Bima juga menuturkan bahwa keuntungan Garuda Indonesia tersebut tentunya mewajibkan perusahaan itu untuk membayar pajak lebih besar.

“Konsekuensi nya kan Garuda harus membayar pajak lebih mahal. Kalau rugi kan Garuda nggak bayar Pajak penghasilan (Pph),” tutupnya. (dtc/ram)

TAKE OFF: Pesawat Garuda sedang take off dari bandara di London menuju Singapura.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dua komisaris mempermasalahkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Mereka menganggap janggal karena perolehan laba bersih Garuda berasal dari piutang yang dimasukkan ke pos pendapatan.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menilai bahwa hal itu sah-sah saja dilakukan. Jadi piutang itu berasal dari kontrak kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (on board WiFi) dan hiburan pesawat. Nilai kontrak yang ditandatangani Desember 2018 itu mencapai US$ 239,94 juta.

Rini menjelaskan bahwa yang dibukukan di laporan keuangan adalah nilai kontrak yang sudah jadi komitmen kedua belah pihak.

“Lah kan nggak apa-apa, sama saja kan seperti begini, kita kan bikin kontrak ini, orang ini yang punya Wi-Fi ini kan internasional. Jadi apa sih yang dibukukan, yang dibukukan itu kita punya kontrak,” kata Rini.

Dia menegas bahwa pendapatan piutang itu tidak dimasukkan ke dalam pendapatan operasional.

“Kan dikatakan betul-betul dan jelas dikatakan bahwa ini pendapatan lain-lain, jelas, bukan pendapatan operasional dari Garuda,” lanjutnya.

Dan lagi, dia mengatakan setelah pendapatan dari kontrak tersebut dimasukkan ke dalam laporan keuangan 2018 maka itu tidak akan dicatat lagi di laporan keuangan 2019 walaupun kontrak berjangka selama beberapa tahun.

Nantinya saat arus kas masuk dari kontrak yang dibayarkan ke Garuda tidak akan dicatat lagi ke laporan keuangan tahun-tahun berikutnya.

“Berarti kalau kita taruh di tahun 2018 kita nggak register lagi 2019 lho. Jadi (misalnya) yang 3 tahun ini sudah kita register di depan. Yang akan ada di 2019 adalah arus kasnya, nilainya,” tutup Rini.

Penolakan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) oleh dua komisaris dianggap sebagai hal yang wajar, apalagi jika ditemukan ada yang tak beres dalam penyajiannya. Sebagai perwakilan pemegang saham keputusan itu dipandang lumrah.

Pengamat dari Institute for Development of Economics (INDEF) Bima Yudhistira Adhinegara menilai keputusan tersebut sebagai hal yang wajar. Dia tidak sependapat jika hal itu dikaitkan dengan hal lain bahkan terkait politik.

“Garuda yang mengalami kerugian kemudian di 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan dan kalau didetilkan itu agak janggal. Kontrak yang belum ada cash-nya tapi sudah diakui sebagai pendapatan, dihitung sebagai laba. Maka wajar bagi komisaris untuk mempertanyakan,” ujarnya.

Menurut Bima, komisaris dengan perannya sebagai pengawas perusahaan tentunya harus mempertanyakan segala hal dibalik urusan keuangan. Dalam hal ini, Bima membenarkan tindakan kedua komisaris itu.

Bima mengatakan, laporan keuangan GIAA janggal karena laba yang diperoleh pada tahun 2018 cukup signifikan. Menurut laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Padahal di kuartal III-2018 Garuda Indonesia masih mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau atau Rp 1,66 triliun jika dikalikan kurs saat itu sekitar Rp 14.600.

“Kalau menurut saya isu politisnya itu pertama terletak pada signifikansi Garuda yg mengalami kerugian. Kemudian di tahun 2018 tiba-tiba mengalami keuntungan. Labanya itu cukup signifikan. Dan kalau dirincikan itu agak janggal,” tutur Bima.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GIAA yang digelar pada 24 Januari 2019, manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal, uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Dalam artian, kontrak yang belum ada pemasukannya sudah diakui sebagai pendapatan atau laba.

Selain itu, Bima juga menuturkan bahwa keuntungan Garuda Indonesia tersebut tentunya mewajibkan perusahaan itu untuk membayar pajak lebih besar.

“Konsekuensi nya kan Garuda harus membayar pajak lebih mahal. Kalau rugi kan Garuda nggak bayar Pajak penghasilan (Pph),” tutupnya. (dtc/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/