Tak lulus pendidikan formal SMP karena faktor ekonomi, bukan berarti dunia Kadiruddin jadi gelap. Ia banting setir jadi penjual sepatu sembari belajar membuat ‘si alas kaki’. Tiga tahun berikutnya, ia sudah menerima pesanan sepatu kulit untuk berbagai merek. Sempat bangkrut, kini ia memiliki merek sendiri yang sudah merambah masuk Transmart.
—Dame Ambarita, Medan—
“Rumah pengusaha sepatu? Oh, yang itu…,” tunjuk seorang pria paroh baya sambil menunjuk rumah bercat cokelat cerah di Jalan AR Hakim, Gang Langgar Lorong Bahagia, Medan, awal September baru lalu.
Meski terlihat lebih kokoh dibanding rumah di kanan kirinya, rumah itu seperti kediaman biasa. Tidak terlihat aktivitas usaha di sana. Pagar besinya tertutup. Pintu depan juga tertutup.
Setelah nomor kontak yang diperoleh dihubungi, pintu akhirnya terbuka. Tengku Fahlia Kurnia tersenyum dan menyuruh masuk. “Abang lagi mengurus barang. Sebentar lagi pulang,” sapanya sambil mempersilakan duduk.
Tak lama, seorang pria datang memanggul seikat kertas karton berwarna coklat. “Maaf, tadi menjemput kotak-kotak sepatu. Berbagi tugas,” cetusnya seraya memberi salam.
Usai berkenalan, Kadiruddin dengan ramah bercerita tentang usaha sepatu yang dikelolanya. “Nama usaha kami Empat Bersaudara Jaya. Kami bergerak di bidang sepatu. Saya sebagai pendisain sepatu, istri (Tengku Fahlia) bagian administrasi. Kakak ipar saya Tengku Syarifah dan suaminya Andi Oktobian sebagai marketing. Kami empat bersaudara,” tuturnya ramah.
Usaha sepatu itu bermula dari putusnya sekolah Kadiruddin kecil, karena faktor ekonomi. Sempat duduk di bangku kelas I SMP, pria kelahiran Padang ini keluar sekolah dan memilih ikut abangnya menjadi distributor sepatu di Medan. Berbagai macam merek sepatu mereka jual. “Kemudian saya disuruh abang bagian quality control sepatu-sepatu yang dijual. Tugas saya memeriksa ada cacat barang atau tidak,” tutur pria kelahiran tahun 1977 ini mengenang perjalanan hidupnya.
Sambil membantu abang berjualan sepatu, Kadir remaja belajar membuat sepatu secara hand made. Tampaknya ia berbakat. Buktinya di usia 15 tahun, ia sudah punya usaha sepatu kulit buatan sendiri. “Kecil-kecilan. Hasil belajar dari teman dan membaca buku,” katanya merendah.
Buku tentang sepatu yang dibacanya terbitan Italia, yang dibelinya belasan tahun lalu dari pasar buku loak di Titi Gantung, Medan. Bahasa di buku itu bahasa Italia. Ia sama sekali tak mengerti. Untungnya, banyak gambar, titik, dan skala cara membuat sepatu dalam buku itu. “Saya jiwai, saya praktekkan,” katanya membuka rahasia.
Kunci membuat sepatu agar nyaman dipakai, menurutnya, berada di master acuan yang ukuran dan skala titik-titiknya mesti presisi. “Lari 1 centi saja, kaki bisa terjepit atau terlalu longgar. Bagaimana cara membuat master acuan? Jiwai teknik membuat sepatu,” sebutnya seraya tersenyum.
Kebetulan ia menyukai dunia seni. Suka menggambar dan melukis. Dengan bakat itu pula ia merancang berbagai model sepatu. Diawali dengan meniru produk yang sudah ada. Lama-lama ia bisa merancang model sepatu yang muncul di benaknya. Atau menggambar model yang diinginkan orang lain. “Saya memang agak cepat menangkap keinginan orang,” katanya.
Kualitas sepatu buatannya ternyata menarik perhatian distributor. “Lama-kelamaan, pesanan bisa 1.000 pasang sepatu per bulan. Semua hand made,” cetusnya bangga.
Di usia remaja, ia sudah piawai mengenal bahan kulit. Kulit ikan, sapi, ular, biawak, kambing, buaya, dan sebagainya. “Kulit sapi paling saya sukai. Karena meski berkali-kali kena air dan panas, tetap tahan. Selain itu, harganya lebih terjangkau dan konsumen lebih suka,” katanya.
Tapi tak semua sepatu-sepatu itu buatan tangannya sendiri. Agar pesanan selesai target, ia memodali sejumlah temannya sesama pembuat sepatu, untuk ikut bekerja. Kemudian ia yang mendistribusikan. “Tapi saya yang menyediakan semua bahan bakunya,” kata pria berkulit cokelat gelap ini kalem.
Tahun 1992 sampai 1996, usahanya sempat jaya. Omzet mencapai Rp180 juta per bulan dengan distribusi seluruh Sumatera. Bahkan sebagian hingga Jakarta.
Tapi bak pameo ‘jatah gagal itu ada’, kesuksesannya menjadi pengusaha di usia relatif muda itu terbentur bencana tak terduga. Berturut-turut, sejumlah kebakaran pasar tradisional terjadi di Dumai, Padangsidimpuan, Pekanbaru, Pangkalan Kerinci, Jambi, Padang, Solok, dan Palembang.
“Banyak sekali pajak (pasar, Red) yang terbakar saat itu. Para pedagang yang barangnya ikut terbakar, tak bisa membayar utang. Mereka bangkrut, saya ikut bangkrut. Pemasok kulit menagih pembayaran. Saya terjepit. Saya hitung-hitung, kerugian saya hingga Rp800 juta. Saya sempat berurusan dengan polisi,” kenangnya.
Karena bukan berniat menipu, kasusnya tidak berlanjut. Namun ia agak patah arang dan memutuskan berhenti dari dunia sepatu.
Tahun 1996, ia merantau ke Riau. Namun merasa kurang sukses di sana. Empat tahun kemudian, persisnya tahun 2000, ia balik ke Medan. Ia bertekad kembali fokus di bisnis sepatu. “Saat itu saya melihat sandal cowok tiruan brand Italia sedang tren di pasar. Saya amati produknya. Saya pikir, kenapa mereka bisa membuatnya? Saya juga bisa,” katanya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung bertindak. Dengan modal awal Rp5 juta, ia mengontrak sebuah rumah kecil dengan dua kamar di Medan. Sendirian, ia bekerja memproduksi sandal cowok dan memasang brand KW Italia itu. Bahannya semi kulit. Meski hanya sendirian, ia mampu menyelesaikan 60 pasang sandal cowok per minggu.
Sandal itu dipasok ke grosir dengan harga Rp55 ribu per pasang. Ke konsumen, sandal dijual Rp120 ribu per pasang. Ternyata laris manis. “Awalnya, saya berniat ujicoba hanya 2 bulan. Eh, jadi keterusan,” katanya.
Pesanan mengalir. Sebagian distributor minta sepatu kulit asli. Ia pun merekrut tenaga kerja. Diajarinya bikin sepatu. “Kalau orangnya punya kemauan, membuat sepatu itu bisa dipelajari,” senyumnya
Dalam dua bulan, produksinya naik menjadi 200 pasang per minggu. Ia juga menerima pesanan sepatu untuk berbagai merek. “Merek asli terkenal salahsatunya La Perla,” katanya.
Selebihnya merek terkenal lain. “Fakta pasar, menjual brand KW lebih gampang. Soalnya jauh lebih murah dibanding merek aslinya yang berharga puluhan juta,” cetusnya.
Selain menerima model pesanan, ia banyak mendisain model sepatu. Baik untuk merek KW maupun merek asli. “Kalau di toko-toko Indonesia, hanya 25 persen brand yang asli. Biasanya harganya sangat tinggi. Kalau yang KW, meski bagus, asli kulit, dan strukturnya kuat, paling banter dijual Rp1,3 juta,” katanya.
Untuk merek asli seperti La Perla, ia kerap membuat contoh model dan mengirimnya ke pemilik merek di Jakarta. “Kalau dia suka, baru diproduksi. Karena membuat pesanan sepatu kulit itu modalnya tinggi. Biasanya pemodal besar yang kuat memesan. Soalnya pesanan satu model baru minimal 100 pasang,” sebutnya.
Dari Medan, merek La Perla yang diproduksinya didistribusikan ke seluruh Indenesia. “Banyak yang meniru model sepatu yang saya disain,” katanya tanpa maksud menyombong. Sepatu kulit buatannya kuat dan tahan. “Rata-rata tahan di atas 2 tahun,” katanya.
Kadir kemudian menunjukkan ruangan tempat pekerjanya sedang membuat sepatu. Di lantai atas, suasana industri rumahan sepatu langsung terlihat. Tiga pekerja tampak sibuk bekerja. Satu orang memasang merek sepatu. Dua lagi memasang tali-tali sepatu. Sementara puluhan pasang sepatu pria berjejer di lantai. Sebagian di rak.
Berbagai peralatan berserak di sekeliling mereka. Seperti material kulit, alat pewarna, brush, gunting, lem, dan sebagainya. “Mereka melakukan tahap finishing,” jelas Kadir.
Ia menuturkan, pekerjaan membuat sepatu dimulai dari mendisain model sepatu. Kemudian membuat norest dan stick/apper (bukaan sepatu). Lalu rajut, bawahan, dan terakhir finishing.
“Untuk membuat sepatu, dibutuhkan peralatan antara lain mesin jahit, mesin seset, master kayu/acuan ukuran sepatu, grenda tangan, jarum, lem, benang, mesin gerinda, kompressor, mesin cap, dan mesin press,” katanya. Sementara telapak sepatu, kotak, tali, label merek, semuanya dipesan dalam bentuk jadi.
Kadir berperan di bagian awal dan akhir. Yakni mendisain awal dan terakhir memasukkan sepatu ke kotak sebagai bagian quality control.
“Disain masternya biasa saya pahat dulu dari bahan kayu. Biasanya dari kayu mahoni dan laban. Kemudian, model master itu saya kirim ke sebuah pabrik model di Cengkareng Jakarta yang khusus memproduksi master. Nanti master berbahan fiber dikirim lagi ke saya,” katanya.
Ada tiga ukuran sepatu yang berlaku di dunia: Indonesia, Asia, dan internasional/Eropa. Ukuran internasional dimulai dari nomor 5 sampai 12. Asia dimulai dari ukuran 5, kemudian 5,5, hingga 9,5. Indonesia dimulai dari ukuran 21 hingga 46.
Setiap membuat master baru, Kadir biasanya memesan langsung satu lusin. Ukuran sepatu orang Indonesia. “Harga sebuah master jutaan. Untungnya, sebuah master bisa dipakai untuk berbagai model,” katanya.
Kepiawaiannya membuat sepatu membuatnya kerap diundang sebagai instruktur pelatihan oleh Dinas Perdagangan dan Industri Medan. Agar lebih ahli, tahun 2009 ia pernah dikirim untuk pemantapan membuat sepatu ke Sidoarjo di Pulau Jawa. Eh ternyata, dirinya lebih menguasai teknik membuat sepatu dibandingkan para pelatih. “Saya malah dijadikan narasumber di sana dan sempat dikasih plakat penghargaan,” cetusnya bangga, seraya menunjukkan plakat dimaksud.
Setelah belasan tahun bergelut di dunia sepatu, menurut Kadir, dirinya sudah menciptakan ribuan model. “Banyak yang meniru. Bahkan telapak model yang ini, saya yang ciptakan. Sekarang sudah banyak yang menirunya,” katanya sembari memamerkan sebuah telapak sepatu yang modelnya unik. Seperti balok-balok sawah membentuk sebuah motif.
Ide membuat model sepatu konon muncul saat dirinya mood. “Dalam seminggu, saya bisa saja menggambar tiga model sepatu baru. Tapi kadang tak ada ide dalam sebulan,” kekehnya.
Sepatu-sepatu produksinya banyak dipasok ke toko-toko di sejumlah mall, seperti Medan Plaza (sebelum terbakar), Thamrin Plaza, Deli Plaza (sebelum berubah menjadi apartemen), dan sebagainya. Sepatu buatannya jarang retur. “Saya menerapkan quality control yang ketat,” ungkapnya membuka rahasia.
Lama sebagai pembuat sepatu atas pesanan orang lain, tahun 2012 akhirnya ia memproduksi merek sendiri. Brandnya Cha Dear (plesetan Kadir). Untuk modal, ia meminjam ke bank Rp 30 juta. Tapi tidak cukup. “Soalnya bahan kulit itu mahal. Sementara kalau brand kita sendiri masuk pasar, sistemnya konsinyasi,” cetusnya.
Cita-citanya mengembangkan brand Cha Dear agar masuk ke mall, semakin hari semakin tebal. Ia ingin menjadi suplier sepatu Cha Dier di Transmart.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. “Tahun 2018 lalu, saat ikut sebuah pameran UMKM di Medan, saya mendengar ada bantuan CSR (Corporate Social Responsibility) dari Pertamina. Tanya punya tanya, saya dapat nomor kontak bagian CSR-nya,” ungkapnya.
Dari CSR Pertamina, ia mendapat pinjaman Rp 150 juta untuk modal usaha. Bunganya sangat kecil dengan sistem kredit yang ringan. Hasilnya, Cha Dear masuk Transmart Medan. “Kalau pergi ke Transmart, lihatlah Cha Dier. Itu merek sepatu saya,” katanya berbunga-bunga.
Setelah masuk Transmart Medan, ia bermimpi bisa mensuplai Cha Dier ke seluruh Transmart di Indonesia. “Tapi itu butuh modal miliaran rupiah. Karena sistemnya konsinyasi,” katanya.
Mengingat modal UD Bersaudara Jaya belum besar, saat ini brand Cha Dier ditargetkan untuk pasar menengah ke bawah. “Bahannya semi kulit. Di pasaran dijual Rp55 ribu sampai Rp100 ribu per pasang,” katanya.
Sambil mengembangkan brand sepatu Cha Dier, UD Bersaudara Jaya tetap memproduksi sepatu kulit pesanan La Perla dan merek-merek lainnya.
Saat ini, Kadir memiliki sekitar 25 pekerja. Setengah di antaranya tenaga lepas, yakni pekerja yang memberi motif atau menyulam sepatu. Para penyulam rumahan itu dibayar Rp7.500 per pasang sepatu. Mereka umumnya ibu-ibu. Benang dan jarum disediakan UD Bersaudara. “Jumlah gaji mereka ya tergantung jumlah sepatu yang disulam. Soal cari tenaga kerja, saya tidak ada kesulitan,” katanya.
Untuk memperkenalkan produksi sepatunya, Kadir rajin ikut pameran di dalam dan luar negeri. Tentu dengan dukungan Disperindag dan Pertamina. Lewat pameran, ia pernah mendapat pesanan dari India dan Malaysia. “Harga sih cocok. Tapi ternyata ongkos kirim dan pajak lebih mahal dari harga barang. Jadinya pikir-pikir,” keluhnya.
Dia berharap, Pertamina menambah pelatihan soal lika-liku pemasaran ke luar negeri, pembuatan sertifikat SNI, dan kalau bisa: menambah modal. “Dan satu lagi, kalau bisa Pertamina memesan sepatu produk kita untuk dipakai karyawannya,” harapnya.
Sembari memproduksi sepatu, Kadirudddin juga menjadi instruktur langganan Disperindag Medan untuk pembuatan sepatu, tali pinggang, dan tas kulit. Baginya, prinsip dalam berusaha: tidak merugikan dan dirugikan orang. “Orang bangga, saya puas,” katanya.
Di tengah kelesuan ekonomi saat ini, pesanan sepatunya ikut tersendat. Dulu pesanan brand La Perla bisa 1.500 sampai 2.000 pasang per bulan. “Sekarang sebulan paling banyak 1.000 pasang untuk semua merek. Pasar lagi sunyi,” ungkapnya.
Ia berharap pemerintah turun tangan mengontrol peredaran barang-barang dari Cina. “Disain mereka memang lebih cantik, tapi kualitasnya lebih rendah,” cetusnya.
Untuk menjaga kestabilan pasar, ia berharap pemerintah melindungi produksi dalam negeri. Kalau bisa, mewajibkan pegawai menggunakan produk daerah. “Banggalah dengan produk-produk lokal. Agar uang kita tidak terlempar ke luar,” katanya.
Kepada para calon pengusaha muda, ia berpesan agar berani menantang masalah dan berani berkorban. Tetapi tetap dengan perhitungan yang matang. “Dalam berbisnis, skill itu bisa menjadi modal awal. Tapi dalam mempertahankan bisnis, jujur itu penting. Kalau nggak jujur, nggak akan dipakai di mana-mana,” katanya.
Pertamina Tidak Bertujuan Profit
Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR I, Roby Hervindo mengatakan, prinsip Program Kemitraan (PK) Pertamina adalah membantu UMKM yang non-bankable. “Jadi membantu UMKM yang kesulitan akses permodalan melalui jalur institusi keuangan macam bank. Karena prinsip tersebut, maka persyaratan UMKM menerima bantuan PK nggak sulit. Cukup memenuhi kriteria sebagai UMKM (asset kurang dari Rp 500 juta, omzet setahun kurang dari Rp 2,5 miliar). Kemudian usaha milik sendiri, dan sudah berbisnis minimal 6 bulan,” katanya.
UMKM diketahui memberi kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) yang sangat signifikan, lebih dari 60 persen. Melalui PK, Pertamina berharap dapat mendukung pengembangan dan kemajuan UMKM Indonesia.
“Beda dengan institusi keuangan, Pertamina tidak bertujuan profit dalam menyalurkan modal bergulir melalui PK. Jasa administrasi sangat ringan, hanya 3 persen, yang ditetapkan pada mitra binaan, dikembalikan pada mereka dalam bentuk pelatihan dan pengembangan usaha,” jelasnya.
Selain akses dana bergulir dengan jasa administrasi yang super ringan, PK Pertamina juga memberikan pelatihan dan pengembangan usaha. “Misalnya, UD Bersaudara Jaya kami ikutkan dalam pameran Indonesia Creative Product Festival (ICPF) di Kuala Lumpur pada Mei lalu. Kemudian pameran Sail Nias 2019 yg baru berlalu. Ada juga mitra binaan petani cabai, yang mendapat pelatihan produk olahan cabai,” sebutnya.
Mengenai harapan UD Bersaudara Jaya, mendapat tambahan modal untuk pengembangan usahanya, menurut Roby, peluangnya ada. “Jika sudah menjadi mitra binaan melalui PK Pertamina, artinya masih ada kewajiban pengembalian dana bergulir. Tentunya UD Bersaudara Jaya mesti menuntaskan dulu kewajiban tsb. Jika sudah dilunasi, tentunya terbuka kemungkinan mendapat akses modal bergulir kembali,” ungkapnya.
Sedangkan mengenai pelatihan dan pengembangan usaha, menurutnya, telah menjadi program dalam PK Pertamina. “Salah satunya yang sedang kami jalankan adalah kegiatan bantuan pengurusan perijinan, kali ini untuk industri kuliner. Tentunya terbuka kesempatan untuk mitra binaan dari sektor lain, seperti UD Bersaudara Jaya, untuk mendapatkan pelatihan dan pengurusan izin,” jelasnya seraya tersenyum. (mea)