SUMUTPOS.CO – Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit anjlok ke titik terendah sejak tahun 2015. Dari harga normal Rp1.300 per kg, harga anjlok ke angka Rp780 per kg. Bahkan bagi petani yang kebunnya jauh dari jalan raya, TBS hanya dihargai agen Rp400 per kg.
Merasa rugi di ongkos, sejumlah petani sawit di Sumatera Utara memilih tidak panen. Mereka mem-biarkan buah berjatuhan dan membusuk di tanah.
SEJUMLAH petani yang mengelola perkebunan sawit mulai dari hitungan hektaran sampai rantaian di Kampung Panglong, Desa Sei Priok, Kecamatan Tebingtinggi, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), mengatakan hingga Kamis (29/11), harga penjualan TBS tinggal Rp780 per kgn
Padahal seminggu sebelumnya, masih Rp1.300 per kg.
“Saat ini, kebanyakan petani sawit saat ini membiarkan buah sawit matang di pohon hingga brodolan sawit jatuh ke tanah. Mengapa? Karena petani enggan memanen TBS karena harga penjualan tidak sebanding dengan biaya panen, pemupukan, dan perawatan kebun sawit,” kata Sarmun (60), petani sawit warga Desa Panglong, Serdang Bedagai.
Ia mengatakan, harga upah panen sawit hingga pelangsiran keluar sampai ke lokasi pengumpulan buah sawit saja, hampir mencapai Rp400 per kg. Hitung-hitungan petani sawit, hampir separuh dari harga jual TBS habis untuk menggaji pemanen dan ongkos langsir. “Bisa dibilang, saat ini petani merugi puluhan juta rupiah,” kata Sarmun.
Informasi yang diterima para petani dari agen, harga TBS sawit turun karena harga CPO dunia sedang turun. “Kata agen yang membeli TBS milik masyarakat, harga pembelian dari pabrik juga menurun, menyebabkan harga pembelian di lapangan ikut turun,”katanya.
Untuk itu, petani sawit berharap pemerintah campur tangan dengan harga TBS sawit. Karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding lagi dengan hasil. “Harga sawit petani murah, sedangkan harga pupuk terus merangkak naik. Itupun susah diperoleh,” ungkapnya.
Senada dengan Sarmun, Ketua Umum Samade (Sawitku Masa Depanku), Tolen Ketaren, kepada Sumut Pos, mengatakan, anjloknya harga TBS membuat petani sawit benar-benar hancur-hancuran.
“Kalau misalnya sawit dipanen, harga jualnya habis hanya untuk upah panen saja. Bagaimana lagi mau memupuk dan perawatan? Untuk makan saja susah. Sekarang, banyak petani yang tidak melakukan pemupukan lagi. Sudah pasti, kualitas dan kuantitas sawit menurun,” kata Ketaren.
Tanpa pemupukan, menurutnya kenaikan produktifitas TBS sawit seperti yang diharapkan pemerintah, akan sulit tercapai. Karena bagaimanapun bagusnya bibit, kalau sawit tidak dirawat, hasilnya pasti turun.
“Idealnya harga sawit minimal Rp850 per kg. Itupun masih untuk biaya perawatan dan pemupukan. Agar untuk petani bisa dapat uang sedikit, idealnya harga di atas Rp1.000 per kg. Saat ini saya pribadi menjual Rp670 ke pengepul. Ada yang Rp400 kalau jauh dari jalan raya, karena ada upah langsir ke titik pengumpulan,” lanjut Ketaren yang memiliki lahan sawit di Deliserdang ini.
Ditanya soal penghasilan dari satu hektar kebun sawit, Ketaren menjelaskan, jika harga TBS sawit di atas Rp1.000 per kg, petani memperoleh penghasilan kotor Rp1,5 juta per bulan. Namun dengan harga saat ini, petani hanya memperoleh penghasilan kotor kurang dari Rp1 juta per bulan.
“Untuk operasional, per satu hektar biasanya sekitar Rp700 ribu. Untuk upah panen saja sekitar Rp300 ribu. Dalam 1 bulan bisa 2 kali panen. Hitung sendirilah,” katanya.
Untuk pupuk subsidi, menurut pemerintah ada. “Namun kalau kita mencari, tidak dapat,” kata Ketaren.
Agen pembeli buah sawit, Wak Arun (56), yang dikonfirmasi mengatakan, harga jual di pabrik pengolahan buah sawit terus mengalami penurunan. Otomatis, harga pembelian ke tingkat petani juga mengalami penurunan.
“Hampir seminggu ini harga turun terus. Kita beli di petani Rp780 per kg. Terkadang kita juga rugi. Karena kita beli Rp780 di petani, keesokan buah sawit kita jual, eh… harganya sudah turun. Belum lagi biaya transportasi angkutan dan supir. Tapi karena kita sudah langganan terhadap petani sawit, buah sawit yang sudah dipanen itu terpaksa kita angkat juga,” keluhnya.
Asahan juga Mengeluh
Tak hanya petani di Serdang Bedagai dan di Deliserdang, petani sawit di Asahan juga mengeluhkan anjloknya harga TBS. Di Asahan, harga TBS di tingkat pengepul mencapai Rp900 per kilogram.
Salahsatu petani di Asahan, Ali, kepada Sumut Pos mengatakan, anjloknya harga TBS, membuat petani mulai kelabakaan mencukupi biaya kebutuhan hidup yang semakin meningkat. “Soalnya saya memiliki tiga anak, dan dua putra saya masih kuliah,” bilangnya.
Anto, petani sawit di Asahan, mengatakan, harga TBS sawit yang hanya Rp900 per kilogram, masih harus dipotong biaya panen sebesar Rp200 per kilogramnya. Otomatis, sisa penjualan yang diterima menurun. “Jika harga TBS terus turun, bagaimana nasib kami petani ini? Belum lagi biaya perawatan rutin seperti memupuk dan membabat. Sudah tidak terbayangkan lagi.
Saya harap bapak-bapak di pemerintah pusat memperhatikan nasib kami,” ujarnya.
Salahsatu pengepul TBS, Gunawan, mengatakan sekitar 2 minggu lalu mereka masih bisa menjual TBS di angka Rp1.200 per kilogram. Namun harga terus menurun hingga ke angka Rp900 per kilogram.
“Kami sesuaikan harga dengan pabrik. Per kilogram, pengepul hanya mengambil untung kurang lebih Rp100. Memang harga saat ini sangat memprihatikan,” ujar Gunawan.
Menyusul anjloknya harga TBS, sejumlah asosiasi petani sawit telah meminta pada Presiden Jokowi, agar Pungutan Eksport (PE) sawit dinolkan. Permintaan itu sudah dikabulkan. Namun kabarnya baru akan diberlakukan per 2 Desember 2018.
“Kemarin saat tender, saya lihat harga sawit sudah naik Rp200. Dengan nol pungutan ekspor, harga terdongkrak naik. Kita hitung-hitung, paling tidak akan naik Rp150 per kilogram. Kita harap, Pabrik Kelapa Sawit tidak bermain,” harap Sarmun, petani sawit warga Desa Panglong, Serdang Bedagai. (ian/ain/omi)