27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Hasil Ekspor Harus Disimpan di Bank Lokal Berlaku Efektif per 2 Januari

MEDAN- Bank Indonesia (BI) akan memberlakukan kewajiban agar eksportir menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa utang luar negeri (DULN) di bank nasional, pada 2 Januari mendatang. Bila ada eksportir yang melanggar kebijakan ini, akan dikenakan sanksi denda minimal Rp10 juta hingga pencabutan izin ekspor ke luar negeri.
Kebijakan itu disambut baik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut. Seperti yang disampaikan sekretarisnya, Laksamana Adyaksa, Apindo yang mendukung regulasi BI tersebut sekaligus meminta pemerintah menciptakan suasana perbankan yang kondusif dan kredibel.

Laksamana mengingatkan pemerintah tidak mengulangi kejadian saat krisis 1997-1998 lalu, dimana beberapa L/C (letter of credit) dari perbankan Indonesia tidak diterima di bank luar negeri. “Eksportir mengakui harus ada nasionalisme dengan menyimpan dana di bank nasional. Namun di sisi lain, kredibilitas bank nasional masih banyak yang diragukan dan bermasalah,” terangnya.

Sekali lagi, Laksamana Adyaksa berharap ada jaminan dari pemerintah dan BI tentang kesehatan bank nasional dan jaminan kepastian.

Laksamana juga mengungkapkan selama ini pengusaha ekspor dan impor lebih banyak memilih bank asing, lantaran bank-bank tersebut memiliki jaringan international yang kuat dan sehat. Bahkan, bank-bank asing ini juga ada di Indonesia.

“Dengan menggunakan jaringan perbankan asing ini, eksportir lebih mudah dalam bertransaksi. Karena, sistemnya lebih sederhana, biayanya lebih murah serta ada jaminan kepastian,” jelasnya.

Pernyataan senada juga diungkap Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), Sofyan Subang. Menurutnya, suku bunga yang lebih murah, serta kemungkinan ada eksportir yang meminjam uang di bank asing, membuat pengusaha tersebut harus menyimpan dan menerima dana di bank asing. Jika regulasinya sudah ditetapkan, mau tidak mau eksportir harus mengikuti peraturan tersebut. Namun, Sofyan mengharapkan agar peraturan ini, lebih disosialisasikan lagi kepada pengusaha. Lantaran menurutnya, harus ada transisi yang dilakukan pengusaha untuk mengalihkan dananya dari bank asing ke bank nasional.

Di sisi lain, Peneliti Ekonomi Muda Senior BI Medan Indra Kuspriyadi, mengungkapkan regulasi yang tercantum dalam Peraturan BI (PBI) No 13/20/PBI/2011 ini tidak menyulitkan. Pengusaha tidak harus mengkonversikan dananya ke rupiah. Kebijakan DHE ini menurutnya juga akan memudahkan lembaga perpajakan dalam mengawasi pajak para eksportir hingga kantor bea cukai. Sehingga kecurangan-kecurangan yang terjadi langsung bisa dideteksi.

Selain itu, sambungnya, kondisi perbankan di Indonesia, Sumut khususnya, sudah berbeda dari tahun 1997-1998. Perbankan Indonesia sudah kuat dan cukup agresif dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan tidak terpengaruh signifikan akan krisis Eropa dan Amerika Serikat yang sedang berlangsung.

“Bukti bahwa bank di local khususnya Sumut, sudah lebih baik dapat dilihat dari para investor yang banyak menanamkan sahamnya di Sumut,” ujar Indra.

Di Sumut sendiri, ada sekitar 25 bank devisa yang beroperasi, dan 4 diantaranya adalah bank plat merah seperti Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI. (ram)

MEDAN- Bank Indonesia (BI) akan memberlakukan kewajiban agar eksportir menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa utang luar negeri (DULN) di bank nasional, pada 2 Januari mendatang. Bila ada eksportir yang melanggar kebijakan ini, akan dikenakan sanksi denda minimal Rp10 juta hingga pencabutan izin ekspor ke luar negeri.
Kebijakan itu disambut baik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut. Seperti yang disampaikan sekretarisnya, Laksamana Adyaksa, Apindo yang mendukung regulasi BI tersebut sekaligus meminta pemerintah menciptakan suasana perbankan yang kondusif dan kredibel.

Laksamana mengingatkan pemerintah tidak mengulangi kejadian saat krisis 1997-1998 lalu, dimana beberapa L/C (letter of credit) dari perbankan Indonesia tidak diterima di bank luar negeri. “Eksportir mengakui harus ada nasionalisme dengan menyimpan dana di bank nasional. Namun di sisi lain, kredibilitas bank nasional masih banyak yang diragukan dan bermasalah,” terangnya.

Sekali lagi, Laksamana Adyaksa berharap ada jaminan dari pemerintah dan BI tentang kesehatan bank nasional dan jaminan kepastian.

Laksamana juga mengungkapkan selama ini pengusaha ekspor dan impor lebih banyak memilih bank asing, lantaran bank-bank tersebut memiliki jaringan international yang kuat dan sehat. Bahkan, bank-bank asing ini juga ada di Indonesia.

“Dengan menggunakan jaringan perbankan asing ini, eksportir lebih mudah dalam bertransaksi. Karena, sistemnya lebih sederhana, biayanya lebih murah serta ada jaminan kepastian,” jelasnya.

Pernyataan senada juga diungkap Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), Sofyan Subang. Menurutnya, suku bunga yang lebih murah, serta kemungkinan ada eksportir yang meminjam uang di bank asing, membuat pengusaha tersebut harus menyimpan dan menerima dana di bank asing. Jika regulasinya sudah ditetapkan, mau tidak mau eksportir harus mengikuti peraturan tersebut. Namun, Sofyan mengharapkan agar peraturan ini, lebih disosialisasikan lagi kepada pengusaha. Lantaran menurutnya, harus ada transisi yang dilakukan pengusaha untuk mengalihkan dananya dari bank asing ke bank nasional.

Di sisi lain, Peneliti Ekonomi Muda Senior BI Medan Indra Kuspriyadi, mengungkapkan regulasi yang tercantum dalam Peraturan BI (PBI) No 13/20/PBI/2011 ini tidak menyulitkan. Pengusaha tidak harus mengkonversikan dananya ke rupiah. Kebijakan DHE ini menurutnya juga akan memudahkan lembaga perpajakan dalam mengawasi pajak para eksportir hingga kantor bea cukai. Sehingga kecurangan-kecurangan yang terjadi langsung bisa dideteksi.

Selain itu, sambungnya, kondisi perbankan di Indonesia, Sumut khususnya, sudah berbeda dari tahun 1997-1998. Perbankan Indonesia sudah kuat dan cukup agresif dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan tidak terpengaruh signifikan akan krisis Eropa dan Amerika Serikat yang sedang berlangsung.

“Bukti bahwa bank di local khususnya Sumut, sudah lebih baik dapat dilihat dari para investor yang banyak menanamkan sahamnya di Sumut,” ujar Indra.

Di Sumut sendiri, ada sekitar 25 bank devisa yang beroperasi, dan 4 diantaranya adalah bank plat merah seperti Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/