32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Bisnis CDMA Terus Tertekan

Esia
Esia

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) masih bersusah payah untuk bangkit dari masa sulit. Perusahaan telekomunikasi di bawah Grup Bakrie itu tahun lalu masih menderita rugi bersih Rp 2,64 triliun. Kerugian tersebut berkurang setelah melakukan berbagai langkah efisiensi.

Dalam laporan keuangan 2013, operator CDMA dengan brand Esia itu mencatat pendapatan Rp 2,43 triliun atau turun 18 persen dibanding Rp 2,97 triliun pada 2012. Pendapatan usaha bersih Rp 2,07 triliun juga drop 12,2 persen ketimbang 2012.

Namun, penurunan pendapatan berhasil diimbangi langkah efisiensi pada sejumlah pos. Dengan begitu, total beban usaha berkurang 27,9 persen menjadi Rp 2,06 triliun dibanding Rp 2,86 triliun pada 2012.

Namun, upaya itu sedikit terhambat karena rugi selisih kurs yang melonjak 507 persen menjadi Rp 1,88 triliun dibanding Rp 310,17 miliar pada 2012. Akibatnya, sepanjang tahun lalu emiten dengan kode perdagangan BTEL tersebut mencatat rugi bersih Rp 2,64 triliun.

Meski begitu, kerugian sebesar itu berkurang 19,5 persen dibanding Rp 3,138 triliun pada 2012. Rugi per saham dasar tercatat Rp 86,50 dibanding Rp 107,13 pada 2012. Pada akhir pekan lalu harga saham BTEL masih bersandar di level terendah Rp 50 per lembar. Harga tersebut belum pernah berubah sejak akhir 2012.

Head of Research PT Trust Securities Reza Priyambada menyatakan, harga saham BTEL akan membaik bila kinerja perusahaannya juga meningkat. “Bisnis CDMA sebenarnya belum sepenuhnya ditinggal pasar. Masih bisa digali potensinya,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Karena itu, lanjut dia, yang dibutuhkan adalah inovasi dan kreativitas BTEL untuk terus membangkitkan kembali bisnis tersebut. Bila dilihat secara umum dan dihadapkan dengan perusahaan operator lain yang berbasis GSM, persaingan di industri telekomunikasi memang sangat ketat.

Namun, jika dipisahkan sebagai pemain di jaringan CDMA itu, tambah dia, ada celah bagi BTEL untuk memperbaiki posisi. Sebab, operator lain terutama Indosat dan Telkom mulai meninggalkan CDMA. Jadi, ada keleluasaan bagi BTEL yang masih setia di bisnis CDMA. “Harus banyak inovasi dari sisi layanan jaringan hingga ragam gadgetnya. Walaupun terkait frekuensinya, mereka harus konsultasi dengan regulator, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ucapnya.

Beratnya menjadi operator CDMA juga dirasakan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN). Tidak berbeda dengan BTEL, perusahaan yang dikendalikan kelompok Sinarmas melalui PT Wahana Inti Nusantara tersebut juga mencatat rugi bersih Rp 2,53 triliun sepanjang 2013. Angka itu meningkat 62,1 persen dibanding rugi Rp 1,56 triliun pada 2012.

Padahal, pendapatan usaha emiten dengan kode perdagangan FREN tersebut tercatat naik 47,5 persen dari Rp 1,64 triliun pada 2012 menjadi Rp 2,42 triliun. Jumlah beban usaha tercatat naik menjadi Rp 4,03 triliun atau 24 persen dari Rp 3,25 triliun pada 2012. Akibatnya, rugi usaha naik 0,6 persen menjadi Rp 1,61 triliun dibanding sebelumnya Rp 1,60 triliun. (gen/c18/oki)

Esia
Esia

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) masih bersusah payah untuk bangkit dari masa sulit. Perusahaan telekomunikasi di bawah Grup Bakrie itu tahun lalu masih menderita rugi bersih Rp 2,64 triliun. Kerugian tersebut berkurang setelah melakukan berbagai langkah efisiensi.

Dalam laporan keuangan 2013, operator CDMA dengan brand Esia itu mencatat pendapatan Rp 2,43 triliun atau turun 18 persen dibanding Rp 2,97 triliun pada 2012. Pendapatan usaha bersih Rp 2,07 triliun juga drop 12,2 persen ketimbang 2012.

Namun, penurunan pendapatan berhasil diimbangi langkah efisiensi pada sejumlah pos. Dengan begitu, total beban usaha berkurang 27,9 persen menjadi Rp 2,06 triliun dibanding Rp 2,86 triliun pada 2012.

Namun, upaya itu sedikit terhambat karena rugi selisih kurs yang melonjak 507 persen menjadi Rp 1,88 triliun dibanding Rp 310,17 miliar pada 2012. Akibatnya, sepanjang tahun lalu emiten dengan kode perdagangan BTEL tersebut mencatat rugi bersih Rp 2,64 triliun.

Meski begitu, kerugian sebesar itu berkurang 19,5 persen dibanding Rp 3,138 triliun pada 2012. Rugi per saham dasar tercatat Rp 86,50 dibanding Rp 107,13 pada 2012. Pada akhir pekan lalu harga saham BTEL masih bersandar di level terendah Rp 50 per lembar. Harga tersebut belum pernah berubah sejak akhir 2012.

Head of Research PT Trust Securities Reza Priyambada menyatakan, harga saham BTEL akan membaik bila kinerja perusahaannya juga meningkat. “Bisnis CDMA sebenarnya belum sepenuhnya ditinggal pasar. Masih bisa digali potensinya,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Karena itu, lanjut dia, yang dibutuhkan adalah inovasi dan kreativitas BTEL untuk terus membangkitkan kembali bisnis tersebut. Bila dilihat secara umum dan dihadapkan dengan perusahaan operator lain yang berbasis GSM, persaingan di industri telekomunikasi memang sangat ketat.

Namun, jika dipisahkan sebagai pemain di jaringan CDMA itu, tambah dia, ada celah bagi BTEL untuk memperbaiki posisi. Sebab, operator lain terutama Indosat dan Telkom mulai meninggalkan CDMA. Jadi, ada keleluasaan bagi BTEL yang masih setia di bisnis CDMA. “Harus banyak inovasi dari sisi layanan jaringan hingga ragam gadgetnya. Walaupun terkait frekuensinya, mereka harus konsultasi dengan regulator, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ucapnya.

Beratnya menjadi operator CDMA juga dirasakan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN). Tidak berbeda dengan BTEL, perusahaan yang dikendalikan kelompok Sinarmas melalui PT Wahana Inti Nusantara tersebut juga mencatat rugi bersih Rp 2,53 triliun sepanjang 2013. Angka itu meningkat 62,1 persen dibanding rugi Rp 1,56 triliun pada 2012.

Padahal, pendapatan usaha emiten dengan kode perdagangan FREN tersebut tercatat naik 47,5 persen dari Rp 1,64 triliun pada 2012 menjadi Rp 2,42 triliun. Jumlah beban usaha tercatat naik menjadi Rp 4,03 triliun atau 24 persen dari Rp 3,25 triliun pada 2012. Akibatnya, rugi usaha naik 0,6 persen menjadi Rp 1,61 triliun dibanding sebelumnya Rp 1,60 triliun. (gen/c18/oki)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/