25 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Terbiasa Ditinggal Suami

Memiliki suami yang punya segudang aktivitas, membuat Staf Pengajar USU Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Ilmu Komunikasi Dra Mazdalifah MSi terbiasa ditinggal suami ke luar kota.
Bahkan sejak menikah, ditinggal suami untuk bertugas sudah menjadi makanan sehari-harinya. Konsekuensi itu diterimanya dengan lapang dada, mengingat sejak beriklar menjadi suami istri, mereka sudah berkomitmen soal itu.

Bersuamikan Hendri Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dan General Koordinator Lavia Champisina (NGO yang bergerak dalam bidang kesejahteraan petani) merupakan kebanggaan besar baginya. Makanya, ketika suami sering berpergian ke luar kota, ia sangat paham betul dengan kesibukan dan aktivitas suaminya. “Selama 20 tahun pernikahan kami, tidak pernah kami tinggal dalam satu kota,” tutur Dra Mazdalifah MSi.

Dirinya menyadari, pernikahan harus menerima kekurangan dan kelebihan pasangan. Karena itu dirinya terus berusaha sabar akan semua hal yang dihadapainya. “Untungnya saya diberikan rasa sabar,” kata wanita yang gemar berinovasi dalam menu masakannya.

Dirinya bercerita, pada akhir tahun 1990-an, sang suami yang selalu berpindah-pindah tempat tugas akhirnya ditempatkan di  Kota Medan. Tapi apa daya, pada tahun yang sama dirinya juga sedang mengenyam pendidikan S2 di IPB. “Pada akhirnya kami kembali harus berpisah tempat tinggal. Saya bertemu suami hanya Jumat malam, Sabtu dan Minggu pagi. Sisa waktu lainnya hanya saya bersama anak-anak,” kata dia.

Meski tak dipungkiri, sebagai wanita dan istri, ia terkadang merasa kesepian tanpa kehadiran suami yang bisa menemaninya sehari-hari. “Saat tahun 2000-an, saya mengandung anak ke 3 kami. Waktu memasuki bulan ke-8 kandungan saya, anak dalam perut meninggal. Di saat itu saya benar-benar sangat membutuhkan suami, walaupun beliau akhirnya datang keesokan harinya. Kehadiran suami memang mampu memberikan spirit dalam hidup saya,” tuturnya.

Pada kenyataannya, kata dia, baik dirinya dan suami sama-sama membangun kekuatan untuk tabah dan bersabar menghadapi kenyataan kalau harus berjarak jauh. “Ini menguatkan kami bahwa saya dan suami tidak perlu terlalu sedih, tak perlu mendramatisir kondisi yang ada. Saya jadi harus sabar jauh dari suami , begitu juga suami,” akunya.

Dengan pemikiran tersebut, Mazdalifah memberikan penuh kepercayaannya pada sang suami. Iapun tetap melakukan tugasnya sebagai  isteri dengan menjaga dan membesarkan anak hingga berhasil. “Berhasil  bukan berarti berpenghasilan tinggi, melainkan si anak memiliki ilmu, kepribadian yang baik dan mampu berguna bagi masyarakat,” harapnya.

Bagi wanita kelahiran Madiun, 3 Juli 1965 silam ini, jauh dari suami bukan berarti masalah besar. Apalagi, keluarga besar yang ada di sekitarnya ikut mendukungnya dalam membangun keluarga kecilnya. “Wanita karier identik dengan mandiri dan saya menjadi wanita mandiri. Tapi semandiri apapun saya, tidak akan berhasil bila tanpa dukungan keluarga dan suami,” bilangnya.

Dirinya juga ikut mendukung suami, termasuk dalam mengapresiasikan penampilannya. Sebab, posisi suami sebagi ketua dalam organisasi petani, mengharuskan dirinya tampil sederhana, seperti penampilan keluarga petani lainnya. “Kebetulan juga saya tidak suka tampil mewah, saya suka kesederhanaan,” jelasnya.

Selain dalam penampilan, salah satu yang dijaganya adalah sikap dalam pergaulan. Sebab, dirinya menyadari ia dikenal sebagai seorang isteri Hendri Saragih, Ketum Serikat Petani Indonesia. Tapi, kebanggan atas nama suami tidak membuat dirinya terlena, sehingga melupakan potensi yang ada pada dirinya.

Dirinya terus belajar dan mengembangkan kariernya. Bahkan untuk saat ini, ibu dari Izza Dienillah Saragih dan Muzzahid Widian Saragih ini sedang menempuh S3 di Universitas Sains Malaysia di Penang. “Ibu rumah tangga juga harus mampu mandiri. Tuntutlah ilmu seluas mungkin tanpa batas usia,” kata dia.

Untuk tampil menjadi sosok perempuan mandiri memang sudah ditanamkan Mazdalifah sejak masih di bangku SMA. Ia menyadari memiliki potensi yang mampu menganalisa masalah. Makanya tak salah kalau potensi kemampuan menganalisa itulah menghantarkan Mazdalifah menjadi seorang Dosen di Fakultas Fisip USU.

Dengan aktivitas yang ada, Mazdalifah menyadari dirinya tak hanya berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya, tapi juga menjadi ayah pengganti semantara di dalam keluarganya. Makanya ia tak mau terlalu padat mengambil aktivitas lain selain mengajar sebagai dosen. “Saya menyadari anak-anak saya tidak mendapatkan figur ayah sebanyak anak lain. Karena itu saya juga tidak ingin anak-anak kehilangan figur ibu karena kesibukan saya,” ujarnya.

Hal ini membuatnya menjadi lebih protektif kepada buah hatinya. Bahkan dalam mengurus anak ditangani sendiri olehnya. “Saya seorang pendidik, kenapa anak saya harus didik oleh orang lain?” pungkasnya. (juli ramadhani rambe)

Memiliki suami yang punya segudang aktivitas, membuat Staf Pengajar USU Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Ilmu Komunikasi Dra Mazdalifah MSi terbiasa ditinggal suami ke luar kota.
Bahkan sejak menikah, ditinggal suami untuk bertugas sudah menjadi makanan sehari-harinya. Konsekuensi itu diterimanya dengan lapang dada, mengingat sejak beriklar menjadi suami istri, mereka sudah berkomitmen soal itu.

Bersuamikan Hendri Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dan General Koordinator Lavia Champisina (NGO yang bergerak dalam bidang kesejahteraan petani) merupakan kebanggaan besar baginya. Makanya, ketika suami sering berpergian ke luar kota, ia sangat paham betul dengan kesibukan dan aktivitas suaminya. “Selama 20 tahun pernikahan kami, tidak pernah kami tinggal dalam satu kota,” tutur Dra Mazdalifah MSi.

Dirinya menyadari, pernikahan harus menerima kekurangan dan kelebihan pasangan. Karena itu dirinya terus berusaha sabar akan semua hal yang dihadapainya. “Untungnya saya diberikan rasa sabar,” kata wanita yang gemar berinovasi dalam menu masakannya.

Dirinya bercerita, pada akhir tahun 1990-an, sang suami yang selalu berpindah-pindah tempat tugas akhirnya ditempatkan di  Kota Medan. Tapi apa daya, pada tahun yang sama dirinya juga sedang mengenyam pendidikan S2 di IPB. “Pada akhirnya kami kembali harus berpisah tempat tinggal. Saya bertemu suami hanya Jumat malam, Sabtu dan Minggu pagi. Sisa waktu lainnya hanya saya bersama anak-anak,” kata dia.

Meski tak dipungkiri, sebagai wanita dan istri, ia terkadang merasa kesepian tanpa kehadiran suami yang bisa menemaninya sehari-hari. “Saat tahun 2000-an, saya mengandung anak ke 3 kami. Waktu memasuki bulan ke-8 kandungan saya, anak dalam perut meninggal. Di saat itu saya benar-benar sangat membutuhkan suami, walaupun beliau akhirnya datang keesokan harinya. Kehadiran suami memang mampu memberikan spirit dalam hidup saya,” tuturnya.

Pada kenyataannya, kata dia, baik dirinya dan suami sama-sama membangun kekuatan untuk tabah dan bersabar menghadapi kenyataan kalau harus berjarak jauh. “Ini menguatkan kami bahwa saya dan suami tidak perlu terlalu sedih, tak perlu mendramatisir kondisi yang ada. Saya jadi harus sabar jauh dari suami , begitu juga suami,” akunya.

Dengan pemikiran tersebut, Mazdalifah memberikan penuh kepercayaannya pada sang suami. Iapun tetap melakukan tugasnya sebagai  isteri dengan menjaga dan membesarkan anak hingga berhasil. “Berhasil  bukan berarti berpenghasilan tinggi, melainkan si anak memiliki ilmu, kepribadian yang baik dan mampu berguna bagi masyarakat,” harapnya.

Bagi wanita kelahiran Madiun, 3 Juli 1965 silam ini, jauh dari suami bukan berarti masalah besar. Apalagi, keluarga besar yang ada di sekitarnya ikut mendukungnya dalam membangun keluarga kecilnya. “Wanita karier identik dengan mandiri dan saya menjadi wanita mandiri. Tapi semandiri apapun saya, tidak akan berhasil bila tanpa dukungan keluarga dan suami,” bilangnya.

Dirinya juga ikut mendukung suami, termasuk dalam mengapresiasikan penampilannya. Sebab, posisi suami sebagi ketua dalam organisasi petani, mengharuskan dirinya tampil sederhana, seperti penampilan keluarga petani lainnya. “Kebetulan juga saya tidak suka tampil mewah, saya suka kesederhanaan,” jelasnya.

Selain dalam penampilan, salah satu yang dijaganya adalah sikap dalam pergaulan. Sebab, dirinya menyadari ia dikenal sebagai seorang isteri Hendri Saragih, Ketum Serikat Petani Indonesia. Tapi, kebanggan atas nama suami tidak membuat dirinya terlena, sehingga melupakan potensi yang ada pada dirinya.

Dirinya terus belajar dan mengembangkan kariernya. Bahkan untuk saat ini, ibu dari Izza Dienillah Saragih dan Muzzahid Widian Saragih ini sedang menempuh S3 di Universitas Sains Malaysia di Penang. “Ibu rumah tangga juga harus mampu mandiri. Tuntutlah ilmu seluas mungkin tanpa batas usia,” kata dia.

Untuk tampil menjadi sosok perempuan mandiri memang sudah ditanamkan Mazdalifah sejak masih di bangku SMA. Ia menyadari memiliki potensi yang mampu menganalisa masalah. Makanya tak salah kalau potensi kemampuan menganalisa itulah menghantarkan Mazdalifah menjadi seorang Dosen di Fakultas Fisip USU.

Dengan aktivitas yang ada, Mazdalifah menyadari dirinya tak hanya berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya, tapi juga menjadi ayah pengganti semantara di dalam keluarganya. Makanya ia tak mau terlalu padat mengambil aktivitas lain selain mengajar sebagai dosen. “Saya menyadari anak-anak saya tidak mendapatkan figur ayah sebanyak anak lain. Karena itu saya juga tidak ingin anak-anak kehilangan figur ibu karena kesibukan saya,” ujarnya.

Hal ini membuatnya menjadi lebih protektif kepada buah hatinya. Bahkan dalam mengurus anak ditangani sendiri olehnya. “Saya seorang pendidik, kenapa anak saya harus didik oleh orang lain?” pungkasnya. (juli ramadhani rambe)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/