29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

3 Dampak Buruk Pernikahan Dini

Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).

“Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak,” ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, dalam siaran persnya.

Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan hukum.

Adapaun dampak pernikahan dini bagi anak perempuan:

1. Rentan KDRT

Menurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.

2. Risiko meninggal

Selain tingginya angka KDRT, juga berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.

3. Terputusnya akses pendidikan

Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin.
Country Director Plan Indonesia John McDonough menyatakan keprihatinannya terhadap angka pernikahan dini di Indonesia. Menurutnya, pemberdayaan anak perempuan bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur ini. (ila/net)

Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).

“Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak,” ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, dalam siaran persnya.

Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan hukum.

Adapaun dampak pernikahan dini bagi anak perempuan:

1. Rentan KDRT

Menurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.

2. Risiko meninggal

Selain tingginya angka KDRT, juga berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.

3. Terputusnya akses pendidikan

Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin.
Country Director Plan Indonesia John McDonough menyatakan keprihatinannya terhadap angka pernikahan dini di Indonesia. Menurutnya, pemberdayaan anak perempuan bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur ini. (ila/net)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/