30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Demi Kesembuhan Anak

Ibu mana yang tak miris bila mengetahui  anaknya menderita penyakit Autis. Tapi, hanya meratapi nasib dan saling menyalahkan bukan solusi tepat untuk penyebuhan anak Autis. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan jika ingin sang anak sembuh dari penyakitnya.

Begitulah yang dilakukan Dra Julina Siregar, Pendiri Pondok Peduli Autis (PPA) ini. Jika awalnya ia nyaris frustasi dengan kesembuhan anaknya yang menderita Autis, kini tidak lagi. Ia kini lebih telaten dan sabar membimbing putranya yang  menderita Autis.

“Waktu saya mengetahui anak saya menderita Autis, saya sempat down. Apalagi, anak pertama saya yang Autis itu adalah anak yang saya tunggu-tunggu karena tiga tahun pernikahan, saya baru dikarunia anak. Tapi inilah kehendak Tuhan, tak perlu menyesali atau saling menyalahkan, tapi harus semangat untuk memberikan kesembuhan demi anak yang saya sayangi,” ujar wanita kelahiran 2 September 1969 ini.

Autisme adalah suatu gangguan yang ditandai oleh melemahnya kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara. Autisme sering disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Istri dari seorang polisi ini bercerita, ia mulai curiga anaknya berkelakuan aneh saat menginjak usia 2 tahun pada tahun 2002. Saat itu, ia merasa anaknya kelihatan berbeda dengan anak lain.

“Anak saya lambat bicara, liar, sering memukul-mukul telinganya sendiri, berputar-putar dan tertawa sendiri, kalau melihat dengan sudut mata berbeda. Apalagi anak saya melek terus tak pernah tidur, buang airnya berkali-kali. Saya bawa ke beberapa dokter, malah dokter bilang anak saya hiper aktif dan tak ada gangguan. Ternyata banyak dokter yang tak memahami gejala Autis anak,” ujarnya bercerita.

Justru, lanjutnya, ia baru menyadari anaknya Autis saat menonton talk show acara kesehatan di stasiun TV yang memaparkan gejala Autis sama seperti yang diderita anaknya. Dari situlah ia lalu membuka pikiran dengan ikut seminar Autis hingga ke luar kota.

“Lalu saya bertemu Ketua Autis Jakarta saat menggelar seminar Autis di Medan. Dialah yang meyakinkan saya kalau anak saya benar-benar menderita Autis. Sayapun semakin rajin ikut seminar untuk kesembuhan anak saya dan banyak membaca buku,” tambahnya.

Banyak ikut seminar dan membaca buku tentang Autis, membuat pengetahuannya semakin luas. Hal itu pulalah yang mendasari Julina mendirikan Pondok Peduli Autis (PPA) pada 6 Juli 2009 lalu di Jalan Bilal Ujung Krakatau, Gang Mesjid Al Ridha Medan.

“Saya dirikan PPA karena ingin membantu penderita Autis. Sebab, dari pengalaman saya sendiri, anak-anak yang dibawa berobat ke dokter yang bukan ahlinya justru memperparahkeadaan karena banyak dokter  yang belum paham dengan Autis,  sehingga merekomondasi obat yang membuat anak Autis semakin menderita berat,” kata dia.
Ibu dari dua anak ini bilang, anak penderita Autis itu umumnya mendapat gangguan pencernaan sehingga sampai ke metabolisme tubuh. Gangguan metabolisme tubuh ini dicetuskan dari makanan yang tidak boleh dikonsumsi anak Autis.

“Ada makanan yang tidak boleh dicerna anak Autis. Contoh makanan berbahan tepung terigu atau susu sapi. Sebab, makanan ini secara biokimiawi ikatannya rumit dibanding makanan lain sehingga sulit dicerna,” bilangnya.

Tak hanya makanan, lanjutnya, ada juga obat demam parasetamol yang tak bisa diberikan kepada anak Autis. Sebab, kandungan asam silat dan fenol pada obat tersebut tinggi. Sedangkan anak Autis sendiri memang sudah ada gangguan fenol yang terlihat pada sudut matanya yang menghitam.

“Buah-buahan yang tinggi fenolnya seperti jeruk, apel, anggur, pisang dan beberapa buah lainnya juga tak bisa diberikan kepada anak Autis. Ini sudah dibuktikan di Amarika,” kata Julina.

Setelah mengetahui pantangan makanan, obat dan buah-buahan untuk Autis, Julina pun tak sembarang lagi memberikan makanan kepada putranya. “Saya jaga makanan anak saya, lalu saya dietkan. Setelah  saya terapkan selama dua tahun, kini anak saya lebih kosentrasi yang dulunya liar, anak saya sudah bisa berkomunikasi lancar dan buang airnya normal. Banyak sekali kemajuannya,” paparnya.

Menurutnya, obat-obatan medis justru tak membantu penyembuhan Autis. Malah obat tersebut menunjukkan efek samping, misalnya, air liur keluar secara berlebihan dan semakin liar.

“Otaknya anak Autis itu ‘lapar’karena vitamin yang dikonsumsi tak terserap ke otak karena adanya gangguan pencernaan tadi sehingga terbuang bersama BAB. Kuncinya, baguskan pencernaan anak Autis, baguslah saraf otaknya,” paparnya.

Sebenarnya, kata Julina, tak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk kesembuhan anak Autis.  Seperti yang dia terapkan dalam mendidik anak-anak Autis di Pondok Peduli Autis-nya. Junia  selalu menerapkan teori merangkak. Teori ini sendiri diikuti anak Autis berusia anak-anak hingga dewasa.

“Kita bukan mengolok-olok anak dengan teori merangkak ini. Supaya enjoy melakukannya, saya memberikan games sambil merangkak sehingga seru dan asyik,” kata dia.

Julina bilang, gerakan merangkak mampu merangsang otak kiri dan otak kanan anak Autis. “Mungkin gerakan ini dianggap sepele, tapi kemajun untuk kesembuhannya sangat cepat. Ini juga bisa dilakukan di rumah oleh orang tua Autis saat membimbing anaknya,” tukasnya.

Julina menyadari, kaum ibu yang memiliki anak Autis sangat berat dalam memberikan pola asuhnya. Hanya kesabaran dan ketekunan dan pengharapan besar yang harus dimiliki ibu untuk kesembuhan Autis anaknya.
“Tak ada kata terlambat untuk menyembuhkannya. Jangan lagi saling menyalahi dengan pasangan karena anak kita menderita Autis. Tapi berbuat dan bersemangatlah untuk mencari kesembuhan si anak,” pungkasnya. (laila azizah)

Ibu mana yang tak miris bila mengetahui  anaknya menderita penyakit Autis. Tapi, hanya meratapi nasib dan saling menyalahkan bukan solusi tepat untuk penyebuhan anak Autis. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan jika ingin sang anak sembuh dari penyakitnya.

Begitulah yang dilakukan Dra Julina Siregar, Pendiri Pondok Peduli Autis (PPA) ini. Jika awalnya ia nyaris frustasi dengan kesembuhan anaknya yang menderita Autis, kini tidak lagi. Ia kini lebih telaten dan sabar membimbing putranya yang  menderita Autis.

“Waktu saya mengetahui anak saya menderita Autis, saya sempat down. Apalagi, anak pertama saya yang Autis itu adalah anak yang saya tunggu-tunggu karena tiga tahun pernikahan, saya baru dikarunia anak. Tapi inilah kehendak Tuhan, tak perlu menyesali atau saling menyalahkan, tapi harus semangat untuk memberikan kesembuhan demi anak yang saya sayangi,” ujar wanita kelahiran 2 September 1969 ini.

Autisme adalah suatu gangguan yang ditandai oleh melemahnya kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara. Autisme sering disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Istri dari seorang polisi ini bercerita, ia mulai curiga anaknya berkelakuan aneh saat menginjak usia 2 tahun pada tahun 2002. Saat itu, ia merasa anaknya kelihatan berbeda dengan anak lain.

“Anak saya lambat bicara, liar, sering memukul-mukul telinganya sendiri, berputar-putar dan tertawa sendiri, kalau melihat dengan sudut mata berbeda. Apalagi anak saya melek terus tak pernah tidur, buang airnya berkali-kali. Saya bawa ke beberapa dokter, malah dokter bilang anak saya hiper aktif dan tak ada gangguan. Ternyata banyak dokter yang tak memahami gejala Autis anak,” ujarnya bercerita.

Justru, lanjutnya, ia baru menyadari anaknya Autis saat menonton talk show acara kesehatan di stasiun TV yang memaparkan gejala Autis sama seperti yang diderita anaknya. Dari situlah ia lalu membuka pikiran dengan ikut seminar Autis hingga ke luar kota.

“Lalu saya bertemu Ketua Autis Jakarta saat menggelar seminar Autis di Medan. Dialah yang meyakinkan saya kalau anak saya benar-benar menderita Autis. Sayapun semakin rajin ikut seminar untuk kesembuhan anak saya dan banyak membaca buku,” tambahnya.

Banyak ikut seminar dan membaca buku tentang Autis, membuat pengetahuannya semakin luas. Hal itu pulalah yang mendasari Julina mendirikan Pondok Peduli Autis (PPA) pada 6 Juli 2009 lalu di Jalan Bilal Ujung Krakatau, Gang Mesjid Al Ridha Medan.

“Saya dirikan PPA karena ingin membantu penderita Autis. Sebab, dari pengalaman saya sendiri, anak-anak yang dibawa berobat ke dokter yang bukan ahlinya justru memperparahkeadaan karena banyak dokter  yang belum paham dengan Autis,  sehingga merekomondasi obat yang membuat anak Autis semakin menderita berat,” kata dia.
Ibu dari dua anak ini bilang, anak penderita Autis itu umumnya mendapat gangguan pencernaan sehingga sampai ke metabolisme tubuh. Gangguan metabolisme tubuh ini dicetuskan dari makanan yang tidak boleh dikonsumsi anak Autis.

“Ada makanan yang tidak boleh dicerna anak Autis. Contoh makanan berbahan tepung terigu atau susu sapi. Sebab, makanan ini secara biokimiawi ikatannya rumit dibanding makanan lain sehingga sulit dicerna,” bilangnya.

Tak hanya makanan, lanjutnya, ada juga obat demam parasetamol yang tak bisa diberikan kepada anak Autis. Sebab, kandungan asam silat dan fenol pada obat tersebut tinggi. Sedangkan anak Autis sendiri memang sudah ada gangguan fenol yang terlihat pada sudut matanya yang menghitam.

“Buah-buahan yang tinggi fenolnya seperti jeruk, apel, anggur, pisang dan beberapa buah lainnya juga tak bisa diberikan kepada anak Autis. Ini sudah dibuktikan di Amarika,” kata Julina.

Setelah mengetahui pantangan makanan, obat dan buah-buahan untuk Autis, Julina pun tak sembarang lagi memberikan makanan kepada putranya. “Saya jaga makanan anak saya, lalu saya dietkan. Setelah  saya terapkan selama dua tahun, kini anak saya lebih kosentrasi yang dulunya liar, anak saya sudah bisa berkomunikasi lancar dan buang airnya normal. Banyak sekali kemajuannya,” paparnya.

Menurutnya, obat-obatan medis justru tak membantu penyembuhan Autis. Malah obat tersebut menunjukkan efek samping, misalnya, air liur keluar secara berlebihan dan semakin liar.

“Otaknya anak Autis itu ‘lapar’karena vitamin yang dikonsumsi tak terserap ke otak karena adanya gangguan pencernaan tadi sehingga terbuang bersama BAB. Kuncinya, baguskan pencernaan anak Autis, baguslah saraf otaknya,” paparnya.

Sebenarnya, kata Julina, tak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk kesembuhan anak Autis.  Seperti yang dia terapkan dalam mendidik anak-anak Autis di Pondok Peduli Autis-nya. Junia  selalu menerapkan teori merangkak. Teori ini sendiri diikuti anak Autis berusia anak-anak hingga dewasa.

“Kita bukan mengolok-olok anak dengan teori merangkak ini. Supaya enjoy melakukannya, saya memberikan games sambil merangkak sehingga seru dan asyik,” kata dia.

Julina bilang, gerakan merangkak mampu merangsang otak kiri dan otak kanan anak Autis. “Mungkin gerakan ini dianggap sepele, tapi kemajun untuk kesembuhannya sangat cepat. Ini juga bisa dilakukan di rumah oleh orang tua Autis saat membimbing anaknya,” tukasnya.

Julina menyadari, kaum ibu yang memiliki anak Autis sangat berat dalam memberikan pola asuhnya. Hanya kesabaran dan ketekunan dan pengharapan besar yang harus dimiliki ibu untuk kesembuhan Autis anaknya.
“Tak ada kata terlambat untuk menyembuhkannya. Jangan lagi saling menyalahi dengan pasangan karena anak kita menderita Autis. Tapi berbuat dan bersemangatlah untuk mencari kesembuhan si anak,” pungkasnya. (laila azizah)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/