25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Mark Up Gendang Rp70 Juta

Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara
Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pascapemeriksaan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 13 Agustus lalu, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), Wan Syaifuddin akhirnya angkat bicara.

Dalam pemeriksaan yang dialaminya itu, dia membuka kasus mark up, termasuk soal pengadaan gendang Simalungun yang harganya digelembungkan Rp70 juta.

Kemarin, Wan Syaifuddin mengaku diperiksa Kejagung selama 2 jam, fokus materi yang diarahkan kepadanya sebatas mengklarifikasi bukti-bukti proposal dan riwayat dirinya kala menjabat posisi tersebut.

Wan menceritakan, pertama sekali yang ditanyakan penyidik adalah riwayat hidup dan data-data tentang dirinya. Setelah itu ia ditunjukkan barang-barang bukti berupa proposal permohonan pengadaan barang di fakultas yang pernah ia pimpin. “Proposal yang pertama kali ditunjukkan mereka adalah benar tanda tangan saya. Karena saat pengajuan pertama itu masih di zaman saya. Namun uangnya sudah dikembalikan tatkala dana tersebut keluar,” aku Wan Syaifuddin kepada Sumut Pos, Senin (1/9), seraya menyebut uang yang yang diterima itu senilai Rp5 miliar.

Dia melanjutkan, lalu Kejagung menunjukkan proposal barang yang mau dilelang berdasarkan hitungan perkiraan sementara (HPS) sebesar Rp15 miliar. Di tahapan ini disebutkannya, bahwa ia tidak mengetahui proposal itu lantaran yang menandatangani adalah pejabat setelah dia, yakni dekan Fakultas Ilmu Budaya saat ini, Syahron Lubis. “Saya katakan tidak tahu karena itu bukan merupakan tanda tangan saya,” ujarnya.

Dia mengaku bahwa diperiksa selama 2 jam lebih mulai pukul 10.00-12.00 WIB, sebelum rehat pada jam istirahat. Di mana dilanjutkan setengah jam kemudian untuk mengomentari soal proposal pengajuan sebesar Rp15 miliar tersebut.

Tak hanya dirinya, Wan juga mengaku pada setengah jam pertama pemeriksaan duduk bersama Sutrisno, juru bayar di USU. Materi yang mereka terima dari penyidik pun sama yakni perihal riwayat hidup keduanya. Setelah itu mereka dipisahkan, di mana saat itu Sutrisno didampingi oleh penyidik lain. Sementara Wan, di dalam ruangan Kejagung itu, diperiksa dua orang penyidik. “Fokusnya di tahun 2007 (saat saya menjabat) dengan meminta klarifikasi soal proposal permohonan harga. Waktu sama itu kami ditanyai masalah identitas dan riwayat hidup.

Selanjutnya saya tidak mengetahui materi apa yang ditanyakan kepada Sutrisno,” ungkapnya.

Saat dicecar sekaligus dimintai komentar tentang proposal senilai Rp 15 miliar itu, Wan menyebutkan karena hal itu merupakan program fakultas seharusnya sebelum proposal diserahkan ke rektorat harus ada tanda tangan dari dekan bersangkutan.  “Namun nyatanya kenapa tidak ditandatangani dekan? Sebab surat itu tidak akan diterima apalagi diproses oleh pihak biro rektor. Lalu kenapa bisa diproses? Tentu karena dekan (Syahron, Red) sudah menekennya sehingga ada persetujuan dari rektorat,” beber mantan Dekan Fakultas Sastra tersebut. Padahal sepengetahuan dia, dalam tata surat di USU, tidak boleh hanya ditandatangani pejabat setingkat departemen. “Setidaknya kalau mau melibatkan departemen keduanya harus tanda tangan. Sehingga menegaskan bahwa departemen itu memiliki andil kuat atas pengadaan barang tersebut. Lantas kenapa bisa diproses universitas? Karena ada surat dari dekan,” terang Wan dihadapan penyidik Kejagung saat itu.

Jadi menurut Wan, sembari Kejagung memperlihatkan proposal permohonan harga tersebut, ia mengatakan di situlah puncak kekacauan terjadi. Di mana ada mark-up harga dari Rp19 juta menjadi Rp89 juta atau digelembungkan Rp70 juta. “Di mana saat itu saya menunjuk item barang seperti Gendang Simalungun, yang harganya di mark-up dari 19 menjadi 89 juta,” sebutnya.

Menurutnya proposal yang seharusnya tidak memenuhi sarat di sistem tata surat USU tersebut, alhasil ditampung ditingkat rektorat. “Karena jika tidak ada itu (tekenan dekan) maka tidak mungkin diterima,” ulangnya lagi dengan ada heran.

Namun Wan tidak dapat memastikan siapa pejabat di rektorat yang menerima proposal permohonan tersebut. Akan tetapi ia menyatakan pada masa itu sudah di era kepemimpinan Syahril Pasaribu. “Saya kurang tahu pasti soal itu. Namun surat pengantar itu diajukan ke rektor. Saya cuma disuruh klarifikasi soal HPS dan surat pengantar itu saja,” akunya.

Disinggung adanya tekanan yang ia terima pascapemeriksaan tempo hari, Wan memastikan sampai hari ini hal itu tidak ada. “Setelah saya pulang, saya melapor ke Pak Rektor. Begitu juga saat mau pergi memenuhi panggilan Kejagung, saya suwon ke beliau. Kan begitu etikanya. Dan respon Pak Rektor juga positif. Ceritakan saja apa adanya Wan,” ungkap dia menirukan ucapan Syahril Pasaribu pada dirinya saat itu.

Dalam pemeriksaan tersebut, Wan juga menyampaikan semua dokumen yang ia miliki sekaligus temuan terkait fee Rp2 juta yang diterima Sekretaris Departemen Etnomusikoogi Heristina Dewi. “Jadi semuanya saya sampaikan termasuk ada terima fee. Dan kebetulan pejabat Kejagung yang memeriksa juga ada saat turun ke USU dan mengetahui hal tersebut. Ternyata dia masih ingat dengan peristiwa itu,” kenangnya.

Syahron Lubis yang dikonfirmasi Sumut Pos terkait pernyataan Wan Syaifuddin mengenai adanya tanda tangannya pada proposal tersebut, menolak memberikan jawaban. “Maaf saya sedang ada pengajian,” katanya singkat seraya memutus sambungan selulernya, Senin (1/9) malam.

Begitu juga dengan Sutrisno, juru bayar USU yang bersama Wan Syaifuddin diperiksa pada 13 Agustus lalu, tidak berada di tempat saat ingin ditemui kru koran ini. (prn/rbb)

Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara
Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pascapemeriksaan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 13 Agustus lalu, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), Wan Syaifuddin akhirnya angkat bicara.

Dalam pemeriksaan yang dialaminya itu, dia membuka kasus mark up, termasuk soal pengadaan gendang Simalungun yang harganya digelembungkan Rp70 juta.

Kemarin, Wan Syaifuddin mengaku diperiksa Kejagung selama 2 jam, fokus materi yang diarahkan kepadanya sebatas mengklarifikasi bukti-bukti proposal dan riwayat dirinya kala menjabat posisi tersebut.

Wan menceritakan, pertama sekali yang ditanyakan penyidik adalah riwayat hidup dan data-data tentang dirinya. Setelah itu ia ditunjukkan barang-barang bukti berupa proposal permohonan pengadaan barang di fakultas yang pernah ia pimpin. “Proposal yang pertama kali ditunjukkan mereka adalah benar tanda tangan saya. Karena saat pengajuan pertama itu masih di zaman saya. Namun uangnya sudah dikembalikan tatkala dana tersebut keluar,” aku Wan Syaifuddin kepada Sumut Pos, Senin (1/9), seraya menyebut uang yang yang diterima itu senilai Rp5 miliar.

Dia melanjutkan, lalu Kejagung menunjukkan proposal barang yang mau dilelang berdasarkan hitungan perkiraan sementara (HPS) sebesar Rp15 miliar. Di tahapan ini disebutkannya, bahwa ia tidak mengetahui proposal itu lantaran yang menandatangani adalah pejabat setelah dia, yakni dekan Fakultas Ilmu Budaya saat ini, Syahron Lubis. “Saya katakan tidak tahu karena itu bukan merupakan tanda tangan saya,” ujarnya.

Dia mengaku bahwa diperiksa selama 2 jam lebih mulai pukul 10.00-12.00 WIB, sebelum rehat pada jam istirahat. Di mana dilanjutkan setengah jam kemudian untuk mengomentari soal proposal pengajuan sebesar Rp15 miliar tersebut.

Tak hanya dirinya, Wan juga mengaku pada setengah jam pertama pemeriksaan duduk bersama Sutrisno, juru bayar di USU. Materi yang mereka terima dari penyidik pun sama yakni perihal riwayat hidup keduanya. Setelah itu mereka dipisahkan, di mana saat itu Sutrisno didampingi oleh penyidik lain. Sementara Wan, di dalam ruangan Kejagung itu, diperiksa dua orang penyidik. “Fokusnya di tahun 2007 (saat saya menjabat) dengan meminta klarifikasi soal proposal permohonan harga. Waktu sama itu kami ditanyai masalah identitas dan riwayat hidup.

Selanjutnya saya tidak mengetahui materi apa yang ditanyakan kepada Sutrisno,” ungkapnya.

Saat dicecar sekaligus dimintai komentar tentang proposal senilai Rp 15 miliar itu, Wan menyebutkan karena hal itu merupakan program fakultas seharusnya sebelum proposal diserahkan ke rektorat harus ada tanda tangan dari dekan bersangkutan.  “Namun nyatanya kenapa tidak ditandatangani dekan? Sebab surat itu tidak akan diterima apalagi diproses oleh pihak biro rektor. Lalu kenapa bisa diproses? Tentu karena dekan (Syahron, Red) sudah menekennya sehingga ada persetujuan dari rektorat,” beber mantan Dekan Fakultas Sastra tersebut. Padahal sepengetahuan dia, dalam tata surat di USU, tidak boleh hanya ditandatangani pejabat setingkat departemen. “Setidaknya kalau mau melibatkan departemen keduanya harus tanda tangan. Sehingga menegaskan bahwa departemen itu memiliki andil kuat atas pengadaan barang tersebut. Lantas kenapa bisa diproses universitas? Karena ada surat dari dekan,” terang Wan dihadapan penyidik Kejagung saat itu.

Jadi menurut Wan, sembari Kejagung memperlihatkan proposal permohonan harga tersebut, ia mengatakan di situlah puncak kekacauan terjadi. Di mana ada mark-up harga dari Rp19 juta menjadi Rp89 juta atau digelembungkan Rp70 juta. “Di mana saat itu saya menunjuk item barang seperti Gendang Simalungun, yang harganya di mark-up dari 19 menjadi 89 juta,” sebutnya.

Menurutnya proposal yang seharusnya tidak memenuhi sarat di sistem tata surat USU tersebut, alhasil ditampung ditingkat rektorat. “Karena jika tidak ada itu (tekenan dekan) maka tidak mungkin diterima,” ulangnya lagi dengan ada heran.

Namun Wan tidak dapat memastikan siapa pejabat di rektorat yang menerima proposal permohonan tersebut. Akan tetapi ia menyatakan pada masa itu sudah di era kepemimpinan Syahril Pasaribu. “Saya kurang tahu pasti soal itu. Namun surat pengantar itu diajukan ke rektor. Saya cuma disuruh klarifikasi soal HPS dan surat pengantar itu saja,” akunya.

Disinggung adanya tekanan yang ia terima pascapemeriksaan tempo hari, Wan memastikan sampai hari ini hal itu tidak ada. “Setelah saya pulang, saya melapor ke Pak Rektor. Begitu juga saat mau pergi memenuhi panggilan Kejagung, saya suwon ke beliau. Kan begitu etikanya. Dan respon Pak Rektor juga positif. Ceritakan saja apa adanya Wan,” ungkap dia menirukan ucapan Syahril Pasaribu pada dirinya saat itu.

Dalam pemeriksaan tersebut, Wan juga menyampaikan semua dokumen yang ia miliki sekaligus temuan terkait fee Rp2 juta yang diterima Sekretaris Departemen Etnomusikoogi Heristina Dewi. “Jadi semuanya saya sampaikan termasuk ada terima fee. Dan kebetulan pejabat Kejagung yang memeriksa juga ada saat turun ke USU dan mengetahui hal tersebut. Ternyata dia masih ingat dengan peristiwa itu,” kenangnya.

Syahron Lubis yang dikonfirmasi Sumut Pos terkait pernyataan Wan Syaifuddin mengenai adanya tanda tangannya pada proposal tersebut, menolak memberikan jawaban. “Maaf saya sedang ada pengajian,” katanya singkat seraya memutus sambungan selulernya, Senin (1/9) malam.

Begitu juga dengan Sutrisno, juru bayar USU yang bersama Wan Syaifuddin diperiksa pada 13 Agustus lalu, tidak berada di tempat saat ingin ditemui kru koran ini. (prn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/