MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pihak Universitas Sumatera Utara (USU) sampai hari ini belum bersikap tegas terkait status tersangka yang disandang Dekan Fakultas Farmasi USU, Prof Sumadio Hadisaputra. Sang professor masih aman karena menurut rektorat di kampus plat merah itu, Sumadio belum memiliki kepastian hukum tetap lantaran kasusnya masih dalam pemeriksaan Kejasaan Agung (Kejagung).
“Kita masih mengikuti proses hukum yang berjalan. Sebelum ada kepastian hukum tetap terhadap yang bersangkutan, kita harus menghormati azas praduga tidak bersalah,” ujar Staf Ahli Rektor USU Bidang Kehumasan Dr Iskandar Zulkarnain MSi kepada Sumut Pos, Rabu (3/9).
Pihaknya sebut Iskandar, menyerahkan sepenuhnya kasus yang tengah ditangani oleh Kejagung. “Sebagaimana dikatakan bapak rektor, bahwa kita sepenuhnya menyerahkan persoalan ini kepada hukum,” ungkapnya.
Bahkan mengenai penetapan Sumadio sebagai tersangka, pria berkacamata ini mengatakan bahwa sampai hari ini pihaknya tidak menerima surat dari Kejagung. “Sifatnya kan lebih kepada perseorangan. Jadi sejauh ini surat terkait status tersangka beliau (Sumadio, Red) belum ada kita terima,” bebernya.
Oleh karenanya ia menegaskan jika pihaknya sama sekali belum mengambil sikap apapun terhadap persoalan ini, dan menghargai proses hukum yang tengah bergulir. “Sesuai pandangan tim hukum USU bahwa kita tidak ada membantu siapapun yang terjerat persoalan hukum atau korupsi. Namun bukan berarti tidak bersikap sama sekali, hanya saja kepastian hukumnya saat ini juga belum ada. Jadi kita masih menunggu hasil dari pemeriksaan tim Kejagung,” jelasnya.
Masih Iskandar, tak hanya Sumadio, Abdul Hadi (AH) yang lebih dulu ditahan Kejagung juga masih berstatus pegawai dan menerima segala haknya di USU. “Belum ada sikap apapun. USU juga sepenuhnya membantu proses hukum ini,” tambahnya.
Sebelumnya Humas USU Bisru Hafi juga mengatakan hal demikian. Artinya sampai saat ini pihaknya belum menerima surat penetapan tersangka dari Kejagung. Sehingga USU tidak mengambil tindakan apapun terhadap dua nama dimaksud. “Jadi kita menyerahkan sepenuhnya kepada Kejagung seperti apa tindak lanjutnya,” ujarnya via seluler, Rabu (3/9).
Disinggung apabila surat dari Kejagung sudah diterima pihaknya maka dalam waktu dekat USU bersikap tegas terhadap yang bersangkutan, Bisru menyebutkan pastinya hal tersebut akan dilakukan. “Tentunya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) ada ketentuan yang mengatur soal itu. Kita tunggulah seperti apa hasil pemeriksaan Kejagung. Karena kita gak bisa berandai-andai,” ungkapnya.
Secara konkret Bisru tampak enggan menyebutkan tindakan atau sanksi apa yang diberikan pihaknya kepada Sumadio. Sebab hal itu tergantung di tingkat mana pelanggaran yang dilakukan yang bersangkutan. Oleh sebeb itu pihaknya terlebih dahulu melihat duduk persoalannya. “Belum, masih menunggu putusan hukum yang bersifat tetap. Pun begitu dengan status saudara AH juga belum ada sikap apapun,” tuntas Bisru.
Terkait hal itu, praktisi hukum Dr Abdul Hakim Siagian mengatakan, perihal penonaktifan, pemberhentian atau pemecatan pascapenetapan tersangka ini merupakan salah satu problem yang cukup besar di republik ini, mengingat ketentuan hukum pasti tersebut belum ada. “Karena persoalan dari moral dan etis hampir tidak ada pejabat yang siap mengundurkan diri pascamenjadi tersangka. Untuk itu kita dorong kepada pembentuk undang-undang kiranya untuk membuat peraturan begitu tersangka wajib nonaktif. Kalau begitu kan clear persoalan,” ujar Abdul Hakim.
Harusnya atas nama pemberantasan korupsi, menurut dia, harus ada keseragaman dan keadilan yang sudah tersangkut masalah hukum kapan momen diberhentikan atau menyatakan mengundurkan diri. Sehingga jangan jadi perdebatan atau pertengkaran subjektif dengan berbagai argumentasi di mana orang sudah dibunuh sebelum mendapatkan kepastian hukum tetap. “Kalau bisa dalam melihat ini jangan sekadar melihat persoalan kecilnya melainkan dalam spektrum yang luas. Kita mau penanganan kasus ini juga menghormati sesuai prinsip negara-negara hukum, dan berdasarkan prinsip moral yang mesti dipatuhi,” tegasnya.
Lanjutnya, prinsip hukum yang berlaku sama tersebut merupakan tanggung jawab dari pembentuk perundang-undangan agar terhadap siapapun, di lembaga manapun atau di kementerian manapun, standarnya juga sama. “Kenapa hal itu muncul? Karena tidak ada standar yang jelas dan pasti bagaimana tentang status nonaktif seseorang, diberhentikankah atau dipecat setelah dinyatakan sebagai tersangka. Tapi anehnya setelah ditahan dan dihukum masih juga menerima gaji. Jadi ada perbedaan luar biasa mencolok yang sangat tidak adil mengenai status pada saat tersangka baik di kelembagaan eksekutif, yudikatif dan legislatif,” pungkas Abdul Hakim. (prn/rbb)