MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Yayasan Stikessu Drs ARK dan mantan Ketua Yayasan Stikessu Prof HPL dilaporkan ke Polda Sumut. Keduanya dituding melakukan penggelapan hak-hak honorarium atas kegiatan akademik sejak dari tahun 2014 hingga 2018.
ADALAH Roslenni Sitepu, mantan Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumatera Utara (Stikessu) yang melaporkan keduanya. Laporan korban diterima petugas SPKT Polda Sumut dengan nomor 03/LAP-ADU/VII/HR/2018 pada 26 Juli 2018.
Mendampinginya dalam prses hukum, Roslenni didampingi 5 orang yang tergabung dalam satu tim kuasa hukum. Mereka masing-masing, Henrico Hutagalung SH MH, Mazmur Septian Rumapea SH MH, Sahat M Hutagalung SH MHum, Kreisen Sinaga SH dan Gindo FM Hutagalung SH.
Salah satu dari tim kuasa hukum Roslenni, Henrico Hutagalung mengatakan, kliennya itu merupakan dosen tetap di Stikessu sejak 2005 hingga April 2018. Ia juga pernah menduduki jabatan sebagai Ketua Program Studi (Prodi) S1 Keperawatan di Stikessu, sejak 1 Juli 2011 hingga 8 Mei 2017.
“Perlu saya terangkan, sebagai dosen tetap klien kami juga mengajar dengan beban lebih, maupun sebagai pejabat struktural klien kami menerima penghasilan tetap dan tunjangan jabatan pada setiap bulan dan honorarium lainnya berkaitan dengan kegiatan akademik,” tutur Henrico.
“Nah, dari data sementara yang diberikan klien kami, ditemukan ada hak-hak honorarium atas kegiatan akademik selama bekerja sebagai dosen tetap di Stikessu seperti beban lebih mengajar, bimbingan praktek mahasiswa, honor menguji proposal, honor menguji skripsi dan honor membimbing skripsi Stikessu sejumlah Rp151.315.000 belum dibayarkan,” sambungnya.
Pada 9 April dan 25 April 2018, Roslenni mengajukan pengunduran diri sebagai dosen tetap.
Kemudian, 5 Mei 2018 disetujui Stikessu. Namun, hak honorarium Roslenni belum dibayar.
Selanjutnya, Roslenni melalui tim kuasa hukumnya menyurati pihak Stikessu. Mereka mengundang pihak Stikessu Juni 2018, namun tidak ada tanggapan. Akhirnya, mereka melayangkan somasi di akhir Juni 2018.
“Akhirnya di bulan Juli 2018 datanglah mewakili pihak Stikessu, dr Fadli, anak dari Ketua Yayasan Drs ARK. Jadi saat bertemu, kita kasih tunjuk data yang kita punya, jadi jawaban dia akan mencari dulu data-datanya,” jabar Henrico.
“Namun sayangnya tidak ada realisasi. Sehingga, akhirnya kita buat Dumas (pengaduan masyarakat) ke Polda Sumut 26 Juli 2018 kemarin,” katanya.
Proses berjalan, kasus ini kemudian ditangani Unit 3, Subdit I Kamneg, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumut.
Pihak Roslenni pun diminta datang untuk klarifikasi oleh Kompol RA Purba di Unit 3. Pihak Roslenni datang dan menyerahkan bukti-bukti honor yang belum dibayar.
Selain itu, pihak Roslenni juga menyerahkan bukti-bukti honor yang sudah dibayar sebagai pembanding. Bukti-bukti itu diberikan pada 9 Agustus 2018.
“Sifatnya kita kan proaktif, sejak pemberian itu kita datang lagi ke Polda 14 Agustus 2018, maksudnya menanyakan kapan akan diperiksa. Jadi diperiksalah ibu ini (Roslenni), diambil keterangan oleh Unit 3, oleh Brigadir Lianita Sitorus. Mereka (penyidik) berjanji dan menunggu kabar, karena mereka katanya akan mengkroscek ke pihak terlapor,” katanya.
Kemudian, 14 September 2018, pihak Roslenni datang kembali sebulan setelah diperiksa. Penyidik lalu meminta nama-nama pihak Setikessu yang mengetahui duduk persoalan belum dibayarnya honor Roslenni.
“Nama-nama yang kami berikan, Rinawati SKep Nurse Mkep. Waktu itu jabatannya Sekretaris Prodi Nurse. Kemudian Basri SKep Nurse Mkep, jabatannya saat itu Sekretaris Prodi Akademik. Lalu ada Melisa selaku Bendahara Stikessu dan Ekia Etanta Sembiring SE mantan Bendahara Stikessu. Selanjutnya mereka mencoba untuk ke lapangan,” jelas Henrico.
Setelah itu, 27 September 2018 pihak Roslenni kembali datang ke Polda Sumut untuk bertanya perkembangan kasus tersebut. Saat itu, pelapor bertemu dengan Brigadir Lianita Sitorus.
“Dia (Brigadir Lianita Sitorus) kembali meminta waktu ke kita. Alasannya karena masih ada bukti-bukti dari Stikessu yang mereka minta belum diberikan,” tutur Henrico.
“Ketika saya tanya ke mereka apakah pihak-pihak yang mengetahui masalah gaji ini sudah diperiksa, katanya sudah. Namun, Ketua Yayasan dan Mantan Ketua Yayasan belum diperiksa katanya,” sambung Henrico.
Penyidik kemudian memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 8 Agustus 2018 pada pelapor. Isinya memberitahukan, kasus itu masih proses.
Kemudian, SP2HP tanpa tanggal di 14 September 2018 kembali diterima pelapor. Setelah itu, SP2HP pada 20 September 2018 juga diterima.
“Jadi sambil menunggu kabar dari mereka (penyidik), kemudian datanglah tanggal 23 Oktober SP2HP yang isinya Dumas kami ini sesuai hasil gelar perkara yang mereka lakukan 19 Oktober direkomendasikan dihentikan. Kan terkejut kami, gelar perkara saja mereka lakukan tanpa kehadiran kami,” tukas Henrico.
“Memang betul, berdasarkan Perkap 2014 tiada kewajiban kepolisian untuk mengundang. Tapi kalau dimaknai pasal 72 Ayat 3 Perkap dimaksud, dan Pasal 3 huruf F dan G, dikatakan bahwa gelar perkara dilakukan dengan terbuka, gelar perkara dilakukan dengan mendengar keterangan dari pihak-pihak. Memang tidak ditunjuk pihak-pihak itu siapa, tapi ada kalimat yang menyatakan dengan mendengar keterangan pihak-pihak. Saya terkejut, ini ada apa,” lanjutnya.
Pihak Roslenni semakin kecewa. Sebab, dalam SP2HP tertanggal 23 Oktober itu, di angka 3 huruf B, menurutnya penyidik tidak adil.
“Di sini saya rasa kami sudah dipecundangi, diperlakukan dengan tidak adil. Di angka 3 huruf b disebutkan, bahwa Yayasan Stikessu tidak membayar uang honor tersebut karena pada saat pengajuan tidak didukung dengan kegiatan berupa absen, tanda tangan, proses belajar mengajar dan amprah singgah. Sehingga pihak Stikessu menganggap pengajuan honor tidak layak dibayarkan. Seturut itu makanya penyelidikan perkara itu tidak cukup bukti sehingga dihentikan,” katanya.
Menurutnya, penyidik Subdit I/Kamneg Ditreskrimum Polda Sumut tidak adil dalam melakukan penyelidikan. Sebab, antara pelapor dan terlapor tidak dilakukan konfrontir.
“Dia (penyidik) bilang bukti, bukti kami saja belum dikasih kesempatan untuk menjelaskan ini bukti. Dari mana pihak kepolisian terus bisa menyatakan seperti itu, tidak cukup bukti,” sebut Henrico.
“Padahal bukti-bukti sudah kami kasih, bukti yang sudah dibayar dan bukti yang belum dibayar. Harapan kami saat itu adalah agar diundang kami untuk menjelaskan bukti-bukti itu. Tapi gelar perkara saja kami tidak diundang,” sambungnya.
Selain dugaan penggelapan honor yang dilaporkan di Polda Sumut, Roslenni juga membawa persoalan ini ke Disnaker terkait perselisihan hak.
“16 Oktober 2018 kami sudah ke Disnkaer pengaduan perselisihan hubungan industrial terkait honorarium ibu ini (Roslenni),” ungkapnya.
Meski 25 Oktober 2018 pihak Disnaker mengundang untuk mediasi, namun persoalan ini tidak selesai. Sebab, pihak Stikessu tidak hadir dan pada 2 November 2018 juga tidak ada kesepakatan.
“Jadi ibu ini kesulitan. Karena selain honor, mereka tidak mengeluarkan surat keterangan pindah homebase sebagai dosen di Stikessu. Alasannya ada tugas klien kami yang belum selesai, masalah belum ditandatanganinya ijazah mahasiswa,” terangnya.
Terkait ijazah tersebut, pihak Kopertis kemudian memediasi Roslenni dan Stikessu. Namun, mediasi itu gagal karena pihak Stikessu tidak mau memenuhi hak-hak honorarium Roslenni.
Sementara, Ketua Stikessu, Diana yang coba ditemui Sumut Pos Jumat (2/11) lalu, tidak berhasil dikonfirmasi. Saat Sumut Pos datang ke gedung Stikessu, Jalan Jamin Ginting, mereka sedang kedatangan tim akreditasi.
“Maaf ibu (Ketua Stikes) sedang sibuk, lagi ada akreditasi,” ujar salah seorang staf di gedung itu.
Hal yang sama diungkapkan Diana saat dihubungi via selular. Diana berdalih sedang akreditasi.
“Maaf, pak. Kami sedang ada tamu untuk akreditasi,” katanya. (dvs/ala)