MEDAN, SUMUTPOS.CO – Mantan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap mengakui menerima sekitar Rp43 miliar dari terdakwa Effendi Syahputra alias Asiong, rekanan yang ikut ditangkap KPK. Uang itu menurutnya ia pinjam untuk membayar utang biaya Pilkada Labuhanbatu 2015 lalu dan pemenangan salah satu pasangan calon di Pilgubsu 2018 lalu.
“Saat itu saya butuh uang untuk membayar utang biaya Pilkada dan pemenangan pasangann
calon dalam Pilgubsu lalu. Sehingga saya butuh terdakwa Asiong membantu saya,” kata Pangonal Harahap yang dihadirkan sebagai saksi oleh JPU KPK dalam perkara terdakwa Effendi Syahputra alias Asiong di Pengadilan Tipikor Medan, Senin (5/11).
Pangonal yang juga tersangka dalam perkara ini mengakui, uang Rp40 miliar lebih itu diterimanya melalui anaknya dan orang kepercayaannya. Misalnya pada 2016 lalu, ia membayar utang kepada Aswan dan Aswin sebesar Rp7 miliar. “Saya menyuruh orang kepercayaan saya, Tamrin Ritonga menemui terdakwa Asiong agar membayar utang Pilkada saya,” ungkap mantan Ketua DPC PDI Perjuangan Labuhanbatu ini.
Ia juga menerima Rp12,5 miliar melalui Abu Yazid dan Rp23,5 miliar melalui anaknya, Baikandi. Selanjutnya pada 2018, ia menerima 218 ribu Dolar Singapura yang rencananya akan diberikannya kepada anggota DPRD Sumut.
Menyikapi ini, lantas mejelis hakim menanyakan, bagaimana Pangonal membayar utang-utang tersebut. Pangonal pun menjelaskan, dia membayarnya dengan memberikan sejumlah proyek kepada Asiong. “Saya dan terdakwa sudah tahu sama tahu saja,” ujar Pangonal.
Diakuinya, dirinya memperintahkan Tamrin Ritonga selaku Kadis PUPR Labuhanbatu saat itu untuk memprioritaskan perusahaan Asiong dan memberi kode Matahari 1. Bahkan sebelum tertangkap tangan oleh KPK, Pangonal baru saja menerima Rp500 juta dari terdakwa Asiong.
Dan sebelumnya, dia juga sudah menerima Rp1,5 miliar. Namun menurutnya, uang tersebut masing kurang untuk biaya kampanye pasangan calon di Pilgubsu 2018 lalu yang diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp3 miliar.
Namun dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Irwan Effendi, Pangonal juga mengaku kalau dirinya tidak tahu-menahu tentang Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sehingga dia menganggap menerima fee proyek adalah hal yang biasa.
“Saya tak pernah membaca tentang Undang-undang korupsi, Pak Hakim. Saya tidak memahami itu, sumpah. Kan memang semua bupati seperti itu. Yang saya ketahui, kontraktor atau pengusaha itu diperbolehkan (memberikan fee proyek),” sebutnya.
Pangonal baru menyadari kalau perbuatannya itu adalah kebiasaan yang salah setelah ia ditangkap KPK. “Saya ketahui bahwa kontraktor atau rekanan itu diperbolehkan (berikan fee proyek), makanya saya tidak tahu Pak Hakim,” kata Pangonal lagi.
Bahkan setelah terpilih menjadi Bupati Labuhanbatu hingga dilantik pada 2015 lalu, Pangonal dan Asiong sudah duduk bersama membicarakan tentang pembangunan Labuhanbatu ke depannya. “Asiong adalah salah satu pemborong yang besar dan mampu memperbaiki mutu pembangunan di Labuhanbatu dengan bagus, Pak Hakim,” jelasnya.
“Jadi setiap ada proyek saya mendapatkan keuntungan 15 persen dan intinya saya tidak pernah memaksa rekanan untuk memberikan fee itu kepada saya,” jelasnya lagi.
Sebelumnya Pangonal, turut didengar keterangan saksi Harmaen Harahap dan Syaiful, orang kepercayaannya.
Diketahui sebelumnya, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Dody Sukmono, Mayhardi Indra dan Agung Satrio Wibowo menyebutkan bahwa Pangonal Harahap menerima uang dari Asiong sebesar Rp38.882.050.000 dan SGD 218.000. Uang tersebut diserahkan bertahap melalui anak Pangonal Baikandi Harahap, Adik Ipar Pangonal Yazid Anshori dan stafnya Umar Ritonga (Buron). (man)