27.8 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Kasus Penyerobotan Lahan di Jalan Mongonsidi 3, Polda Sumut Kembali Usut Pelaku

dok/Sumut Pos
Eni Lilawati.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Perjuangan Eni Lilawati mencari keadilan atas penyerobotan tanah warisan almarhum ayahnya, membuahkan hasil. Eni dipersilahkan membuat laporan ke Polda Sumut, Kamis (10/1).

DALAM laporannya, Rokkifeller Manurung yang menguasai lahan di Jalan Mongonsidi 3 No 28, Medan masih menjadi terlapor. Rokkifeller diduga memalsukan dokumen.

Sebelumnya, kasus penyerobotan ini sempat dilaporkan pada 28 November 2016 dan ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumut. Namun, dihentikan penyidikannya dengan dalih tidak cukup bukti.

Kepada Sumut Pos, Eni mengaku tidak akan tinggal diam. Menurutnya, penyidik Subdit II/Hardatahbang Polda Sumut yang menangani perkara penyerobotan lahan warisan orangtuanya itu terlalu membela terlapor.

“Penyidik Ditreskrimum menyebut terkait laporan saya sudah keluar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 2017 kemarin. Okelah, kalau menurut mereka kami tidak cukup bukti,” tutur Eni, Minggu (13/1).

“Tapi kemarin saya ketemu dengan Direskrimum, Kombes Andi Rian sama juga Kasubdit Hardatahbang, AKBP Edison Sitepu. Saya beberkan bukti-bukti yang saya punya menyatakan dokumen milik Rokkifeler atas lahan di Jalan Mongonsidi 3 itu palsu,” sambungnya.

Kata Eni, pertemuan itu cukup a lot. Ia meminta supaya kasus itu dibuka kembali meski telah dihentikan.

Belakangan setelah perdebatan panjang, Direskrimum Kombes Andi Rian mengarahkan Eni agar kembali membuat laporan polisi (LP) di SPKT Polda Sumut.

LP itu pun diterima dengan nomor LP/32/I/2019/SPKT III Tanggal 10 Januari 2019 terkait dugaan pemalsuan dokumen yang terjadi sekira Juli 2004 dengan terlapor Rokkifeler Manurung.

“Harapan saya dengan begini orang yang menguasai tanah warisan ayah saya itu ditangkap. Saya minta supaya Polda Sumut tegas dan tidak ada kongkalikong,” kata Eni.

“Saya punya bukti-bukti yang nyata kalau dokumen terlapor, berupa Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Kecamatan Medan Baru tahun 1972 yang dijadikannya dasar untuk menguasai tanah itu palsu,” sambungnya.

Sementara itu, Hesti (rekan Eni) menyebut ada dua orang saksi yang melihat Rokkifeler memalsukan dokumen palsu itu.

“Jadi ada saksi yang pernah melihat si Rokki ini membuat dokumen di rumah seorang pengacara, Herbert Napitupulu di Jalan Mongonsidi III No 29 dengan menggunakan mesin ketika lama. Yang melihat itu orang sekitar, namanya Batya Sembiring. Satu lagi mantan istri Herbert, Maeka Empresida Siregar,” sebut Hesti saat mendampingi Eni di Mapolda Sumut.

Hesti menyebut, keduanya siap bersaksi untuk laporan terbaru ini.

“Keduanya siap bersaksi untuk dan keterangannya sudah kita kutip terlampir di secarik kertas ditandatangani di atas materai Rp6 ribu. Artinya mereka siap bertanggungjawan kalau memang dokumen itu dibuat-buat,” katanya.

Hesti yang berdomisili di Jalan Mongonsidi 3 juga menerangkan, terlapor juga pernah datang ke rumahnya untuk meminjam dokumen tanah milik Hesti. Kuat dugaan dokumen itu digunakan untuk membuat surat dokumen palsu tersebut.

“Pernah Rokki datang ke saya menyembah sampai menangis untuk meminjam surat tanah saya entah untuk apa tujuannya. Kejadiannya itu di 2004. Seminggu dokumen-dokumen tanah saya dipinjam baru dikembalikannya,” tukas Hesti.

“Tidak lama, muncul dokumen Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Tahun 1972 itu yang menyatakan tanah tersebut milik Guntur Manurung abang Rockki. Janggalnya dalam surat itu, kalau melihat tahunnya juga, si Guntur ini usianya tahun 1972 itu baru 8 tahun,” lanjutnya.

Hesti mengaku kesal dengan penyidik Subdit II/Hardatahbang. Menurutnya, penyidik tidak transparan dalam menghentikan penyidikan perkara penyerobotan lahan milik Eni.

“Pernah kami menanyakan apa alasan penyidik menghentikan kasusnya. Apa rupanya dokumen-dokumen Rokki yang dijadikannya dasar menguasai tanah itu. Kalau dasarnya Surat Kepala Kampung Anggrung Tahun 1972, kita bisa buktikan itu palsu. Tapi ya itu, mereka nggak mau terbuka. Mudah-mudahan laporan yang baru ini bisa menjerat terlapor,” katanya.

Sementara itu, Batya yang menjadi saksi dalam kasus penyerobotan lahan Eni mengatakan, Rokkifeller memiliki seorang istri yang merupakan PNS di Rumah Sakit Bhayangkara Jalan Wahid Hasyim.

“Saya kenal sama si Rokki ini. Makanya saya berani bersaksi. Pernah saya lihat dia membuat dokumen palsu itu di rumah Herbert. Makanya saya berani bersaksi. Saya tidak berbohong,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, Eni Lilawati sempat mengadukan permasalahan tersebut ke Kapolda Sumut, Irjen Agus Andrianto.

Alhasil, Agus kemudian menyerahkan masalah itu kepada Direskrimum Polda Sumut Kombes Andi Rian agar ditindaklanjuti.

Menurut Eni, lahan tersebut merupakan warisan ayahnya. Saat ini dikuasai Rockki menggunakan dokumen palsu.(dvs/ala)

dok/Sumut Pos
Eni Lilawati.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Perjuangan Eni Lilawati mencari keadilan atas penyerobotan tanah warisan almarhum ayahnya, membuahkan hasil. Eni dipersilahkan membuat laporan ke Polda Sumut, Kamis (10/1).

DALAM laporannya, Rokkifeller Manurung yang menguasai lahan di Jalan Mongonsidi 3 No 28, Medan masih menjadi terlapor. Rokkifeller diduga memalsukan dokumen.

Sebelumnya, kasus penyerobotan ini sempat dilaporkan pada 28 November 2016 dan ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumut. Namun, dihentikan penyidikannya dengan dalih tidak cukup bukti.

Kepada Sumut Pos, Eni mengaku tidak akan tinggal diam. Menurutnya, penyidik Subdit II/Hardatahbang Polda Sumut yang menangani perkara penyerobotan lahan warisan orangtuanya itu terlalu membela terlapor.

“Penyidik Ditreskrimum menyebut terkait laporan saya sudah keluar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 2017 kemarin. Okelah, kalau menurut mereka kami tidak cukup bukti,” tutur Eni, Minggu (13/1).

“Tapi kemarin saya ketemu dengan Direskrimum, Kombes Andi Rian sama juga Kasubdit Hardatahbang, AKBP Edison Sitepu. Saya beberkan bukti-bukti yang saya punya menyatakan dokumen milik Rokkifeler atas lahan di Jalan Mongonsidi 3 itu palsu,” sambungnya.

Kata Eni, pertemuan itu cukup a lot. Ia meminta supaya kasus itu dibuka kembali meski telah dihentikan.

Belakangan setelah perdebatan panjang, Direskrimum Kombes Andi Rian mengarahkan Eni agar kembali membuat laporan polisi (LP) di SPKT Polda Sumut.

LP itu pun diterima dengan nomor LP/32/I/2019/SPKT III Tanggal 10 Januari 2019 terkait dugaan pemalsuan dokumen yang terjadi sekira Juli 2004 dengan terlapor Rokkifeler Manurung.

“Harapan saya dengan begini orang yang menguasai tanah warisan ayah saya itu ditangkap. Saya minta supaya Polda Sumut tegas dan tidak ada kongkalikong,” kata Eni.

“Saya punya bukti-bukti yang nyata kalau dokumen terlapor, berupa Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Kecamatan Medan Baru tahun 1972 yang dijadikannya dasar untuk menguasai tanah itu palsu,” sambungnya.

Sementara itu, Hesti (rekan Eni) menyebut ada dua orang saksi yang melihat Rokkifeler memalsukan dokumen palsu itu.

“Jadi ada saksi yang pernah melihat si Rokki ini membuat dokumen di rumah seorang pengacara, Herbert Napitupulu di Jalan Mongonsidi III No 29 dengan menggunakan mesin ketika lama. Yang melihat itu orang sekitar, namanya Batya Sembiring. Satu lagi mantan istri Herbert, Maeka Empresida Siregar,” sebut Hesti saat mendampingi Eni di Mapolda Sumut.

Hesti menyebut, keduanya siap bersaksi untuk laporan terbaru ini.

“Keduanya siap bersaksi untuk dan keterangannya sudah kita kutip terlampir di secarik kertas ditandatangani di atas materai Rp6 ribu. Artinya mereka siap bertanggungjawan kalau memang dokumen itu dibuat-buat,” katanya.

Hesti yang berdomisili di Jalan Mongonsidi 3 juga menerangkan, terlapor juga pernah datang ke rumahnya untuk meminjam dokumen tanah milik Hesti. Kuat dugaan dokumen itu digunakan untuk membuat surat dokumen palsu tersebut.

“Pernah Rokki datang ke saya menyembah sampai menangis untuk meminjam surat tanah saya entah untuk apa tujuannya. Kejadiannya itu di 2004. Seminggu dokumen-dokumen tanah saya dipinjam baru dikembalikannya,” tukas Hesti.

“Tidak lama, muncul dokumen Surat Keterangan Kepala Kampung Angrung Tahun 1972 itu yang menyatakan tanah tersebut milik Guntur Manurung abang Rockki. Janggalnya dalam surat itu, kalau melihat tahunnya juga, si Guntur ini usianya tahun 1972 itu baru 8 tahun,” lanjutnya.

Hesti mengaku kesal dengan penyidik Subdit II/Hardatahbang. Menurutnya, penyidik tidak transparan dalam menghentikan penyidikan perkara penyerobotan lahan milik Eni.

“Pernah kami menanyakan apa alasan penyidik menghentikan kasusnya. Apa rupanya dokumen-dokumen Rokki yang dijadikannya dasar menguasai tanah itu. Kalau dasarnya Surat Kepala Kampung Anggrung Tahun 1972, kita bisa buktikan itu palsu. Tapi ya itu, mereka nggak mau terbuka. Mudah-mudahan laporan yang baru ini bisa menjerat terlapor,” katanya.

Sementara itu, Batya yang menjadi saksi dalam kasus penyerobotan lahan Eni mengatakan, Rokkifeller memiliki seorang istri yang merupakan PNS di Rumah Sakit Bhayangkara Jalan Wahid Hasyim.

“Saya kenal sama si Rokki ini. Makanya saya berani bersaksi. Pernah saya lihat dia membuat dokumen palsu itu di rumah Herbert. Makanya saya berani bersaksi. Saya tidak berbohong,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, Eni Lilawati sempat mengadukan permasalahan tersebut ke Kapolda Sumut, Irjen Agus Andrianto.

Alhasil, Agus kemudian menyerahkan masalah itu kepada Direskrimum Polda Sumut Kombes Andi Rian agar ditindaklanjuti.

Menurut Eni, lahan tersebut merupakan warisan ayahnya. Saat ini dikuasai Rockki menggunakan dokumen palsu.(dvs/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/