27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Banyak yang Mampet di Kejatisu

Rahudman saat menjalani sidang Tipikor di Pengadilan Negeri Medan.//FOTO RASYID
Rahudman saat menjalani sidang Tipikor di Pengadilan Negeri Medan.//FOTO RASYID

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Apa yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) terhadap Wali Kota Medan (nonaktif) Rahudman Harahap mendapat apresiasi positif dari berbagai pihak. Di sisi lain, eksekusi terhadap Rahudman malah menimbulkan kecurigaan soal tebang pilih kasus yang ditangani Kejatisu. Pasalnya masih banyak kasus yang mampet di Kejatisu.

Sebelumnya, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai banyak kasus yang ditangani Kejati Sumut tidak jelas penyelesaiannya. Ia juga menyayangkan sikap Kejatisu yang hingga kini tidak melakukan penahanan terhadap beberapa tersangka. Padahal, langkah ini diperlukan karena pengalaman memperlihatkan yang status terpidana sekalipun bahkan masih dapat melarikan diri ketika akan dieksekusi.

“Kita juga merasa aneh. Tak satu pun tersangka ditahan selama penyidikan. Padahal kalau ditahan, proses hukum atau pelimpahan berkasnya ke pengadilan lebih cepat. Selain itu menghindari tersangka melarikan diri. Makanya sangat kita pertanyakan mengapa banyak tersangka yang tidak ditahan,” ucapnya, belum lama ini.

Contoh kasus yang belum tertangani adalah dugaan korupsi perkara penyimpangan pengalihan tanah kosong jadi lahan pertanian yang dilakukan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan. Penyidik menetapkan empat orang tersangka pada 12 April 2013 diantaranya Syahrul Harahap selaku mantan Kadispenda (Kepala Dinas Pendapatan Daerah) Kota Medan, M Thoriq (MT) selaku Kepala BPN Kota Medan tahun 2011, Edison selaku Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Medan, serta Gunawan dari pihak swasta.

Menurutnya, penilaian perlu tidaknya seorang tersangka untuk ditahan, saat ini masih sangat subjektif berdasarkan pertimbangan kejaksaan maupun aparat hukum lain. Padahal akibat tindakan itu, jelas membuka peluang seorang tersangka melarikan diri. Dan tentu ketika itu terjadi, pekerjaan semakin bertambah karena harus memburu mereka yang melarikan diri.

Kondisi ini pun patut dipertanyakan karena secara undang-undang sebenarnya ruang untuk melakukan penahanan terbuka lebar dan itu sudah diatur sedemikian rupa. “Jadi dengan fakta ini, tidak heran kalau kita melihat sepertinya para koruptor masih mulia di mata penegak hukum. Beda dengan pelaku pencuri ayam misalnya, itu akan langsung ditahan. Saya kira ini tidak baik bagi proses penegakan hukum,” tegasnya.

Emerson berharap penegak hukum segera memberlakukan tiga langkah terutama khusus terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Yaitu tersangka perlu segera dicekal bepergian ke luar negeri, kemudian lakukan penahanan dan sita harta tersangka yang dinilai bersumber dari hasil kejahatan korupsi.

“Itu sangat penting. Tapi kelihatannya kejaksaan tidak terlalu progresif melakukan itu. Bahkan sepertinya langkah itu bukan pola yang wajiib. Padahal ini yang harus diutamakan untuk memudahkan proses penelusuran aset-aset harta korupsi mereka. Saya kira ini penting menghindari pengalihan harta tersangka kepada pihak ketiga. Atau minimal ketika putusan sudah final, eksekusinya akan jauh lebih mudah. Menurutku tindakan yang diberlakukan jangan lunak, intinya setiap mekanisme yang ada harus memberi efek jera,” bebernya. (far/rbb)

Rahudman saat menjalani sidang Tipikor di Pengadilan Negeri Medan.//FOTO RASYID
Rahudman saat menjalani sidang Tipikor di Pengadilan Negeri Medan.//FOTO RASYID

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Apa yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) terhadap Wali Kota Medan (nonaktif) Rahudman Harahap mendapat apresiasi positif dari berbagai pihak. Di sisi lain, eksekusi terhadap Rahudman malah menimbulkan kecurigaan soal tebang pilih kasus yang ditangani Kejatisu. Pasalnya masih banyak kasus yang mampet di Kejatisu.

Sebelumnya, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai banyak kasus yang ditangani Kejati Sumut tidak jelas penyelesaiannya. Ia juga menyayangkan sikap Kejatisu yang hingga kini tidak melakukan penahanan terhadap beberapa tersangka. Padahal, langkah ini diperlukan karena pengalaman memperlihatkan yang status terpidana sekalipun bahkan masih dapat melarikan diri ketika akan dieksekusi.

“Kita juga merasa aneh. Tak satu pun tersangka ditahan selama penyidikan. Padahal kalau ditahan, proses hukum atau pelimpahan berkasnya ke pengadilan lebih cepat. Selain itu menghindari tersangka melarikan diri. Makanya sangat kita pertanyakan mengapa banyak tersangka yang tidak ditahan,” ucapnya, belum lama ini.

Contoh kasus yang belum tertangani adalah dugaan korupsi perkara penyimpangan pengalihan tanah kosong jadi lahan pertanian yang dilakukan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan. Penyidik menetapkan empat orang tersangka pada 12 April 2013 diantaranya Syahrul Harahap selaku mantan Kadispenda (Kepala Dinas Pendapatan Daerah) Kota Medan, M Thoriq (MT) selaku Kepala BPN Kota Medan tahun 2011, Edison selaku Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Medan, serta Gunawan dari pihak swasta.

Menurutnya, penilaian perlu tidaknya seorang tersangka untuk ditahan, saat ini masih sangat subjektif berdasarkan pertimbangan kejaksaan maupun aparat hukum lain. Padahal akibat tindakan itu, jelas membuka peluang seorang tersangka melarikan diri. Dan tentu ketika itu terjadi, pekerjaan semakin bertambah karena harus memburu mereka yang melarikan diri.

Kondisi ini pun patut dipertanyakan karena secara undang-undang sebenarnya ruang untuk melakukan penahanan terbuka lebar dan itu sudah diatur sedemikian rupa. “Jadi dengan fakta ini, tidak heran kalau kita melihat sepertinya para koruptor masih mulia di mata penegak hukum. Beda dengan pelaku pencuri ayam misalnya, itu akan langsung ditahan. Saya kira ini tidak baik bagi proses penegakan hukum,” tegasnya.

Emerson berharap penegak hukum segera memberlakukan tiga langkah terutama khusus terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Yaitu tersangka perlu segera dicekal bepergian ke luar negeri, kemudian lakukan penahanan dan sita harta tersangka yang dinilai bersumber dari hasil kejahatan korupsi.

“Itu sangat penting. Tapi kelihatannya kejaksaan tidak terlalu progresif melakukan itu. Bahkan sepertinya langkah itu bukan pola yang wajiib. Padahal ini yang harus diutamakan untuk memudahkan proses penelusuran aset-aset harta korupsi mereka. Saya kira ini penting menghindari pengalihan harta tersangka kepada pihak ketiga. Atau minimal ketika putusan sudah final, eksekusinya akan jauh lebih mudah. Menurutku tindakan yang diberlakukan jangan lunak, intinya setiap mekanisme yang ada harus memberi efek jera,” bebernya. (far/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/